Jumat, November 18, 2016

Haluminasi Tanpa Kata



Aku tak bisa menyalahkan siapapun atas memori ini. Memori yang sudah seharusnya terkubur bertahun-tahun dengan sendirinya ternyata tak mampu aku kubur. Menghalanginya untuk tak muncul saja aku tak sanggup karena setiap waktu, setiap saat memori itu membayangiku. Aku terpengaruh sebuah kalimat sugesti dari mulut ibuku. Sebuah ucapan tak pasti yang memberiku harapan besar untuk mewujudkannya. Ini bukan kali pertama aku terganggu sesosok wajah sahabat masa kecilku. Sudah tak terhitung lagi duniaku melebar entah ke mana terbawa bayang itu. Seperti kali ini, lamunanku melambung. Sebentuk tangan lembut milik seorang anak lelaki seperti menyentuhku dari belakang kemudian mengajakku memasuki dunianya yang indah. 

Bangku di bagian paling belakang  kelas ini sebagai tempat kesukaanku mulai terasa lain. Ruang kelas yang polos dengan sedikit pajangan foto presiden dan wakilnya serta lambang negara ini terasa berbeda, dipenuhi bunga-bunga, dihiasi lampu taman kota, dan dibubuhi awan senja. Aku seperti mengenang belasan tahun silam. Masa dimana aku memiliki langit senja dengan segala kemegahannya. Bersama sesosok itu kumiliki pagi hingga senja bersama. Bersama sesosok itu kunikmati dunia seisinya. Tanpa ragu, tanpa malu, terasa begitu syahdu. Itu dulu. Dulu sekali bahkan hingga membuatku lupa kapan usiaku saat itu dan selisih usiaku dengan sahabatku. 

“Bella, kamu lagi apa?” tanya seorang guru yang aku tak tahu kapan ia masuk kelas. Tiba-tiba ia berdiri tepat di hadapanku dan menegurku demikian.

Aku tak tahu harus bilang apa karena aku sama sekali tak punya alasan yang tepat untuk itu. Sebenarnya agak malas juga menjawabnya. Tapi karena tidak baik mengabaikan pertanyaan seorang guru akhirnya kuputuskan untuk menjawab sekenanya. “Sa. Sa. Saya sedang menangkap kunang-kunang, Bu,”

Jawabanku yang terkesan mengada-ada itu sontak saja ditertawakan teman sekelas, bahkan guruku juga ikut menertawakan kalimat ngawurku. “Mana mungkin siang hari begini ada kunang-kunang?” sergahnya.

“Ada, Bu,” jawabku demi mempertahankan alasan yang tak masuk akal. “Di sudut mataku kunang-kunang itu terbang ramai-ramai, Bu,” lanjutku. Dengan pengalaman pernah mengalami serangan mata berkunang-kunang karena darah rendah, aku masih ingin mengibuli guruku. “Kunang-kunang itu ada tapi nggak bisa ditangkap, Bu. Dan malah bikin sakit kepala,” kilahku.

Mungkin Ibu Carina mengerti apa yang kumaksud karena dari tanggapannya menyuruhku pergi ke UKS untuk minta suplemen penambah tekanan darah. Akhirnya dalam hati aku berteriak “YES. Hore!” karena inilah kesempatanku untuk  meninggalkan jam pelajaran sejarah yang membosankan. Dalam ekspektasiku, UKS adalah alasan yang  tepat untuk tidak mengikuti pelajaran tanpa mendapatkan tugas tambahan dan ceramah tambahan.

Aku Bellatrix Saiph, siswa kelas 3 SMA yang masih malas belajar akhirnya berjingkat penuh kemenangan ketika bel pulang berbunyi. Kali ini Nath ada kegiatan organisasi sampai petang, sementara Helena akan berlatih untuk lomba cerdas cermat bulan depan, sedangkan kedua temanku yang lain, berlatih menyanyi untuk acara perpisahan. Jadi siang ini tak ada seorang pun yang akan pulang bersamaku.

Sebenarnya aku tak suka rutinitas semacam ini. Rutinitas tanpa kualitas yang kujalani setiap hari hanya membuatku bosan. Aku ingin juga punya kegiatan seperti Nath, Helena, Canopi, dan Akasa. Menurutku waktu mereka di sekolah tak sia-sia hanya untuk sekedar mendengarkan guru berceramah. Tapi gadis tomboy sepertiku dengan hobi bermain kanvas enggan dibuat susah oleh kegiatan di dalam sekolah. Akhirnya sampai tahun ketigaku di SMA tak ada organisasi maupun ekskul yang kuikuti satupun kecuali kelas seni lukis yang kuambil di luar jadwal sekolah sebagai kegiatan wajib.

Sejak pindah rumah ke kota ini 6 bulan lalu, aku menjadi lebih malas dalam hal sekolah. Melihat jalanan sepi ini juga membuatku malas melangkahkan kaki menuju rumah. Tak ada tawa canda teman-teman yang biasanya pulang bersamaku. Bibirku masih terkunci dan tak menunjukkan ekspresi sampai pada saat seorang anak kecil berusia sekitar 6 tahun menggenggam tanganku, mengajakku berlari-lari kecil penuh keriangan, memetik bebungaan di ujung jalan dan menaburkannya ke kolam ikan. Aku menikmati ayunan tangannya yang mengajakku menikmati keidahan lain dari jalanan sepi ini. Anak kecil yang bahkan kutak tahu namanya ini seolah ingin menunjukkan padaku bahwa dunia ini indah, tak sebatas ruang kelas yang membuuatku bosan, tak sebatas kamar pribadiku yang penuh dengan alat lukis, tak sebatas taman kota yang masih sempat kukunjungi setiap minggu sore.

Boca kecil ini terus membawaku berlari-lari kecil tanpa mengucap sepatah katapun. Hanya tawa riangnya yang mengajakku untuk ikut menikmati indah dunianya. Kupikir aku akan mati dibuat penasaran oleh tingkah lucunya ini, apalagi identitasnya pun aku tak tahu. Akhirnya dengan sedikit lembut kupinta ia berhenti sejenak untuk menanyakan sebutir dua butir pertanyaan yang mengendap.
“Adik. Boleh kakak berhenti sebentar? Kakak capek. Memangnya kamu nggak capek lari-lari terus?” tanyaku pelan karena berusaha menjaga perasaannya agar tidak tersinggung.

“Enggak kok, Kak. Kakak pasti juga suka lari-lari kayak gini, kan?” ia bertanya balik.
Aku bingung harus menjawab apa. Jika boleh jujur, aku kurang dekat dengan anak kecil. Ini membuatku sedikit bingung harus menjawab apa. “Oh, tentu,” jawabku. “Tapi itu dulu, waktu kakak masih seumuran kamu. Tapi sekarang kakak kalo mau lari-lari ada waktunya sendiri,” tuturku mencoba memberinya pengertian.

“Ayolah, Kak. Emangnya Kakak nggak kangen lari-lari kayak ini?” ia kembali bertanya dengan mengharap jawaban mengiyakan dariku. Ia membuatku bingung harus menjawab apa lagi.
Akhirnya sebilah senyum kuuraikan untuk si kecil mungil bertopi ini sembari berpikir untuk menjawab pertanyaannya yang sebenarnya sangat ingin kuiyakan. “Ehm, nama kakak Bellatrix, kalo adik namanya siapa?” tanyaku sekedar mengulur waktu dan mengambil napas.

Bujang kecil itu diam tertunduk seperti kecewa karena pertanyaannya tak kujawab dan malah mengalihkan pembicaraan. “Oke deh. Kalo begitu kenapa adik ngajak kakak lari-lari nih? Memangnya adik mau tunjukkin apa?” aku bertanya kembali. Kali ini aku tak yakin ia akan menjawabnya.

Ia menjawab dengan penuh kepolosan, gaya khas anak kecil. “Aku mau tunjukkin sesuatu ke kakak. Tempat favorit aku,” ujarnya masih menyisakan tanda tanya di benakku akan tempat seperti apa yang ia maksud.

“Oh ya? memangnya tempat seperti apa itu?” 

“Nanti kakak juga tahu,” jawabnya sembari menggandeng kembali tanganku.

Aku masih tak mau kalah dengan melobinya, “Oke. Oke. Kakak bakalan ikut sama kamu tapi setelah kamu kasih tau kakak tempat favorit kamu itu dimana. Hayo gimana?”

Anak kecil yang masih belum kutahu namanya ini diam sejenak entah berpikir atau apa.

“Oke. Kakak beliin eskrim deh kalo kamu mau kasih tau tempat favorit kamu itu. Habis itu baru kita kesana. Gimana?” bujukku kembali ketika kebetulan seorang penjual eskrim keliling lewat di seberang jalan ini.

Demi mendengar kata eskrim, matanya berbinar. Tanpa menunggu persetujuannya, aku memanggil penjual eskrim dan membeli sebungkus eskrim rasa coklat. Setelah kuberikan eskrim itu padanya, ia berkata padaku bahwa tempat favoritnya ada di seberang sungai kecil yang tak pernah kukunjungi sebelumnya itu. Aku menuruti langkah ceria bocah itu untuk sekedar membuang waktu kosongku sebelum menginjakkan kaki di rumah. Selama menuju tempat favoritnya, bocah itu tak banyak bicara. Hanya nyanyian sederhana yang kudengar dari bibir mungilnya. Itu cukup membuatku mengenang kembali masa-masa kecilku. Ditambah polosnya ia menjilati eskrim juga mengingatkanku kepada sosok sahabat yang masih setia membayangiku.

Ketika sampai di seberang sungai kecil yang ia maksud, bocah lelaki yang masih belum kutahu namanya itu menunjukkan sebuah makam kecil. Ya. Ia mengajakku ke pemakaman. Ia berhenti di depan makam itu dan memintaku membersihkan debu-debu dan dedaunan yang menutupinya. Ketika sampai pada nisannya, hatiku berdegup. Kudapati nama yang tak asing lagi. Nama yang Ibuku bisikkan bahwa suatu hari aku akan bertemu kembali dengannya, Antares, yang tak lain adalah sahabat kecilku yang setiap saat selalu membayangi. Di nisan itu kubaca tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Tanggal lahirnya tak jauh beda dengan tanggal lahirku, namun tanggal wafat sudah terbilang lama, 10 tahun lalu. Aku menoleh pada anak lelaki di sampingku. Kupikir ia akan menjelaskan mengapa makam ini menjadi tempat favoritnya, namun wujudnya tak kutemukan bahkan jejak kakinya pun tidak. Apa-apaan ini? Ingin memanggilnya pun tak bisa karena tak tahu namanya. Lalu apa maksudnya?

Aku tertegun dan menangisi makam itu kemudian. Tersadar. Aku tersadar. Jika kubandingkan kembali, usia anak tadi kira-kira sebanding dengan tahun wafat Antares dikurang tahun lahirnya. Aku paham teka-tekinya. Sosok anak tadi hanyalah bayangan Antares yang ingin menunjukkan sebuah kenyataan padaku. Kenyataan bahwa ia telah terpisahkan oleh perbedaan dunia denganku. Tangisku semakin pecah mengingat perkataan ibuku yang menjadikan sugesti di otakku. Tapi mengapa harus bertemu dalam keadaan serumit ini. Menemuinya dalam kenyataan tak seindah pertemuan yang selalu terjalin lewat angan maupun mimpi.

Karena Antares sudah berbeda dimensi denganku mungkin itulah yang membuatnya mudah sekali mengunjungiku. Dan ia pandai mengunjungiku dalam situasi yang tepat, saat aku gundah, bosan, bahkan emosi. Semua itu mungkin mudah baginya.

Antares, meski harapanku untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang kita rangkai di masa kecil tak mungkin kita wujudkan bersama, tapi bayang-bayangmu membuatku kuat. Kehadiran sosokmu yang tak dapat kusentuh justru selama ini, justru telah menyuntikkan semangat baru bagiku. Betapapun kerinduan terdalam pada sosok itu menerangi duniaku yang tak seindah dulu. Bahkan jika boleh kukatakan, halusinasi yang menyiksa dipadukan dengan iluminasi membuat duniaku yang fantasi tampak nyata. Haluminasi tanpa kata mengantarkanku pada kenyataan pahit, membuatku harus merelakan kepergianmu yang sudah terjadi 10 tahun lalu. Jika boleh aku menawar, meski sudah kuhadapi kenyataan ini aku masih ingin berhaluminasi dengan bayangmu untuk sekedar menemaniku melukis di sudut ruang ternyamanku.