Aku tak bisa menyalahkan siapapun atas memori ini. Memori
yang sudah seharusnya terkubur bertahun-tahun dengan sendirinya ternyata tak
mampu aku kubur. Menghalanginya untuk tak muncul saja aku tak sanggup karena
setiap waktu, setiap saat memori itu membayangiku. Aku terpengaruh sebuah
kalimat sugesti dari mulut ibuku. Sebuah ucapan tak pasti yang memberiku
harapan besar untuk mewujudkannya. Ini bukan kali pertama aku terganggu sesosok
wajah sahabat masa kecilku. Sudah tak terhitung lagi duniaku melebar entah ke
mana terbawa bayang itu. Seperti kali ini, lamunanku melambung. Sebentuk tangan
lembut milik seorang anak lelaki seperti menyentuhku dari belakang kemudian
mengajakku memasuki dunianya yang indah.
Bangku di bagian paling belakang kelas ini sebagai tempat kesukaanku mulai
terasa lain. Ruang kelas yang polos dengan sedikit pajangan foto presiden dan
wakilnya serta lambang negara ini terasa berbeda, dipenuhi bunga-bunga, dihiasi
lampu taman kota, dan dibubuhi awan senja. Aku seperti mengenang belasan tahun
silam. Masa dimana aku memiliki langit senja dengan segala kemegahannya.
Bersama sesosok itu kumiliki pagi hingga senja bersama. Bersama sesosok itu kunikmati
dunia seisinya. Tanpa ragu, tanpa malu, terasa begitu syahdu. Itu dulu. Dulu
sekali bahkan hingga membuatku lupa kapan usiaku saat itu dan selisih usiaku
dengan sahabatku.
“Bella, kamu lagi apa?” tanya seorang guru yang aku tak tahu
kapan ia masuk kelas. Tiba-tiba ia berdiri tepat di hadapanku dan menegurku
demikian.
Aku tak tahu harus bilang apa karena aku sama sekali tak
punya alasan yang tepat untuk itu. Sebenarnya agak malas juga menjawabnya. Tapi
karena tidak baik mengabaikan pertanyaan seorang guru akhirnya kuputuskan untuk
menjawab sekenanya. “Sa. Sa. Saya sedang menangkap kunang-kunang, Bu,”
Jawabanku yang terkesan mengada-ada itu sontak saja
ditertawakan teman sekelas, bahkan guruku juga ikut menertawakan kalimat
ngawurku. “Mana mungkin siang hari begini ada kunang-kunang?” sergahnya.
“Ada, Bu,” jawabku demi mempertahankan alasan yang tak masuk
akal. “Di sudut mataku kunang-kunang itu terbang ramai-ramai, Bu,” lanjutku.
Dengan pengalaman pernah mengalami serangan mata berkunang-kunang karena darah
rendah, aku masih ingin mengibuli guruku. “Kunang-kunang itu ada tapi nggak
bisa ditangkap, Bu. Dan malah bikin sakit kepala,” kilahku.
Mungkin Ibu Carina mengerti apa yang kumaksud karena dari
tanggapannya menyuruhku pergi ke UKS untuk minta suplemen penambah tekanan
darah. Akhirnya dalam hati aku berteriak “YES. Hore!” karena inilah
kesempatanku untuk meninggalkan jam
pelajaran sejarah yang membosankan. Dalam ekspektasiku, UKS adalah alasan
yang tepat untuk tidak mengikuti
pelajaran tanpa mendapatkan tugas tambahan dan ceramah tambahan.
Aku Bellatrix Saiph, siswa kelas 3 SMA yang masih malas
belajar akhirnya berjingkat penuh kemenangan ketika bel pulang berbunyi. Kali
ini Nath ada kegiatan organisasi sampai petang, sementara Helena akan berlatih
untuk lomba cerdas cermat bulan depan, sedangkan kedua temanku yang lain, berlatih
menyanyi untuk acara perpisahan. Jadi siang ini tak ada seorang pun yang akan
pulang bersamaku.
Sebenarnya aku tak suka rutinitas semacam ini. Rutinitas
tanpa kualitas yang kujalani setiap hari hanya membuatku bosan. Aku ingin juga
punya kegiatan seperti Nath, Helena, Canopi, dan Akasa. Menurutku waktu mereka
di sekolah tak sia-sia hanya untuk sekedar mendengarkan guru berceramah. Tapi
gadis tomboy sepertiku dengan hobi bermain kanvas enggan dibuat susah oleh
kegiatan di dalam sekolah. Akhirnya sampai tahun ketigaku di SMA tak ada
organisasi maupun ekskul yang kuikuti satupun kecuali kelas seni lukis yang
kuambil di luar jadwal sekolah sebagai kegiatan wajib.
Sejak pindah rumah ke kota ini 6 bulan lalu, aku menjadi
lebih malas dalam hal sekolah. Melihat jalanan sepi ini juga membuatku malas
melangkahkan kaki menuju rumah. Tak ada tawa canda teman-teman yang biasanya
pulang bersamaku. Bibirku masih terkunci dan tak menunjukkan ekspresi sampai
pada saat seorang anak kecil berusia sekitar 6 tahun menggenggam tanganku,
mengajakku berlari-lari kecil penuh keriangan, memetik bebungaan di ujung jalan
dan menaburkannya ke kolam ikan. Aku menikmati ayunan tangannya yang mengajakku
menikmati keidahan lain dari jalanan sepi ini. Anak kecil yang bahkan kutak
tahu namanya ini seolah ingin menunjukkan padaku bahwa dunia ini indah, tak
sebatas ruang kelas yang membuuatku bosan, tak sebatas kamar pribadiku yang
penuh dengan alat lukis, tak sebatas taman kota yang masih sempat kukunjungi
setiap minggu sore.
Boca kecil ini terus membawaku berlari-lari kecil tanpa
mengucap sepatah katapun. Hanya tawa riangnya yang mengajakku untuk ikut
menikmati indah dunianya. Kupikir aku akan mati dibuat penasaran oleh tingkah
lucunya ini, apalagi identitasnya pun aku tak tahu. Akhirnya dengan sedikit
lembut kupinta ia berhenti sejenak untuk menanyakan sebutir dua butir
pertanyaan yang mengendap.
“Adik. Boleh kakak berhenti sebentar? Kakak capek. Memangnya
kamu nggak capek lari-lari terus?” tanyaku pelan karena berusaha menjaga
perasaannya agar tidak tersinggung.
“Enggak kok, Kak. Kakak pasti juga suka lari-lari kayak
gini, kan?” ia bertanya balik.
Aku bingung harus menjawab apa. Jika boleh jujur, aku kurang
dekat dengan anak kecil. Ini membuatku sedikit bingung harus menjawab apa. “Oh,
tentu,” jawabku. “Tapi itu dulu, waktu kakak masih seumuran kamu. Tapi sekarang
kakak kalo mau lari-lari ada waktunya sendiri,” tuturku mencoba memberinya
pengertian.
“Ayolah, Kak. Emangnya Kakak nggak kangen lari-lari kayak
ini?” ia kembali bertanya dengan mengharap jawaban mengiyakan dariku. Ia
membuatku bingung harus menjawab apa lagi.
Akhirnya sebilah senyum kuuraikan untuk si kecil mungil
bertopi ini sembari berpikir untuk menjawab pertanyaannya yang sebenarnya
sangat ingin kuiyakan. “Ehm, nama kakak Bellatrix, kalo adik namanya siapa?”
tanyaku sekedar mengulur waktu dan mengambil napas.
Bujang kecil itu diam tertunduk seperti kecewa karena
pertanyaannya tak kujawab dan malah mengalihkan pembicaraan. “Oke deh. Kalo
begitu kenapa adik ngajak kakak lari-lari nih? Memangnya adik mau tunjukkin
apa?” aku bertanya kembali. Kali ini aku tak yakin ia akan menjawabnya.
Ia menjawab dengan penuh kepolosan, gaya khas anak kecil.
“Aku mau tunjukkin sesuatu ke kakak. Tempat favorit aku,” ujarnya masih
menyisakan tanda tanya di benakku akan tempat seperti apa yang ia maksud.
“Oh ya? memangnya tempat seperti apa itu?”
“Nanti kakak juga tahu,” jawabnya sembari menggandeng
kembali tanganku.
Aku masih tak mau kalah dengan melobinya, “Oke. Oke. Kakak
bakalan ikut sama kamu tapi setelah kamu kasih tau kakak tempat favorit kamu
itu dimana. Hayo gimana?”
Anak kecil yang masih belum kutahu namanya ini diam sejenak
entah berpikir atau apa.
“Oke. Kakak beliin eskrim deh kalo kamu mau kasih tau tempat
favorit kamu itu. Habis itu baru kita kesana. Gimana?” bujukku kembali ketika
kebetulan seorang penjual eskrim keliling lewat di seberang jalan ini.
Demi mendengar kata eskrim, matanya berbinar. Tanpa menunggu
persetujuannya, aku memanggil penjual eskrim dan membeli sebungkus eskrim rasa
coklat. Setelah kuberikan eskrim itu padanya, ia berkata padaku bahwa tempat
favoritnya ada di seberang sungai kecil yang tak pernah kukunjungi sebelumnya
itu. Aku menuruti langkah ceria bocah itu untuk sekedar membuang waktu kosongku
sebelum menginjakkan kaki di rumah. Selama menuju tempat favoritnya, bocah itu
tak banyak bicara. Hanya nyanyian sederhana yang kudengar dari bibir mungilnya.
Itu cukup membuatku mengenang kembali masa-masa kecilku. Ditambah polosnya ia
menjilati eskrim juga mengingatkanku kepada sosok sahabat yang masih setia
membayangiku.
Ketika sampai di seberang sungai kecil yang ia maksud, bocah
lelaki yang masih belum kutahu namanya itu menunjukkan sebuah makam kecil. Ya.
Ia mengajakku ke pemakaman. Ia berhenti di depan makam itu dan memintaku
membersihkan debu-debu dan dedaunan yang menutupinya. Ketika sampai pada
nisannya, hatiku berdegup. Kudapati nama yang tak asing lagi. Nama yang Ibuku
bisikkan bahwa suatu hari aku akan bertemu kembali dengannya, Antares, yang tak
lain adalah sahabat kecilku yang setiap saat selalu membayangi. Di nisan itu
kubaca tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Tanggal lahirnya tak jauh beda
dengan tanggal lahirku, namun tanggal wafat sudah terbilang lama, 10 tahun
lalu. Aku menoleh pada anak lelaki di sampingku. Kupikir ia akan menjelaskan
mengapa makam ini menjadi tempat favoritnya, namun wujudnya tak kutemukan
bahkan jejak kakinya pun tidak. Apa-apaan ini? Ingin memanggilnya pun tak bisa
karena tak tahu namanya. Lalu apa maksudnya?
Aku tertegun dan menangisi makam itu kemudian. Tersadar. Aku
tersadar. Jika kubandingkan kembali, usia anak tadi kira-kira sebanding dengan
tahun wafat Antares dikurang tahun lahirnya. Aku paham teka-tekinya. Sosok anak
tadi hanyalah bayangan Antares yang ingin menunjukkan sebuah kenyataan padaku.
Kenyataan bahwa ia telah terpisahkan oleh perbedaan dunia denganku. Tangisku
semakin pecah mengingat perkataan ibuku yang menjadikan sugesti di otakku. Tapi
mengapa harus bertemu dalam keadaan serumit ini. Menemuinya dalam kenyataan tak
seindah pertemuan yang selalu terjalin lewat angan maupun mimpi.
Karena Antares sudah berbeda dimensi denganku mungkin itulah
yang membuatnya mudah sekali mengunjungiku. Dan ia pandai mengunjungiku dalam
situasi yang tepat, saat aku gundah, bosan, bahkan emosi. Semua itu mungkin
mudah baginya.
Antares, meski harapanku untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang
kita rangkai di masa kecil tak mungkin kita wujudkan bersama, tapi
bayang-bayangmu membuatku kuat. Kehadiran sosokmu yang tak dapat kusentuh
justru selama ini, justru telah menyuntikkan semangat baru bagiku. Betapapun
kerinduan terdalam pada sosok itu menerangi duniaku yang tak seindah dulu.
Bahkan jika boleh kukatakan, halusinasi yang menyiksa dipadukan dengan
iluminasi membuat duniaku yang fantasi tampak nyata. Haluminasi tanpa kata
mengantarkanku pada kenyataan pahit, membuatku harus merelakan kepergianmu yang
sudah terjadi 10 tahun lalu. Jika boleh aku menawar, meski sudah kuhadapi
kenyataan ini aku masih ingin berhaluminasi dengan bayangmu untuk sekedar menemaniku
melukis di sudut ruang ternyamanku.