Jumat, November 18, 2016

Haluminasi Tanpa Kata



Aku tak bisa menyalahkan siapapun atas memori ini. Memori yang sudah seharusnya terkubur bertahun-tahun dengan sendirinya ternyata tak mampu aku kubur. Menghalanginya untuk tak muncul saja aku tak sanggup karena setiap waktu, setiap saat memori itu membayangiku. Aku terpengaruh sebuah kalimat sugesti dari mulut ibuku. Sebuah ucapan tak pasti yang memberiku harapan besar untuk mewujudkannya. Ini bukan kali pertama aku terganggu sesosok wajah sahabat masa kecilku. Sudah tak terhitung lagi duniaku melebar entah ke mana terbawa bayang itu. Seperti kali ini, lamunanku melambung. Sebentuk tangan lembut milik seorang anak lelaki seperti menyentuhku dari belakang kemudian mengajakku memasuki dunianya yang indah. 

Bangku di bagian paling belakang  kelas ini sebagai tempat kesukaanku mulai terasa lain. Ruang kelas yang polos dengan sedikit pajangan foto presiden dan wakilnya serta lambang negara ini terasa berbeda, dipenuhi bunga-bunga, dihiasi lampu taman kota, dan dibubuhi awan senja. Aku seperti mengenang belasan tahun silam. Masa dimana aku memiliki langit senja dengan segala kemegahannya. Bersama sesosok itu kumiliki pagi hingga senja bersama. Bersama sesosok itu kunikmati dunia seisinya. Tanpa ragu, tanpa malu, terasa begitu syahdu. Itu dulu. Dulu sekali bahkan hingga membuatku lupa kapan usiaku saat itu dan selisih usiaku dengan sahabatku. 

“Bella, kamu lagi apa?” tanya seorang guru yang aku tak tahu kapan ia masuk kelas. Tiba-tiba ia berdiri tepat di hadapanku dan menegurku demikian.

Aku tak tahu harus bilang apa karena aku sama sekali tak punya alasan yang tepat untuk itu. Sebenarnya agak malas juga menjawabnya. Tapi karena tidak baik mengabaikan pertanyaan seorang guru akhirnya kuputuskan untuk menjawab sekenanya. “Sa. Sa. Saya sedang menangkap kunang-kunang, Bu,”

Jawabanku yang terkesan mengada-ada itu sontak saja ditertawakan teman sekelas, bahkan guruku juga ikut menertawakan kalimat ngawurku. “Mana mungkin siang hari begini ada kunang-kunang?” sergahnya.

“Ada, Bu,” jawabku demi mempertahankan alasan yang tak masuk akal. “Di sudut mataku kunang-kunang itu terbang ramai-ramai, Bu,” lanjutku. Dengan pengalaman pernah mengalami serangan mata berkunang-kunang karena darah rendah, aku masih ingin mengibuli guruku. “Kunang-kunang itu ada tapi nggak bisa ditangkap, Bu. Dan malah bikin sakit kepala,” kilahku.

Mungkin Ibu Carina mengerti apa yang kumaksud karena dari tanggapannya menyuruhku pergi ke UKS untuk minta suplemen penambah tekanan darah. Akhirnya dalam hati aku berteriak “YES. Hore!” karena inilah kesempatanku untuk  meninggalkan jam pelajaran sejarah yang membosankan. Dalam ekspektasiku, UKS adalah alasan yang  tepat untuk tidak mengikuti pelajaran tanpa mendapatkan tugas tambahan dan ceramah tambahan.

Aku Bellatrix Saiph, siswa kelas 3 SMA yang masih malas belajar akhirnya berjingkat penuh kemenangan ketika bel pulang berbunyi. Kali ini Nath ada kegiatan organisasi sampai petang, sementara Helena akan berlatih untuk lomba cerdas cermat bulan depan, sedangkan kedua temanku yang lain, berlatih menyanyi untuk acara perpisahan. Jadi siang ini tak ada seorang pun yang akan pulang bersamaku.

Sebenarnya aku tak suka rutinitas semacam ini. Rutinitas tanpa kualitas yang kujalani setiap hari hanya membuatku bosan. Aku ingin juga punya kegiatan seperti Nath, Helena, Canopi, dan Akasa. Menurutku waktu mereka di sekolah tak sia-sia hanya untuk sekedar mendengarkan guru berceramah. Tapi gadis tomboy sepertiku dengan hobi bermain kanvas enggan dibuat susah oleh kegiatan di dalam sekolah. Akhirnya sampai tahun ketigaku di SMA tak ada organisasi maupun ekskul yang kuikuti satupun kecuali kelas seni lukis yang kuambil di luar jadwal sekolah sebagai kegiatan wajib.

Sejak pindah rumah ke kota ini 6 bulan lalu, aku menjadi lebih malas dalam hal sekolah. Melihat jalanan sepi ini juga membuatku malas melangkahkan kaki menuju rumah. Tak ada tawa canda teman-teman yang biasanya pulang bersamaku. Bibirku masih terkunci dan tak menunjukkan ekspresi sampai pada saat seorang anak kecil berusia sekitar 6 tahun menggenggam tanganku, mengajakku berlari-lari kecil penuh keriangan, memetik bebungaan di ujung jalan dan menaburkannya ke kolam ikan. Aku menikmati ayunan tangannya yang mengajakku menikmati keidahan lain dari jalanan sepi ini. Anak kecil yang bahkan kutak tahu namanya ini seolah ingin menunjukkan padaku bahwa dunia ini indah, tak sebatas ruang kelas yang membuuatku bosan, tak sebatas kamar pribadiku yang penuh dengan alat lukis, tak sebatas taman kota yang masih sempat kukunjungi setiap minggu sore.

Boca kecil ini terus membawaku berlari-lari kecil tanpa mengucap sepatah katapun. Hanya tawa riangnya yang mengajakku untuk ikut menikmati indah dunianya. Kupikir aku akan mati dibuat penasaran oleh tingkah lucunya ini, apalagi identitasnya pun aku tak tahu. Akhirnya dengan sedikit lembut kupinta ia berhenti sejenak untuk menanyakan sebutir dua butir pertanyaan yang mengendap.
“Adik. Boleh kakak berhenti sebentar? Kakak capek. Memangnya kamu nggak capek lari-lari terus?” tanyaku pelan karena berusaha menjaga perasaannya agar tidak tersinggung.

“Enggak kok, Kak. Kakak pasti juga suka lari-lari kayak gini, kan?” ia bertanya balik.
Aku bingung harus menjawab apa. Jika boleh jujur, aku kurang dekat dengan anak kecil. Ini membuatku sedikit bingung harus menjawab apa. “Oh, tentu,” jawabku. “Tapi itu dulu, waktu kakak masih seumuran kamu. Tapi sekarang kakak kalo mau lari-lari ada waktunya sendiri,” tuturku mencoba memberinya pengertian.

“Ayolah, Kak. Emangnya Kakak nggak kangen lari-lari kayak ini?” ia kembali bertanya dengan mengharap jawaban mengiyakan dariku. Ia membuatku bingung harus menjawab apa lagi.
Akhirnya sebilah senyum kuuraikan untuk si kecil mungil bertopi ini sembari berpikir untuk menjawab pertanyaannya yang sebenarnya sangat ingin kuiyakan. “Ehm, nama kakak Bellatrix, kalo adik namanya siapa?” tanyaku sekedar mengulur waktu dan mengambil napas.

Bujang kecil itu diam tertunduk seperti kecewa karena pertanyaannya tak kujawab dan malah mengalihkan pembicaraan. “Oke deh. Kalo begitu kenapa adik ngajak kakak lari-lari nih? Memangnya adik mau tunjukkin apa?” aku bertanya kembali. Kali ini aku tak yakin ia akan menjawabnya.

Ia menjawab dengan penuh kepolosan, gaya khas anak kecil. “Aku mau tunjukkin sesuatu ke kakak. Tempat favorit aku,” ujarnya masih menyisakan tanda tanya di benakku akan tempat seperti apa yang ia maksud.

“Oh ya? memangnya tempat seperti apa itu?” 

“Nanti kakak juga tahu,” jawabnya sembari menggandeng kembali tanganku.

Aku masih tak mau kalah dengan melobinya, “Oke. Oke. Kakak bakalan ikut sama kamu tapi setelah kamu kasih tau kakak tempat favorit kamu itu dimana. Hayo gimana?”

Anak kecil yang masih belum kutahu namanya ini diam sejenak entah berpikir atau apa.

“Oke. Kakak beliin eskrim deh kalo kamu mau kasih tau tempat favorit kamu itu. Habis itu baru kita kesana. Gimana?” bujukku kembali ketika kebetulan seorang penjual eskrim keliling lewat di seberang jalan ini.

Demi mendengar kata eskrim, matanya berbinar. Tanpa menunggu persetujuannya, aku memanggil penjual eskrim dan membeli sebungkus eskrim rasa coklat. Setelah kuberikan eskrim itu padanya, ia berkata padaku bahwa tempat favoritnya ada di seberang sungai kecil yang tak pernah kukunjungi sebelumnya itu. Aku menuruti langkah ceria bocah itu untuk sekedar membuang waktu kosongku sebelum menginjakkan kaki di rumah. Selama menuju tempat favoritnya, bocah itu tak banyak bicara. Hanya nyanyian sederhana yang kudengar dari bibir mungilnya. Itu cukup membuatku mengenang kembali masa-masa kecilku. Ditambah polosnya ia menjilati eskrim juga mengingatkanku kepada sosok sahabat yang masih setia membayangiku.

Ketika sampai di seberang sungai kecil yang ia maksud, bocah lelaki yang masih belum kutahu namanya itu menunjukkan sebuah makam kecil. Ya. Ia mengajakku ke pemakaman. Ia berhenti di depan makam itu dan memintaku membersihkan debu-debu dan dedaunan yang menutupinya. Ketika sampai pada nisannya, hatiku berdegup. Kudapati nama yang tak asing lagi. Nama yang Ibuku bisikkan bahwa suatu hari aku akan bertemu kembali dengannya, Antares, yang tak lain adalah sahabat kecilku yang setiap saat selalu membayangi. Di nisan itu kubaca tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Tanggal lahirnya tak jauh beda dengan tanggal lahirku, namun tanggal wafat sudah terbilang lama, 10 tahun lalu. Aku menoleh pada anak lelaki di sampingku. Kupikir ia akan menjelaskan mengapa makam ini menjadi tempat favoritnya, namun wujudnya tak kutemukan bahkan jejak kakinya pun tidak. Apa-apaan ini? Ingin memanggilnya pun tak bisa karena tak tahu namanya. Lalu apa maksudnya?

Aku tertegun dan menangisi makam itu kemudian. Tersadar. Aku tersadar. Jika kubandingkan kembali, usia anak tadi kira-kira sebanding dengan tahun wafat Antares dikurang tahun lahirnya. Aku paham teka-tekinya. Sosok anak tadi hanyalah bayangan Antares yang ingin menunjukkan sebuah kenyataan padaku. Kenyataan bahwa ia telah terpisahkan oleh perbedaan dunia denganku. Tangisku semakin pecah mengingat perkataan ibuku yang menjadikan sugesti di otakku. Tapi mengapa harus bertemu dalam keadaan serumit ini. Menemuinya dalam kenyataan tak seindah pertemuan yang selalu terjalin lewat angan maupun mimpi.

Karena Antares sudah berbeda dimensi denganku mungkin itulah yang membuatnya mudah sekali mengunjungiku. Dan ia pandai mengunjungiku dalam situasi yang tepat, saat aku gundah, bosan, bahkan emosi. Semua itu mungkin mudah baginya.

Antares, meski harapanku untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang kita rangkai di masa kecil tak mungkin kita wujudkan bersama, tapi bayang-bayangmu membuatku kuat. Kehadiran sosokmu yang tak dapat kusentuh justru selama ini, justru telah menyuntikkan semangat baru bagiku. Betapapun kerinduan terdalam pada sosok itu menerangi duniaku yang tak seindah dulu. Bahkan jika boleh kukatakan, halusinasi yang menyiksa dipadukan dengan iluminasi membuat duniaku yang fantasi tampak nyata. Haluminasi tanpa kata mengantarkanku pada kenyataan pahit, membuatku harus merelakan kepergianmu yang sudah terjadi 10 tahun lalu. Jika boleh aku menawar, meski sudah kuhadapi kenyataan ini aku masih ingin berhaluminasi dengan bayangmu untuk sekedar menemaniku melukis di sudut ruang ternyamanku.

KETAKUTAN TERBESARKU ADALAH KEHILANGANMU



Kerumunan yang tampak olehku dari jarak beberapa meter itu sempat membuat langkahku terhenti. Sekitar 5 orang dewasa mengangkat sebuah tandu menuju ke beranda Masjid Salman. Jaket abu-abu yang dikenakan gadis diatas tandu itu sudah sangat familiar bagiku. Sekali lagi aku ingin memastikan siapa gadis malang itu apakah dugaanku benar adanya. Lagi-lagi bagian dari jilbabnya yang menjuntai ke tanah membuat dugaanku semakin kuat bahwa aku mengenali gadis itu. Terlebih ketika para pembawa tandu sedikit melebar ketika hendak menurunkannya. Malah terpampang jelas karena wajahnya menghadap tepat ke arahku, dan kini cukuplah aku memastikan bahwa gadis diatas tandu itu adalah Atika, sahabatku.

“Atika!” teriakku dari kejauhan. Meski aku yakin ia tak mendengar seruanku, namun rasa terkejutku tak bisa dibendung. Segera kuberlari mengejar tubuh lunglai tak berdaya itu, melepaskan tas, buku-buku, dan benda lainnya yang menghalangiku. Aku tak peduli rumput halaman Masjid Salman yang basah merusak lembaran buku-bukuku. Saat ini aku hanya pedui pada gadis mungil yang selalu bersamaku sejak kecil, Atika Setiana.

Dari keterangan orang-orang yang mengerubinginya, aku tahu, Atika jatuh lagi. kali ini ia terjatuh saat sedang memandu para peserta Try Out SBMPTN sholat bersama ke masjid. Aku tah tahu ini sudah keberapa kalinya ia jatuh. Yang kutahu, ia tak bisa terlalu lelah. Kelelahan membuatnya jatuh dan sakitnya kambuh. Dulu tidak begitu. Sebelum memasuki dunia perkuliahan, Atika tak pernah jatuh. Mungkin aktivitasnya lebih padat dan  waktu yang ia gunakan untuk berkegiatan lebih padat. Aku hanya mengira-ngira.

Atika sangat menyukai anak-anak. Apalagi semenjak dokter memvonisnya mengidap penyakit sangar itu, kanker liver, ketika usianya 17 tahun. Orang tua Atika tak pernah melarang apapun kegiatannya, tapi mereka tak pernah mengizinkannya berkegiatan yang memakai tenaga fisik.

Hari ini menjadi hari pertamaku bertemu Atika setelah ia resmi menjadi mahasiswa. Aku sendiri masih berusaha mencapai status itu karena tahun kemarin bukanlah tahun yang tepat bagiku. Atika beruntung, kampus riset berbasis teknologi nomor satu di Indonesia itu menerima ia sebagai mahasiswanya. Namun mengapa harus dalam keadaan seperti ini? Menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri ia terbaring dengan mata tertutup sedangkan orang-orang mengerubunginya untuk membuka matanya. Melihat kebali dunia yang membuatnya menjadi seperti itu.

Ketika sudah pulih dari pingsan, aku memelukya seketika. Bagaimanapun, tak ada seorang sahabat yang rela sahabatnya jatuh pingsan karena sakit yang dideritanya, meski sudah sewajarnya hal itu terjadi. Wajahnya sungguh masih sangat lemah, tak bertenaga. Namun begitu, ia masih mengenaliku.
“Tika, cerita sama aku kenapa kamu bisa pingsan di tempat umum seperti itu?” tanyaku setelah Atika sudah mendapatkan tenaganya kembali dari secangkir teh hangat dan sepotong roti.
Ia mulai membuka mulutnya yang sedari tadi hanya diam saja. “Aku kecapean, Al. Aku nggak kuat.”
Aku bertanya kembali. Kali ini dengan harapan ia mau menjelaskannya.“Lalu? Kenapa, Ka? Dulu kan enggak seperti itu?” 

“Aku udah stadium 3, Al,” jawabnya degan berat. Berat untuk mengatakan dan berat juga untuk merasakan. “Ini bukan pertama kalinya aku jatuh gara-gara itu. Bahkan dalam sebulan ini sudah 6 kali aku jatuh.”

Sebenarnya aku masih ingin mengetahui lebih banyak tentang sahabatku ini, tapi keadaan psikologisnya sedang tak baik untuk diajak berbicara. Yang kutakutkan tangisnya akan semakin pecah jika kutanyakan lebih lanjut dan juga perasaannya semakin sakit mengenang. Meski sesungguhnya sudah seharusnya aku menjadi tempat sandarannya, tempat menumpahkan tangisnya, tempat menampung curhatnya. Tapi cukup dengan keterangannya barusan, sudah kumengerti seluruh perasannya. Cukup pelukan saja yang mesti kuberikan. Pelukan menguatkan dari seorang sahabat yang sedikit mengurangi perasaan sakitnya. Aku pun merasakan semua itu. Apa yang ia takutkan, juga aku takutkan.

Aku melangkah gontai setelah kegiatan Try Outku selesai dan menemani Atika beraktivitas di organisasinya. Sebelum itu kuambil dahulu buku-bukuku yang sempat kuabaikan di rerumputan basah. Jika masih beruntung, mungkin buku-buku setebal kamus yang selalu kupelajari setiap malam masih tergeletak di tempatnya. Jika tidak demikian mungkin saja ada yang mengamankannya.

Senyum Atika mengembang melihat benda-benda yang kumaksudkan masih tercecer di tempatnya semula. Dari jarak sekitar 10 meter ia paham. Modul, buku dan teman-temannya itu adalah jimat yang kami pakai bersama sejak kelas 2 SMA untuk menaklukkan soal tes masuk perguruan tinggi. Atika berhasil menaklukkannya, sementara aku harus berjuang lebih keras lagi untuk tes tahun berikutnya. “Kamu masih setia sama buku-buku itu, Al?” tanyanya dengan senyum melebar, menghilangkan gurat sendu yang baru saja nampak sangat nyata di wajahnya.

Dan kujawab, “Aku memimpikan kampus ini sejak masih SMP, Ka. Bahkan kamu juga ikut mengidamkan kampus ini karena aku. Kita ingin masuk ITB sama-sama kan, Ka?...”
“Dan aku malah duluin kamu, Al. Jadi kamu harus nyusul aku segera,” potong Atika yang sepertinya sudah sangat mengerti jalan pikiranku.
“Kamu bener, Ka,” sahutku. “Kamu udah 3 bulan di sini, kan? Kenapa enggak pernah pulang? Kadang kalo lagi libur kerja aku main ke rumahmu, selalu papah sama mamah kamu yang nyambut. Apa kamu nggak pernah pulang, padahal jarak rumah dan kost kamu enggak jauh-jauh amat, kan?” tanyaku penasaran.
“Waktunya belum mendukung buat pulang ke rumah, Al. Kalaupun aku pulang pasti kamu aku kabarin kok. Memangnya kamu pikir aku bakal lupa sama kamu ya? Hayo ngaku.” 

“Hehe,” senyumku mengembang menampakkan kelegaan. “Memangnya orangtua kamu nggak khawatir?” sergahku.

“Mereka telpon aku setiaap minggu jadi kamu nggak perlu khawatir. Papah dan mamah aku tahu perkembangan dan kondisi anaknya kok,” jawabnya berusaha memberiku pengertian. “Eh, aku minum obat dulu ya, Al. Udah lewat 2 jam dari jadwalku minum obat,” ucapnya tiba-tiba sembari mengeluarkan bungkusan plastik berwarna putih yang ketika dibuka menyembulkan berbagai macam obat. Jika tidak salah sempat kuhitung ada sekitar 8 macam obat yang ia telan dalam sekali waktu.

Hatiku nanar melihat seorang sahabat yang berteman denganku sejak kecil, kemana-mana berdua, bahkan bisa diibaratkan tidur dan makan berdua, hanya sempat terpisah oleh dunia kampus dan dunia kerja, kini hidup dalam balutan obat dan obat. Bagai pecandu yang bahkan tak bisa sehari pun hidup tanpanya. Mengapa perkembangan sel kanker di hati Atika tumbuh secepat itu? Baru tiga bulan kami tidak bersua, kini seburuk itu kudapati kondisnya. Cukup dengan melihatnya mengeluarkan obat saja hatiku ikut nyeri. Melihatnya menelan butir-butir pil itu bahkan tak berani. Ngilu. Sedalam itu perasaanku ikut berperan. Jika boleh aku menangis, mungkin saat itu juga air mataku akan tumpah. Namun aku tak boleh menangis di hadapannya, terlebih dengan alasan itu yang justru akan ikut melukai perasaannya, menambah bebannya.

“Sepertinya aku harus pulang sekarang, Ka,” ucapku kepada Atika setelah ia selesai bercinta dengan obatnya. “Langit udah mendung.  Kayaknya sebentar lagi hujan turun,” ujarku berkilah. Sejujurnya bukan karena itu aku ingin segera pulang. Tetapi karena aku tak ingin ia melihatku menangis di hadapannya. Terutama karena aku seorang laki-laki.

Sembari kuberanjak , ia menawarkan kebaikan padaku, “Aku antar ke halte ya? Aku temenin sampe kamu dapet angkot,” ujarnya.

Demi mendengar tawarannya, aku segera menolak, khawatir kalau sampai cairan hangat yang sedang kubendung tumpah seketika di hadapannya. “Enggak usah, Ka. Aku pulang sama temenku, kok. Dia nunggu di gedung itu,” aku terpaksa berbohong sembari mennjuk sebuah gedung kuliah yang terletak di depan masjid kampus.

“Kalau begitu aku duluan ya, Ka. Kamu jaga kesehatan dan jangan sampe kecapean lagi ya,” ucapku mengakhiri pertemuan singkat itu.

Tanpa ia tahu sebenarnya aku setengah berlari menuju gedung yang kumaksud untuk mencari toilet dan menumpahkan cairan hangatku di situ. Jika boleh aku menawar seharusnya jangan ia yang menerima derita itu. Atika masih terlalu muda dan tak punya riwayat penyakit berbahaya dari keluarganya. Sedangkan aku yang justru terlahir dari ayah penderita buta warna dan ibu penderita jantung koroner malah diberi kesehatan tanpa celah. Jika boleh aku berargumen kepada Tuhan, gadis mungil itu terlalu baik untuk diberi ujian semacam ini. Atika sangat menyayangi anak-anak dan mengasihi orang tua. Atika sangat pandai menjaga perasaan orang lain sehingga akupun harus menjaga perasaannya. Jika boleh aku memprotes, mengapa harus ia sendiri yang menanggungnya padahal ada banyak orang diluar sana yang lebih pantas menerimanya, mungkin juga aku.
Baru kali ini aku merasa selemah ini sebagai seorang lelaki. Biasanya aku selalu bisa menahan tangis dalam keadaan emosi setinggi-tingginya. Namun luka sahabatku benar-benar menjadi lukaku. Dan kukira, mungkin inilah yang disebut sahabat sejati bagai tangan dan mata. Jika tangan terluka maka mata ikut merasakan lukanya yang terwujud dalam bentuk tangis.

Malam ini aku tak bisa tidur nyenyak mengenang pertemuan singkat kami yang telah tertunda selama 3 bulan. Aku merasa perlu keluar menemui seorang teman terdekatku yang lagi-lagi sudah terlebih dahulu menimba ilmu di perguruan tinggi ternama di Kota Bandung. Mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 100 km/jam tidak masalah bagiku sehingga tak butuh waktu lama untuk menemui Elva yang sedikit sibuk di Kanpus Unpad. Kepada mahasiswa jurusan Psikologi yang kini sudah memasuki semester 5 ini kuungkapkan semua perasaan kalutku. Di hadapannya aku tak malu menangis karena ia sudah kuanggap sebagai kakak sendiri mengingat kedekatan yang telah terjalin diantara kami sejak masih duduk di bangku SMA.

Elva manggut-manggut mendengar keluhanku. Aku beruntung mamilikinya, seorang teman yang bisa berperan ganda sebagai kakak, sahabat, bahkan terkadang ibu dan psikolog pribadi seperti kali ini.
“Ceritamu jauh berbeda dibanding cerita-cerita sebelumnya, Al,” ungkapnya setelah kuselesaikan bercerita paanya.

“Ya. Kali ini emang beda, Al. Karena sebelumnya aku nggak pernah cerita kalau Atika mengidap kenker liver,” tukasku.

“Bukan itu maksudku,” sergahnya.

“Lalu?” tanyaku.
 
“Perasaanmu lain,”

“Lain gimana?” tanyaku sungguh tak mengerti.

Setengahnya aku masih kurang yakin atas penjelasannya. Elva bilang perasaanku kepada Atika telah berubah, lebih dari sahabat. Tapi kenyataan bahwa kami telah bersahabat sejak kecil mampu menghalangiku berpikir akan perbedaan itu. Akhirnya lama-lama aku mengiyakan ucapannya setelah ia memberiku kesempatan untuk mengingat-ingat kembali bagaimana perasaanku sebelumnya. Bukan karena statusnya sebagai mahasiswa psikologi yang membuatku percaya padanya, tapi karena pertemananku dengannya yang terjalin sudah lama membuatnya mamahamiku sepenuhnya.
“Lalu sekarang apa solusimu buatku?” tanyaku sebelum mengakhiri konsultasiku malam ini.
“Nggak ada?” jawabnya tenang.
 
“Kenapa nggak ada?” tanyaku heran.

“Kamu nggak perlu solusi,Al. Kamu cuma perlu menyayangi Atika dengan tulus dan jangan pernah melukai perasaannya. Aku yakin dengan cara seperti itu, dia akan merasa tenang dan perhatianmu pasti akan mengurangi bebannya. Buatlah hidupnya terasa ringan dijalani. Kamu yang udah ngertiin dia dari awal, kamu pasti bisa melakukan yang terbaik buat Atika. Sampaikan salamku buat Atika ya. Dia beruntung dicintai orang sepertimu,” tuturnya penuh kelembutan dan pengertian. Benar-benar terasa seperti psikolog sungguhan.

“Pasti, Va. Makasih ya, dari dulu kamu emang orang yang tepat. Aku lebih beruntung punya teman seperti kamu,” jawabku sedikit memberi pujian juga untuknya.

Aku, Alvi Al-Yudhistira meyakinkan diriku sepenuhnya bahwa aku akan menyayangi Atika, seorang gadis mungil yang begitu berarti dalam hidupku hingga menjadikan ketakutan terdalamku adalah kehilangannya, tanpa meminta imbalan apapun darinya. Aku juga akan menjaga mulutku untuk menyembunyikan perasaanku yang telah berubah agar jangan sampai membuatnya terluka. Aku mau Atika tetap menyayangiku sebagai sahabat hingga suatu hari ia tahu dengan sendirinya atas perasaanu yang sesungguhnya. Aku benar-benar takut kehilangannya, kehilangan orang terkasihku.

Rabu, November 16, 2016

Kang Ian Wakil Perantara Tuhan



Sudah menjadi konsumsi rutinku ketika pulang kampung di akhir bulan. Pemandangan yang kulihat maupun sekedar kabar yang kudengar selalu sama. Tak kurang dan tak lebih. Terkadang undangan pernikahan dari teman-teman sekolahku dan saudaraku sampai bertumpuk di diatas dipan ranjang kamarku. Sabtu ini, 28 Oktober, saatnya aku menengok keluarga di kampung yang berjarak kira-kira 100 km. 

Kali ini aku tak sendiri. Akang Ian, seorang pria berdarah Sunda bersedia mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan ia mau mengantarku pulang bakda maghrib sepulang kuliah. Badan lelah dan revisi skripsi yang ada di kepalanya ia lupakan sejenak untuk bisa berkonsentrasi mengendarai sepeda motor kesayangannya. Begitupun denganku. Bayangan produk-produk snack dan makanan ringan yang harus dikumpul besok pagi untuk bahan praktikum uji pengawet pun sejenak aku singkirkan.

Jam 6 lewat 15 menit, Kang Ian hidupkan starter motornya. Aku duduk di belakang seperti biasa. Kami berdua pun siap membelah jalanan kota Bandar Lampung. Dengan semaangat jalanannya, jarum merah speedometer semakin naik menuju angka 80 km/jam. Kecepatan itu lumayan konsisten meski terkadang sampai menunjuk angka 100 km/jam atau bahkan 40 km/jam. Tidak mengapa baginya berkendara di jalanan ramai dengan kecepatan seperti itu. begitu pun denganku yang sudah terbiasa dibonceng dengan kecepatan tinggi.

Kebetulan esok hari kakaknya Kang Kian akan menikah. Ia dan keluarga berangkat dari rumah yang searah dengan arahku pulang namun dengan jarak yang masih jauh lagi dari rumahku. Makanya kami berdua bisa pulang bersama-sama. Setelah singgah sebentar di rumahku, pastinya ia akan melanjutkan perjalanan ratusan km lagi menuju ujung barat Propinsi Lampung. 

Keadaan di rumahku sedikit lebih ramai dengan kehadiran keluarga dekat yang bersama-sama membuat kue dengan ibu dan adikku. Tak lain dan tak bukan kue-kue itu adalah untuk persiapan pernikahan kakakku yang akan digelar lusa. Esok pagi, keluargaku akan berangkat ke daerah tambak udang untuk menggelar prosesi ijab kabul kakakku dengan calon istrinya di sana yang akan dilaksanakan 1 hari setelahnya.

Rasa kecewaku masih terasa sampai sekarang karena kegiatan di kampus yang super penting mengharuskanku tak menghadiri hari spesial kakak kesayanganku. Sebagai gantinya, di sela-sela kesibukan aku sengaja berselisih dengan waktu supaya bisa menyelesaikan sketsa wajah kakakku sehalus mungkin. Tanpa menunggu lagi, begitu tiba di rumah segera saja sketsa itu kutunjukkan pada ibu dan orang-orang yang saat itu ada di rumah.

“Bu, lihat. Ini gambar muka Kak Miftah,” ucapku dengan bangga setelah membingkainya dalam bingkai berukuran A4. “Besok sketsa ini harus dipajang di pernikahan kakak. Sketsa ini anggap aja sebagai simbol kehadiranku, karena dosenku nggak bisa dilobi lagi. Aku benar-benar nggak dikasih izin buat menghadiri pernikahan kakak,” lanjutku masih dengna rasa kecewa.
 
Semua orang di belakang pun tersenyum melihat wajah kakakku dalam balutan bingkai indah  itu. meski mereka mengira aku begitu kekanak-kanakan dengan tingkahku barusan, aku tak peduli. Rasa sayangku kepada kakakku yang begitu dalamlah yang membuatku sampai bertingkah seperti itu.

Ibu mengiyakan ucapanku dan berjanji untuk memenuhi permintaanku. Sementar adik perempuan ibu, Bulek Nani bertanya kapan aku akan menyusulnya mengigat usiaku yang sudah pantas untuk memiliki pasangan. Setidaknya pacar. Seakan tak mau kalah, kakak perempuan dari ibuku yang biasa kupanggil “Bude” ikut menimpali. “Itu yang di depan udah siap belum, Zha?”

Aku seolah tak mengerti saja apa yang Bude Nini maksudkan. “Siap apa, Bude?”

“Ya siap buat diajak married lah,” celetuk Mbak Naja, putri bungsu Bude Nini. 

Aku tak ingin merespon lebih jauh tentang hubuganku dengan Kang Ian. Kedekatanku dengannya memang sudah menjadi rahasia umum. Sejak mengenalnya di bangku kuliah, pria jangkung dari SMA N 1 Majalaya yang kebetulan menimba ilmu dalam satu atap denganku di gedung yang sama itu dinilai lain oleh semua orang. Bukan hanya teman-teman satu kelasku saja, tapi juga para kakak tingkat alias teman-teman Kang Ian, teman-teman di organisasi, maupun keluarga. Semuanya menganggap kami berdua berpacaran sehingga pertaanyaan-pertanyaan seperti barusan sudah tak lagi kurisaukan.

Lebih lanjut aku malas meladeni pembicaraannya yang suka ngawur. Kalau sudah terlanjur menggoda biasanya Mbak Naja malas berhenti dan semakin menggoda. “Dia udah mau nikah sama taarufannya,” jawabku mengakhiri.

Seperti sudah menjadi pola dalam garis keturunan keluargaku bahwa anak perempuan menikah di usia muda sekitar 17 – 20 tahun, sedangkan anak laki-laki menikah di usia berapapun ia mau. Mba Fatimah contohnya. Ia menikah di usia 19 tahun. Sama seperti kakak perempuanku yang juga menikah di usia yang sama. Lalu Kakakku, Miftah yang akan menikah lusa justru sudah berumur 30 sementara calon istrinya baru 20 tahun. Hampir 2  tahun lebih muda dariku. Sedangkan aku yang sebentar lagi menginjak usia 22 belum juga ada desas-desus mengenai pernikahan. Jangan bandingkan dengan adikku. Usianya baru 15 tahun. Tapi jika dibandingkan dengan para sepupuku, kebanyakan dari mereka yang perempuan sudah bersuami dan memiliki anak.

Aku tak sedikitpun berkecil hati soal itu. Dalam keluarga, prinsipku memang tabu. Akan tetapi di kampus merupakan hal biasa. Menyelesaikan kuliahku dan memperoleh pekerjaan yang layak itu lebih utama. Terlebih aku tak ingin jika selepas menikah hanya menjadi ibu rumah tangga seperti kebanyakan sepupuku lainnya. Lagipula memilih kuliah setelah lulus SMA baru aku yang mengawali. Sebelumnya, menikah atau bekerja setelah lulus SMA seperti tak bisa ditawar-tawar lagi. Tapi aku yang saat itu meyakinkan ibuku untuk kuliah sambil bekerja akhirnya direstui. Kini meski sudah memasuki tahun kelima dan belum ada rencana menggarap tugas akhir, aku tetap berusaha mengejar kawan-kawanku yang sudah duluan “mentas” dari kampus.

“Kenapa Akang lihat aku kaya gitu?” tanyaku ketika kusodorkan minuman dengan sepiring brownese pada Kang Ian setelah meraciknya di belakang.

“Bukan apa-apa,” jawabnya. “Kamu sudah sedikit berubah,” ujarnya sembari masih memperhatikanku sampai duduk.

“Kenapa sedikit, Kang. Kenapa nggak banyak?” candaku.

“Dibilang banyak nanti ge-er lagi,” ledeknya. “Semenjak kamu memutuskan ikut ngaji bareng kakak-kakak kelasmu di SMA, kamu mulai berubah, Neng,” tukasnya.

“Ah Akang nih penuh teka-teki. Perasaan biasa aja kok,” kilahku.

“Eeee, makanya itu. Karena berubahnya sedikit makanya nggak kerasa,” lanjutnya. “Dulu yang sering bangunin buat jogging di waktu weekend siapa? Dulu yang sering ngingetin buat ngerjain belajar sebelum UAS siapa? Dulu yang lebih lama nunggu kalo Eneng minta dianter siapa?” serbunya dengan rentetan pertanyaan yang jawabannya sama.

“Ya Akang lah,” jawabku sesuai fakta.

Alisnya mngernyit dan semangat untuk berbicara lagi. “Nah sekarang kan kebalikannya. Semuanya Eneng yang duluan. Itu kan perubahan, Neng. Belum lagi pengetahuan tentang agama yang makin hari makin nambah. Dan perilakumu juga semakin anggun,” tuturnya adem. “Aku jadi teringat anak pamanku, anak pengasuh pondok pesantren di Majalaya sana. Aku pikir kamu sudi aku kenalkan sama Zikra. Aku berharap kamu berjodoh dengan sepupuku.”

Pengakuannya barusan membuat jantungku sedikit kaget karena sangat tiba-tiba. Aku belum bisa berkata-kata lagi sampai ia menyambung kembali kalimatnya, “Kalau kamu mau, datanglah ke acara pernikahanku nanti di Majalaya. Nanti aku kenalin kamu sama sepupuku yang alim itu. Aku nggak mau kehilangan adik sebaik kamu, dan mudah-mudahan seorang Akang bisa memberi yang terbaik adiknya, Neng,” ucapnya diakhiri senyum termanis yang pernah ia suguhkan padaku.

Aku setengah tak percaya jika hubungan kakak-beradik yang begitu saja terjadi antara aku dengan Kang Ian membuatnya berinisiatif menjodohkanku dengan salah seorang keluarga terdekatnya. Rasanya aku juga tak ingin berpisah begitu saja dengan Kang Ian yang memberiku banyak pelajaran dan mengajariku berubah menjadi lebih baik setelah pernikahannya kelak. Dalam hati aku berucap syukur manakala recananya padaku nanti sukses, dengan begitu aku tak akan kehilangan kakak yang paling pengertian setelah Mas Miftah.

Dalam hal jodoh, aku tak pernah terburu-buru seperti kebanyakan sepupu dan teman-temanku di kampung. Lagipula dari awal aku yakin Allah swt telah mengatur sedemikian rupa jodoh para hambanya. Jadilah aku orang yang bersabar menunggu Allah berkehendak. Dan rupanya lewat pria berdarah Sunda ini, aku menemukan jodohku yang juga pria Sunda. 

Jika bukan karena Allah pula, tak mungkin dalam waktu sedekat itu, 2 bulan semenjak pernikahan Kang Ian, keluarga Kang Zikra meminta persetujuan orangtuaku untuk melakukan acara lamaran. Kami semua mengucap syukur. Acara yang diniatkan karena Allah itu berjalan dengan mulus.
Lagi-lagi aku akan bersabar  menunggu waktu wisudaku untuk melangsungkan pernikahan dengan Kang Zikra sebagaimana Kang Ian menikah setelah wisuda S1-nya.

IKATAN HIDROGEN YANG MULAI TERPUTUS




         SELAMAT DATANG DI KAMPUS MADRASAH ALIAH NEGERI (MAN) PRINGSEWU. Itulah kalimat pertama yang kudapati saat menapakkan kaki di sekolah baruku  ini. Tulisan yang terpampang begitu jelas tepat setelah melewati pintu gerbang. Rasa heran, canggung dan bingung melandaku saat itu. Mungkin wajar, ini kali pertamanya kedatanganku di gedung maadrasah ini. Tak satupun kukenali dari kerumunan orang yang berlalu lalang di depan mataku, mengingat segala sesuatunya kupersiapkan sendiri sejak mulai pendaftaran.
         Singkat cerita, berakhirlah kegiatan masa orientasi siswa yang sudah berjalan mulus selama tiga hari. Tak ada yang istimewa memang. Itu bagiku. tapi hari ini hari keempat, mungkin sudah agak berkurang rasa  canggungku karena beberapa teman baru sudah kukenali dengan baik. Dan berharap ada yang istimewa hari ini, entah apapun itu.
         Bel panjang dari arah meja piket kini bersiul. Saatnya memasuki ruang kelas untuk memulai menjadi tholabul ilmi. Pak Ian, begitulah sapaannya. Lengkapnya Sebastian Maulana. Aku menatapnya dengan pandangan yang pernah dilepaskan Ali Bin Abi Thalib ketika melihat wanita cantik melintasi pelupuk matanya. Sesaat kemudian aku teringat hadisnya, “ Wahai Ali, janganlah kau ikuti pandangan pertama dengan pandangan kedua. Karena pandangan pertama adalah bagimu, dan pandangan yang kemudian bukan bagimu.” Mungkin itulah dosa pertamaku di sekolah yang baru ini. Wajahnya sungguh mrembahana, senyumnya begitu manis, dan namanya pun keren. Tetapi ketika ia mulai menari-narikan spidol di atas white board, aku terpana.  Aku tak yakin Pak Ian benar seorang guru, karena tulisannya justru lebih mirip tulisan anak SD yang baru bisa memegang pulpen.
         Aku sedikit terkejut ketika Pak Ian bertanya, “Apa definisi dari Biologi?” Sekatika muncul di benakku LKS Biologi SMP yang pernah kubaca. Kemudian kujawab pertanyaan itu dengan rincinya, berharap Pak Ian akan sudi menanyakan siapa namaku. Tapi kenyataan tak mengharuskanku berharap banyak darinya karena hanya ucapan, “Terima kasih, sudah disimpulkan.” Yang dilontarkan saat kuakhiri kalimatku.
       Tanpa sadar, ternyata sedari tadi mataku selalu menangkap setiap gerakannya. Hal itu berlangsung tak  hanya sekali.
       Dari aktivitas dan perilakunya memberitahuku bahwa Pak Ian adalah pemuda alim lagi berakhlak mulia. Aku makin kagum dan terpesona ketika sesosok bayangan itu berada dalam genggaman kedua bola mataku atau justru berkelebat di benakku. “Pak Ian, seandainya aku bukan muridmu, aku mau jadi.. . . . ah, jangankan jadi pacarmu. Jadi selingkuhanmu pun aku rela.”
     Astaghfirullahaladzim. Aku nyaris melontarkan kalimat itu ketika Pak Ian sedang asyik menerangkan pelajaran. Kini cukup mata dan hatiku saja yang berdosa, tak perlu lisanku pun ikut terlibat di dalamnya.
     Menjalani semaaster satu sebagai anak kelas sepuluh terasa sangat lama. Semuanya yang serba baru membuatku harus membiasakan diri dengan hal-hal baru yang ada di sini. Mulai dari masuk super pagi, tadarus sebelum memulai pelajaran, pulang sore, dan masih banyak lagi. Namun seorang Pak Ian berhasil menyita waktuku. Semua yang tadinya berjalan lambat kini terasa begitu cepat. Setiap jamnya terasa  satu menit. Dan menit-menit berlalu bak angin menyentuh dedaunan. Kini semester satu telah berlalu meninggalkan stasiun dengan pemandangan seperti di dalam kereta api.
        Pagi itu aku bangun tidur sedikit lebih siang daripada biasanya. Segera kuraih handuk dan sikat gigi, lalu bergegas mandi tanpa membantu orang tua sebelumnya. Sebenarnya ini belum terlalu kesiangan. Tapi ini hari kamis. Adalah hari yang paling kuhindari untuk berangkat terlambat meskipun di hari-hari lain aku sering datang terlambat. Kau tahu mengapa? Karena jam pertama dihari kamis adalah milik Pak Ian. Aku ingin selalu mengikuti pelajarannya dari awal hingga selesai, sehingga segala sesuatunya secara tergesa-gesa. Ternyata eh ternyata gerbang sekolah belum ditutup ketika kusampai di sekolah.
       “Aneh memang. Tak biasanya Pak Ian bersikap seperti ini.” Gumamku ketika ia berkata, “Saya butuh seorang cewek buat bantuin saya. Ada yang mau maju?”
       Sembari menjawab rasa penasaran, aku yang sudah lama menunggu tapi tak ada yang rela menuruti permintaan Pak Ian akhirnya memberanikan diri menyeret kaki melangkah ke depan kelas. Sampai di sini justru aku merasa bingung plus canggung karena Pak Ian menatapku dengan senyuman manja. Oh my God! Hal yang tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Ia  malah menggombaliku dengan kata-kata romantis seperti hendak melamar wanita pujaannya. Ubun-ubunku terasa bagaikan tertetesi embun sejuk di bawah pohon yang gersang. Desah suara angin merdu menggoda telimgaku. Oh, jantungku seolah ikut bernyanyi dengan genre hip hop. Dan sentuhan hormon di sekitar wajahku tak dapat kumenafikkan. sesekali kusembunyikan wajahku di balik telapak tangan karena bahagia dan malu bercampur menjadi suatu larutan yang dibumbui serbuk cinta.
       Setelahnya aku masih tak habis pikir dengan tingkah Pak Ian. Ternyata di balik penampilannya yang pendiam tersimpan berjuta kemunafikkan yang disukai para kaum hawa.
       Film romantis yang baru saja kuperankan bersama kawan mainku itu menjadikan kenangan terindah selama masa sekolahku. Aku makin betah saja menimba ilmu di sini.
      Dering telepon terdengar sayup-sayup dari dalam tas, memaksaku untuk menghentikan lamunan indah di sudut ruangan kamar ini. “Halo, Kara. Ada apa?” sapaku.
     “Hai, Moli. Gimana kabarnya?”
     “Amazink, Kara.” Jawabku.
     “Wow. Kenapa? Pasti lagi seneng tuh.” Pertanyaan dari balik telepon itu kedengarannya begitu penasaran.
     “Emm, mau tahu aja.” Jawabku singkat.
     “Moli, keluar dong. Aku di depan rumahmu nih.” Pintanya.
     “Really?” Aku terkejut. Tak pernah sebelumnya Kara datang ke rumah tiba-tiba mengingat rumah kami terpisahkan beberapa kabupaten. Segera kututup telepon dan bergegas menemuinya.
     Untuk melepas rindu selama dua bulan tanpa pertemuan, ia mengajakku ke sebuah tempat. Di sanalah terjadi percakapan asyik dan perdebatan seru antara kami berdua.
     Kara memulainya dengan kalimat pertanyaan, “kayaknya seneng banget sih. Ada apa nih? Hayo...”
     “Nothing.” Jawabku. “Seneng aja tiba-tiba kamu dateng terus ngajak aku ke sini.”
     “Nggak, ah, pasti ada yang lain.”
     “Serius, Kara.” Sahutku dengan pandangan mencoba meyakinkan.
     Tetapi Kara. Kara terus memaksaku untuk bercerita. Akhirnya tak kuasa ku menyingkap film romantis hasil karyaku dengan Pak Ian pagi tadi.. Kara mulai cemburu. Kini ekspresinya kesal.
     “Jadi kamu suka sama guru kamu, Moli?” tanyanya dengan mata menyelidik.
     Aku enggan mengakuinya. Sebisa mungkin kucoba elakkan pertanyaan itu. “Dengar dulu Kara sayang. Aku nggak...”
     Sepertinya ceritaku tadi benar-benar membuat Kara habis kesabarannya. Lantas ia memotong kalimatku, “Apa Sayang? Nggak bisa dipungkiri kalo kamu memang beneran suka, kan? Kamu bikin penantianku sia-sia. Aku jauh-jauh dateng ke sini Cuma buat nemuin kamu, karena aku... I’m still loving you, but...”
     “Oke, oke. Fine, Kara. Tapi kamu yang memintaku untuk cerita, kan?” ujarku mencoba membela diri.
     “Tentu kalo kejadiannya kaya gini, aku nggak bakal maksa kamu buat cerita. Moli, aku kecewa. Aku pikir kamu akan setia.” Tuturnya dengan nada lirih.
      Demi mendengar Kara tadi aku sangat merasa bersalah. “Kara, please. Kamu jangan salah paham gitu dong. Dia kan cuma guru aku. Tapi kamulah orang yang berhak aku cintai. I’m sorry if I can’t be the best like you want.” Itulah kalimat terakhir yang kuucapkan sambil menggenggam tangan Kara. Lalu kuberlalu dengan meninggalkan sepenggal kepedihan, sedangkan Kara masih menatap ke arah punggungku yang belum terlalu jauh.
     Ia berucap lirih tetapi masih terdengar di telingaku. “I’m sorry to, baby, karena aku nggak sanggup ngelanjutin hubungan kita.” Setelah itu barulah ia beranjak, meninggalkan sepotong roti dengan olesan selai kekecewaan.
     Sejak hari itu tak lagi kupermasalahkan Kara dengan duri yang pernah kutancapkan dalam-dalam daripada menuai penyesalan. Sekarang saatnya melanjutkan petualangan sebagai Moli yang sedang menggumi sosok guru idolanya.
     Lagipula akhir-akhir ini aku dituntut untuk mempersiapkan diri demi menghadapi OSN yang tinggal menghitung hari. Pak Ian dengan sabarnya membimbungku dan kawan-kawan yang akan mengikuti event bergengsi ini. Aku makin semangat menjadi bagian dari tim olompiade ini karena kesempatan untuk dekat dengan guru idolaku makin terbuka lebar.
     Siang itu sepulang sekolah kuhubungi kawan-kawanku yang akan menjadi peserta OSN juga. Tapi semuanya sudah pulang. Kini tinggal aku sendirian yang mondar-mandir tak tahu harus berbuat apa.
     Sesosok tubuh di meja piket yang sepertinya sudah tak asing lagi berada dalam genggaman kedua bola mataku. Perlahan kaki ini menyeret tubuhku mendekatinya dan memaksaku berhenti di salah satu kursi di meja piket itu. Ya. Tepat di sebelahnya. Di sebelah Pak Ian yang sedang asyik memainkan laptopnya.
      Seluruh jaringan dalam tubuhku sepertinya sudah bersiap melaksanakan tugas dari niat di batinku. Katup bibir ini mulai terbuka untuk sekedar menyapanya. Lalu kujadikan rekan-rekanku yang sudah pulang sebagai alasan untuk sekedar berbincang-bincang sejenak. Hanya ada sosok kami kami berdua disitu. Kursi dan meja sederhana, lantai dan atap yang menjadi saksi bisu bunga yang bermekaran dalam setiap sel-sel darahku.
     Kembali bibirku menerima perintah dari otak kecil ini untuk mulai bertanya macam-macam mengenai pelajaran yang belum kumengerti, tentang soal-soal OSN, dan hal-hal lain yang wajar dibicarakan. Walaupun hanya percakapan seperti itu tetapi hatiku berkata lain. Rasanya seperti berendam di air es saat suhu disekitarnya 100®C.
     Tak terasa 30 sudah kutemani Pak Ian di meja piket sembari mengerjakan tugasnya. Aku belum ingin berlalu. Tubuhku malas beranjak dari kursi ini. Seperti ikatan hidrogen yang terbentuk begitu sulit untuk dilepas dan butuh suhu ekstra untuk melepaskannya.
     “Ehm.” Terdengar suara dari balik pintu lab komputer yang terletak di sebelah tempat ini. Kuelakkan sendi di leherku untuk memastikan siapa pemilik suara itu.
       Kudapatinya tengah menonton adegan yang sedang kulakuni dan lagi-lagi bersama Pak Ian. Ia menggodaku lirih dengan senyuman diakhir kalimatnya. “Ciee... belum pulang?”
      “Masih betah.” Jawabku singkat dan lirih juga.
      Aku kepergok oleh teman sekelasku, Aquilla yang barusan menyadarkanku untuk segera berlalu dari mimpi indah ini.
     Begitu kuatnya ikatan hidrogen dengan Pak Ian membuatku selalu mengingat  setiap detiknya mimpi indah tadi, hingga sampai di rumah molekul-molekul di dalam otakku masih tertinggal disana.
      Beberapa pekan sudah lewat. Hari-hari yang selalu kuhabiskan bersam rekan-rekanku sesama tim olimpiade untuk mematangkan diri menuju kompetisi yang sebenarnya. Tak bosan-bosannya kupanjatkan doa kepada Yang Maha Memiliki Ilmu agar memudahkanku mengerjakan soal-soal di OSN nanti. Hingga tiba saatnyalah pertempuran melawan soal berlevel tinggi dimulai.
      Aku sudah bertekad untuk merebut gelar juara dalam event bergengsi ini. Berharap dapat membawa nama baik sekolah dan membuat Pak Ian banggaa sebagai pembimbingku.
     Lembaran soal di atas meja terlihat menantangku dengan muka mengejek. Memang begini rasanya duduk di kursi panas. Soal-soal itu tak terasa sulit lagi, namun jauh diatas segala kesulitan.
     Waktu telah usai. Tak ada lagi yang bisa kuulangi. Hanya tawakal dan sikap optimis yang kupunya saat itu untuk mengiringi kepergian lembar jawabanku dengan harap-harap cemas.
    Singkat cerita, dua hari setelahnya adalah saat-saat menegangkan bagi para peserta OSN termasuk aku di dalamnya. Harus menyiapkan mata untuk melihat serentetan nama berdasarkan urutan hasil perjuangannya. Aku tak melihat pengumuman itu secara langsung, hanya saja ketika salah seorang temanku menyebutkan namaku berada di urutan bawah, aku langsung patah semangat. Segera kuambil tas dan meninggalkan jam sekolah. Sebelum aku benar-benar pergi, aku sempat berpesan kepada teman sebangkuku, “Jangan tanyakan aku kalau besok aku nggaak masuk sekolah.” Lantas kuberlalu.
       Semenjak peristiwa pengumuman itu, semangatku mulai pudar. Namun sebisanya kucoba untuk bangkit kembali. Banyak teman yang men-supportku untuk tetap bersinar. Tapi yang kurasa justru ada sesuatu yang mulai menjauh dariku. Pak Ian kini seperti mencoba menghindari pertemuan denganku. Ia juga tak banyak respon saat kusapa. Dari wajahnya terlihat kalau ia kecewa dengan kerja kerasku dan kawan-kawan yang belum sempat membawa nama sekolah. Namun diantara kami semua, akulah yang paling merasa sakit jauh-jauh darinya, karena sebelumnya antara aku dan Pak Ian telah terjalin ikatan yang begitu kuat. Dan dengan datangnya kekecewaan ini, ikatan hidrogen itu mulai terputus dengan sendirinya.