Jumat, November 18, 2016

KETAKUTAN TERBESARKU ADALAH KEHILANGANMU



Kerumunan yang tampak olehku dari jarak beberapa meter itu sempat membuat langkahku terhenti. Sekitar 5 orang dewasa mengangkat sebuah tandu menuju ke beranda Masjid Salman. Jaket abu-abu yang dikenakan gadis diatas tandu itu sudah sangat familiar bagiku. Sekali lagi aku ingin memastikan siapa gadis malang itu apakah dugaanku benar adanya. Lagi-lagi bagian dari jilbabnya yang menjuntai ke tanah membuat dugaanku semakin kuat bahwa aku mengenali gadis itu. Terlebih ketika para pembawa tandu sedikit melebar ketika hendak menurunkannya. Malah terpampang jelas karena wajahnya menghadap tepat ke arahku, dan kini cukuplah aku memastikan bahwa gadis diatas tandu itu adalah Atika, sahabatku.

“Atika!” teriakku dari kejauhan. Meski aku yakin ia tak mendengar seruanku, namun rasa terkejutku tak bisa dibendung. Segera kuberlari mengejar tubuh lunglai tak berdaya itu, melepaskan tas, buku-buku, dan benda lainnya yang menghalangiku. Aku tak peduli rumput halaman Masjid Salman yang basah merusak lembaran buku-bukuku. Saat ini aku hanya pedui pada gadis mungil yang selalu bersamaku sejak kecil, Atika Setiana.

Dari keterangan orang-orang yang mengerubinginya, aku tahu, Atika jatuh lagi. kali ini ia terjatuh saat sedang memandu para peserta Try Out SBMPTN sholat bersama ke masjid. Aku tah tahu ini sudah keberapa kalinya ia jatuh. Yang kutahu, ia tak bisa terlalu lelah. Kelelahan membuatnya jatuh dan sakitnya kambuh. Dulu tidak begitu. Sebelum memasuki dunia perkuliahan, Atika tak pernah jatuh. Mungkin aktivitasnya lebih padat dan  waktu yang ia gunakan untuk berkegiatan lebih padat. Aku hanya mengira-ngira.

Atika sangat menyukai anak-anak. Apalagi semenjak dokter memvonisnya mengidap penyakit sangar itu, kanker liver, ketika usianya 17 tahun. Orang tua Atika tak pernah melarang apapun kegiatannya, tapi mereka tak pernah mengizinkannya berkegiatan yang memakai tenaga fisik.

Hari ini menjadi hari pertamaku bertemu Atika setelah ia resmi menjadi mahasiswa. Aku sendiri masih berusaha mencapai status itu karena tahun kemarin bukanlah tahun yang tepat bagiku. Atika beruntung, kampus riset berbasis teknologi nomor satu di Indonesia itu menerima ia sebagai mahasiswanya. Namun mengapa harus dalam keadaan seperti ini? Menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri ia terbaring dengan mata tertutup sedangkan orang-orang mengerubunginya untuk membuka matanya. Melihat kebali dunia yang membuatnya menjadi seperti itu.

Ketika sudah pulih dari pingsan, aku memelukya seketika. Bagaimanapun, tak ada seorang sahabat yang rela sahabatnya jatuh pingsan karena sakit yang dideritanya, meski sudah sewajarnya hal itu terjadi. Wajahnya sungguh masih sangat lemah, tak bertenaga. Namun begitu, ia masih mengenaliku.
“Tika, cerita sama aku kenapa kamu bisa pingsan di tempat umum seperti itu?” tanyaku setelah Atika sudah mendapatkan tenaganya kembali dari secangkir teh hangat dan sepotong roti.
Ia mulai membuka mulutnya yang sedari tadi hanya diam saja. “Aku kecapean, Al. Aku nggak kuat.”
Aku bertanya kembali. Kali ini dengan harapan ia mau menjelaskannya.“Lalu? Kenapa, Ka? Dulu kan enggak seperti itu?” 

“Aku udah stadium 3, Al,” jawabnya degan berat. Berat untuk mengatakan dan berat juga untuk merasakan. “Ini bukan pertama kalinya aku jatuh gara-gara itu. Bahkan dalam sebulan ini sudah 6 kali aku jatuh.”

Sebenarnya aku masih ingin mengetahui lebih banyak tentang sahabatku ini, tapi keadaan psikologisnya sedang tak baik untuk diajak berbicara. Yang kutakutkan tangisnya akan semakin pecah jika kutanyakan lebih lanjut dan juga perasaannya semakin sakit mengenang. Meski sesungguhnya sudah seharusnya aku menjadi tempat sandarannya, tempat menumpahkan tangisnya, tempat menampung curhatnya. Tapi cukup dengan keterangannya barusan, sudah kumengerti seluruh perasannya. Cukup pelukan saja yang mesti kuberikan. Pelukan menguatkan dari seorang sahabat yang sedikit mengurangi perasaan sakitnya. Aku pun merasakan semua itu. Apa yang ia takutkan, juga aku takutkan.

Aku melangkah gontai setelah kegiatan Try Outku selesai dan menemani Atika beraktivitas di organisasinya. Sebelum itu kuambil dahulu buku-bukuku yang sempat kuabaikan di rerumputan basah. Jika masih beruntung, mungkin buku-buku setebal kamus yang selalu kupelajari setiap malam masih tergeletak di tempatnya. Jika tidak demikian mungkin saja ada yang mengamankannya.

Senyum Atika mengembang melihat benda-benda yang kumaksudkan masih tercecer di tempatnya semula. Dari jarak sekitar 10 meter ia paham. Modul, buku dan teman-temannya itu adalah jimat yang kami pakai bersama sejak kelas 2 SMA untuk menaklukkan soal tes masuk perguruan tinggi. Atika berhasil menaklukkannya, sementara aku harus berjuang lebih keras lagi untuk tes tahun berikutnya. “Kamu masih setia sama buku-buku itu, Al?” tanyanya dengan senyum melebar, menghilangkan gurat sendu yang baru saja nampak sangat nyata di wajahnya.

Dan kujawab, “Aku memimpikan kampus ini sejak masih SMP, Ka. Bahkan kamu juga ikut mengidamkan kampus ini karena aku. Kita ingin masuk ITB sama-sama kan, Ka?...”
“Dan aku malah duluin kamu, Al. Jadi kamu harus nyusul aku segera,” potong Atika yang sepertinya sudah sangat mengerti jalan pikiranku.
“Kamu bener, Ka,” sahutku. “Kamu udah 3 bulan di sini, kan? Kenapa enggak pernah pulang? Kadang kalo lagi libur kerja aku main ke rumahmu, selalu papah sama mamah kamu yang nyambut. Apa kamu nggak pernah pulang, padahal jarak rumah dan kost kamu enggak jauh-jauh amat, kan?” tanyaku penasaran.
“Waktunya belum mendukung buat pulang ke rumah, Al. Kalaupun aku pulang pasti kamu aku kabarin kok. Memangnya kamu pikir aku bakal lupa sama kamu ya? Hayo ngaku.” 

“Hehe,” senyumku mengembang menampakkan kelegaan. “Memangnya orangtua kamu nggak khawatir?” sergahku.

“Mereka telpon aku setiaap minggu jadi kamu nggak perlu khawatir. Papah dan mamah aku tahu perkembangan dan kondisi anaknya kok,” jawabnya berusaha memberiku pengertian. “Eh, aku minum obat dulu ya, Al. Udah lewat 2 jam dari jadwalku minum obat,” ucapnya tiba-tiba sembari mengeluarkan bungkusan plastik berwarna putih yang ketika dibuka menyembulkan berbagai macam obat. Jika tidak salah sempat kuhitung ada sekitar 8 macam obat yang ia telan dalam sekali waktu.

Hatiku nanar melihat seorang sahabat yang berteman denganku sejak kecil, kemana-mana berdua, bahkan bisa diibaratkan tidur dan makan berdua, hanya sempat terpisah oleh dunia kampus dan dunia kerja, kini hidup dalam balutan obat dan obat. Bagai pecandu yang bahkan tak bisa sehari pun hidup tanpanya. Mengapa perkembangan sel kanker di hati Atika tumbuh secepat itu? Baru tiga bulan kami tidak bersua, kini seburuk itu kudapati kondisnya. Cukup dengan melihatnya mengeluarkan obat saja hatiku ikut nyeri. Melihatnya menelan butir-butir pil itu bahkan tak berani. Ngilu. Sedalam itu perasaanku ikut berperan. Jika boleh aku menangis, mungkin saat itu juga air mataku akan tumpah. Namun aku tak boleh menangis di hadapannya, terlebih dengan alasan itu yang justru akan ikut melukai perasaannya, menambah bebannya.

“Sepertinya aku harus pulang sekarang, Ka,” ucapku kepada Atika setelah ia selesai bercinta dengan obatnya. “Langit udah mendung.  Kayaknya sebentar lagi hujan turun,” ujarku berkilah. Sejujurnya bukan karena itu aku ingin segera pulang. Tetapi karena aku tak ingin ia melihatku menangis di hadapannya. Terutama karena aku seorang laki-laki.

Sembari kuberanjak , ia menawarkan kebaikan padaku, “Aku antar ke halte ya? Aku temenin sampe kamu dapet angkot,” ujarnya.

Demi mendengar tawarannya, aku segera menolak, khawatir kalau sampai cairan hangat yang sedang kubendung tumpah seketika di hadapannya. “Enggak usah, Ka. Aku pulang sama temenku, kok. Dia nunggu di gedung itu,” aku terpaksa berbohong sembari mennjuk sebuah gedung kuliah yang terletak di depan masjid kampus.

“Kalau begitu aku duluan ya, Ka. Kamu jaga kesehatan dan jangan sampe kecapean lagi ya,” ucapku mengakhiri pertemuan singkat itu.

Tanpa ia tahu sebenarnya aku setengah berlari menuju gedung yang kumaksud untuk mencari toilet dan menumpahkan cairan hangatku di situ. Jika boleh aku menawar seharusnya jangan ia yang menerima derita itu. Atika masih terlalu muda dan tak punya riwayat penyakit berbahaya dari keluarganya. Sedangkan aku yang justru terlahir dari ayah penderita buta warna dan ibu penderita jantung koroner malah diberi kesehatan tanpa celah. Jika boleh aku berargumen kepada Tuhan, gadis mungil itu terlalu baik untuk diberi ujian semacam ini. Atika sangat menyayangi anak-anak dan mengasihi orang tua. Atika sangat pandai menjaga perasaan orang lain sehingga akupun harus menjaga perasaannya. Jika boleh aku memprotes, mengapa harus ia sendiri yang menanggungnya padahal ada banyak orang diluar sana yang lebih pantas menerimanya, mungkin juga aku.
Baru kali ini aku merasa selemah ini sebagai seorang lelaki. Biasanya aku selalu bisa menahan tangis dalam keadaan emosi setinggi-tingginya. Namun luka sahabatku benar-benar menjadi lukaku. Dan kukira, mungkin inilah yang disebut sahabat sejati bagai tangan dan mata. Jika tangan terluka maka mata ikut merasakan lukanya yang terwujud dalam bentuk tangis.

Malam ini aku tak bisa tidur nyenyak mengenang pertemuan singkat kami yang telah tertunda selama 3 bulan. Aku merasa perlu keluar menemui seorang teman terdekatku yang lagi-lagi sudah terlebih dahulu menimba ilmu di perguruan tinggi ternama di Kota Bandung. Mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 100 km/jam tidak masalah bagiku sehingga tak butuh waktu lama untuk menemui Elva yang sedikit sibuk di Kanpus Unpad. Kepada mahasiswa jurusan Psikologi yang kini sudah memasuki semester 5 ini kuungkapkan semua perasaan kalutku. Di hadapannya aku tak malu menangis karena ia sudah kuanggap sebagai kakak sendiri mengingat kedekatan yang telah terjalin diantara kami sejak masih duduk di bangku SMA.

Elva manggut-manggut mendengar keluhanku. Aku beruntung mamilikinya, seorang teman yang bisa berperan ganda sebagai kakak, sahabat, bahkan terkadang ibu dan psikolog pribadi seperti kali ini.
“Ceritamu jauh berbeda dibanding cerita-cerita sebelumnya, Al,” ungkapnya setelah kuselesaikan bercerita paanya.

“Ya. Kali ini emang beda, Al. Karena sebelumnya aku nggak pernah cerita kalau Atika mengidap kenker liver,” tukasku.

“Bukan itu maksudku,” sergahnya.

“Lalu?” tanyaku.
 
“Perasaanmu lain,”

“Lain gimana?” tanyaku sungguh tak mengerti.

Setengahnya aku masih kurang yakin atas penjelasannya. Elva bilang perasaanku kepada Atika telah berubah, lebih dari sahabat. Tapi kenyataan bahwa kami telah bersahabat sejak kecil mampu menghalangiku berpikir akan perbedaan itu. Akhirnya lama-lama aku mengiyakan ucapannya setelah ia memberiku kesempatan untuk mengingat-ingat kembali bagaimana perasaanku sebelumnya. Bukan karena statusnya sebagai mahasiswa psikologi yang membuatku percaya padanya, tapi karena pertemananku dengannya yang terjalin sudah lama membuatnya mamahamiku sepenuhnya.
“Lalu sekarang apa solusimu buatku?” tanyaku sebelum mengakhiri konsultasiku malam ini.
“Nggak ada?” jawabnya tenang.
 
“Kenapa nggak ada?” tanyaku heran.

“Kamu nggak perlu solusi,Al. Kamu cuma perlu menyayangi Atika dengan tulus dan jangan pernah melukai perasaannya. Aku yakin dengan cara seperti itu, dia akan merasa tenang dan perhatianmu pasti akan mengurangi bebannya. Buatlah hidupnya terasa ringan dijalani. Kamu yang udah ngertiin dia dari awal, kamu pasti bisa melakukan yang terbaik buat Atika. Sampaikan salamku buat Atika ya. Dia beruntung dicintai orang sepertimu,” tuturnya penuh kelembutan dan pengertian. Benar-benar terasa seperti psikolog sungguhan.

“Pasti, Va. Makasih ya, dari dulu kamu emang orang yang tepat. Aku lebih beruntung punya teman seperti kamu,” jawabku sedikit memberi pujian juga untuknya.

Aku, Alvi Al-Yudhistira meyakinkan diriku sepenuhnya bahwa aku akan menyayangi Atika, seorang gadis mungil yang begitu berarti dalam hidupku hingga menjadikan ketakutan terdalamku adalah kehilangannya, tanpa meminta imbalan apapun darinya. Aku juga akan menjaga mulutku untuk menyembunyikan perasaanku yang telah berubah agar jangan sampai membuatnya terluka. Aku mau Atika tetap menyayangiku sebagai sahabat hingga suatu hari ia tahu dengan sendirinya atas perasaanu yang sesungguhnya. Aku benar-benar takut kehilangannya, kehilangan orang terkasihku.