Kerumunan yang
tampak olehku dari jarak beberapa meter itu sempat membuat langkahku terhenti.
Sekitar 5 orang dewasa mengangkat sebuah tandu menuju ke beranda Masjid Salman.
Jaket abu-abu yang dikenakan gadis diatas tandu itu sudah sangat familiar
bagiku. Sekali lagi aku ingin memastikan siapa gadis malang itu apakah dugaanku
benar adanya. Lagi-lagi bagian dari jilbabnya yang menjuntai ke tanah membuat
dugaanku semakin kuat bahwa aku mengenali gadis itu. Terlebih ketika para
pembawa tandu sedikit melebar ketika hendak menurunkannya. Malah terpampang
jelas karena wajahnya menghadap tepat ke arahku, dan kini cukuplah aku
memastikan bahwa gadis diatas tandu itu adalah Atika, sahabatku.
“Atika!”
teriakku dari kejauhan. Meski aku yakin ia tak mendengar seruanku, namun rasa
terkejutku tak bisa dibendung. Segera kuberlari mengejar tubuh lunglai tak
berdaya itu, melepaskan tas, buku-buku, dan benda lainnya yang menghalangiku.
Aku tak peduli rumput halaman Masjid Salman yang basah merusak lembaran
buku-bukuku. Saat ini aku hanya pedui pada gadis mungil yang selalu bersamaku
sejak kecil, Atika Setiana.
Dari
keterangan orang-orang yang mengerubinginya, aku tahu, Atika jatuh lagi. kali
ini ia terjatuh saat sedang memandu para peserta Try Out SBMPTN sholat bersama
ke masjid. Aku tah tahu ini sudah keberapa kalinya ia jatuh. Yang kutahu, ia
tak bisa terlalu lelah. Kelelahan membuatnya jatuh dan sakitnya kambuh. Dulu tidak
begitu. Sebelum memasuki dunia perkuliahan, Atika tak pernah jatuh. Mungkin
aktivitasnya lebih padat dan waktu yang
ia gunakan untuk berkegiatan lebih padat. Aku hanya mengira-ngira.
Atika sangat
menyukai anak-anak. Apalagi semenjak dokter memvonisnya mengidap penyakit sangar
itu, kanker liver, ketika usianya 17 tahun. Orang tua Atika tak pernah melarang
apapun kegiatannya, tapi mereka tak pernah mengizinkannya berkegiatan yang
memakai tenaga fisik.
Hari ini
menjadi hari pertamaku bertemu Atika setelah ia resmi menjadi mahasiswa. Aku
sendiri masih berusaha mencapai status itu karena tahun kemarin bukanlah tahun
yang tepat bagiku. Atika beruntung, kampus riset berbasis teknologi nomor satu
di Indonesia itu menerima ia sebagai mahasiswanya. Namun mengapa harus dalam
keadaan seperti ini? Menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri ia terbaring
dengan mata tertutup sedangkan orang-orang mengerubunginya untuk membuka
matanya. Melihat kebali dunia yang membuatnya menjadi seperti itu.
Ketika sudah
pulih dari pingsan, aku memelukya seketika. Bagaimanapun, tak ada seorang
sahabat yang rela sahabatnya jatuh pingsan karena sakit yang dideritanya, meski
sudah sewajarnya hal itu terjadi. Wajahnya sungguh masih sangat lemah, tak
bertenaga. Namun begitu, ia masih mengenaliku.
“Tika, cerita
sama aku kenapa kamu bisa pingsan di tempat umum seperti itu?” tanyaku setelah
Atika sudah mendapatkan tenaganya kembali dari secangkir teh hangat dan
sepotong roti.
Ia mulai
membuka mulutnya yang sedari tadi hanya diam saja. “Aku kecapean, Al. Aku nggak
kuat.”
Aku bertanya
kembali. Kali ini dengan harapan ia mau menjelaskannya.“Lalu? Kenapa, Ka? Dulu
kan enggak seperti itu?”
“Aku udah
stadium 3, Al,” jawabnya degan berat. Berat untuk mengatakan dan berat juga
untuk merasakan. “Ini bukan pertama kalinya aku jatuh gara-gara itu. Bahkan
dalam sebulan ini sudah 6 kali aku jatuh.”
Sebenarnya aku
masih ingin mengetahui lebih banyak tentang sahabatku ini, tapi keadaan
psikologisnya sedang tak baik untuk diajak berbicara. Yang kutakutkan tangisnya
akan semakin pecah jika kutanyakan lebih lanjut dan juga perasaannya semakin
sakit mengenang. Meski sesungguhnya sudah seharusnya aku menjadi tempat
sandarannya, tempat menumpahkan tangisnya, tempat menampung curhatnya. Tapi
cukup dengan keterangannya barusan, sudah kumengerti seluruh perasannya. Cukup
pelukan saja yang mesti kuberikan. Pelukan menguatkan dari seorang sahabat yang
sedikit mengurangi perasaan sakitnya. Aku pun merasakan semua itu. Apa yang ia
takutkan, juga aku takutkan.
Aku melangkah
gontai setelah kegiatan Try Outku selesai dan menemani Atika beraktivitas di
organisasinya. Sebelum itu kuambil dahulu buku-bukuku yang sempat kuabaikan di
rerumputan basah. Jika masih beruntung, mungkin buku-buku setebal kamus yang
selalu kupelajari setiap malam masih tergeletak di tempatnya. Jika tidak
demikian mungkin saja ada yang mengamankannya.
Senyum Atika
mengembang melihat benda-benda yang kumaksudkan masih tercecer di tempatnya
semula. Dari jarak sekitar 10 meter ia paham. Modul, buku dan teman-temannya
itu adalah jimat yang kami pakai bersama sejak kelas 2 SMA untuk menaklukkan
soal tes masuk perguruan tinggi. Atika berhasil menaklukkannya, sementara aku
harus berjuang lebih keras lagi untuk tes tahun berikutnya. “Kamu masih setia
sama buku-buku itu, Al?” tanyanya dengan senyum melebar, menghilangkan gurat
sendu yang baru saja nampak sangat nyata di wajahnya.
Dan kujawab,
“Aku memimpikan kampus ini sejak masih SMP, Ka. Bahkan kamu juga ikut
mengidamkan kampus ini karena aku. Kita ingin masuk ITB sama-sama kan, Ka?...”
“Dan aku malah
duluin kamu, Al. Jadi kamu harus nyusul aku segera,” potong Atika yang
sepertinya sudah sangat mengerti jalan pikiranku.
“Kamu bener,
Ka,” sahutku. “Kamu udah 3 bulan di sini, kan? Kenapa enggak pernah pulang?
Kadang kalo lagi libur kerja aku main ke rumahmu, selalu papah sama mamah kamu
yang nyambut. Apa kamu nggak pernah pulang, padahal jarak rumah dan kost kamu
enggak jauh-jauh amat, kan?” tanyaku penasaran.
“Waktunya
belum mendukung buat pulang ke rumah, Al. Kalaupun aku pulang pasti kamu aku
kabarin kok. Memangnya kamu pikir aku bakal lupa sama kamu ya? Hayo ngaku.”
“Hehe,”
senyumku mengembang menampakkan kelegaan. “Memangnya orangtua kamu nggak
khawatir?” sergahku.
“Mereka telpon
aku setiaap minggu jadi kamu nggak perlu khawatir. Papah dan mamah aku tahu
perkembangan dan kondisi anaknya kok,” jawabnya berusaha memberiku pengertian.
“Eh, aku minum obat dulu ya, Al. Udah lewat 2 jam dari jadwalku minum obat,”
ucapnya tiba-tiba sembari mengeluarkan bungkusan plastik berwarna putih yang
ketika dibuka menyembulkan berbagai macam obat. Jika tidak salah sempat
kuhitung ada sekitar 8 macam obat yang ia telan dalam sekali waktu.
Hatiku nanar
melihat seorang sahabat yang berteman denganku sejak kecil, kemana-mana berdua,
bahkan bisa diibaratkan tidur dan makan berdua, hanya sempat terpisah oleh
dunia kampus dan dunia kerja, kini hidup dalam balutan obat dan obat. Bagai
pecandu yang bahkan tak bisa sehari pun hidup tanpanya. Mengapa perkembangan
sel kanker di hati Atika tumbuh secepat itu? Baru tiga bulan kami tidak bersua,
kini seburuk itu kudapati kondisnya. Cukup dengan melihatnya mengeluarkan obat
saja hatiku ikut nyeri. Melihatnya menelan butir-butir pil itu bahkan tak
berani. Ngilu. Sedalam itu perasaanku ikut berperan. Jika boleh aku menangis,
mungkin saat itu juga air mataku akan tumpah. Namun aku tak boleh menangis di
hadapannya, terlebih dengan alasan itu yang justru akan ikut melukai
perasaannya, menambah bebannya.
“Sepertinya
aku harus pulang sekarang, Ka,” ucapku kepada Atika setelah ia selesai bercinta
dengan obatnya. “Langit udah mendung.
Kayaknya sebentar lagi hujan turun,” ujarku berkilah. Sejujurnya bukan
karena itu aku ingin segera pulang. Tetapi karena aku tak ingin ia melihatku
menangis di hadapannya. Terutama karena aku seorang laki-laki.
Sembari
kuberanjak , ia menawarkan kebaikan padaku, “Aku antar ke halte ya? Aku temenin
sampe kamu dapet angkot,” ujarnya.
Demi mendengar
tawarannya, aku segera menolak, khawatir kalau sampai cairan hangat yang sedang
kubendung tumpah seketika di hadapannya. “Enggak usah, Ka. Aku pulang sama
temenku, kok. Dia nunggu di gedung itu,” aku terpaksa berbohong sembari mennjuk
sebuah gedung kuliah yang terletak di depan masjid kampus.
“Kalau begitu
aku duluan ya, Ka. Kamu jaga kesehatan dan jangan sampe kecapean lagi ya,”
ucapku mengakhiri pertemuan singkat itu.
Tanpa ia tahu
sebenarnya aku setengah berlari menuju gedung yang kumaksud untuk mencari
toilet dan menumpahkan cairan hangatku di situ. Jika boleh aku menawar
seharusnya jangan ia yang menerima derita itu. Atika masih terlalu muda dan tak
punya riwayat penyakit berbahaya dari keluarganya. Sedangkan aku yang justru
terlahir dari ayah penderita buta warna dan ibu penderita jantung koroner malah
diberi kesehatan tanpa celah. Jika boleh aku berargumen kepada Tuhan, gadis
mungil itu terlalu baik untuk diberi ujian semacam ini. Atika sangat menyayangi
anak-anak dan mengasihi orang tua. Atika sangat pandai menjaga perasaan orang
lain sehingga akupun harus menjaga perasaannya. Jika boleh aku memprotes,
mengapa harus ia sendiri yang menanggungnya padahal ada banyak orang diluar
sana yang lebih pantas menerimanya, mungkin juga aku.
Baru kali ini
aku merasa selemah ini sebagai seorang lelaki. Biasanya aku selalu bisa menahan
tangis dalam keadaan emosi setinggi-tingginya. Namun luka sahabatku benar-benar
menjadi lukaku. Dan kukira, mungkin inilah yang disebut sahabat sejati bagai
tangan dan mata. Jika tangan terluka maka mata ikut merasakan lukanya yang
terwujud dalam bentuk tangis.
Malam ini aku
tak bisa tidur nyenyak mengenang pertemuan singkat kami yang telah tertunda
selama 3 bulan. Aku merasa perlu keluar menemui seorang teman terdekatku yang
lagi-lagi sudah terlebih dahulu menimba ilmu di perguruan tinggi ternama di
Kota Bandung. Mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 100 km/jam tidak
masalah bagiku sehingga tak butuh waktu lama untuk menemui Elva yang sedikit
sibuk di Kanpus Unpad. Kepada mahasiswa jurusan Psikologi yang kini sudah
memasuki semester 5 ini kuungkapkan semua perasaan kalutku. Di hadapannya aku
tak malu menangis karena ia sudah kuanggap sebagai kakak sendiri mengingat
kedekatan yang telah terjalin diantara kami sejak masih duduk di bangku SMA.
Elva
manggut-manggut mendengar keluhanku. Aku beruntung mamilikinya, seorang teman
yang bisa berperan ganda sebagai kakak, sahabat, bahkan terkadang ibu dan
psikolog pribadi seperti kali ini.
“Ceritamu jauh
berbeda dibanding cerita-cerita sebelumnya, Al,” ungkapnya setelah kuselesaikan
bercerita paanya.
“Ya. Kali ini
emang beda, Al. Karena sebelumnya aku nggak pernah cerita kalau Atika mengidap
kenker liver,” tukasku.
“Bukan itu
maksudku,” sergahnya.
“Lalu?”
tanyaku.
“Perasaanmu
lain,”
“Lain gimana?”
tanyaku sungguh tak mengerti.
Setengahnya
aku masih kurang yakin atas penjelasannya. Elva bilang perasaanku kepada Atika
telah berubah, lebih dari sahabat. Tapi kenyataan bahwa kami telah bersahabat
sejak kecil mampu menghalangiku berpikir akan perbedaan itu. Akhirnya lama-lama
aku mengiyakan ucapannya setelah ia memberiku kesempatan untuk mengingat-ingat
kembali bagaimana perasaanku sebelumnya. Bukan karena statusnya sebagai
mahasiswa psikologi yang membuatku percaya padanya, tapi karena pertemananku
dengannya yang terjalin sudah lama membuatnya mamahamiku sepenuhnya.
“Lalu sekarang
apa solusimu buatku?” tanyaku sebelum mengakhiri konsultasiku malam ini.
“Nggak ada?”
jawabnya tenang.
“Kenapa nggak
ada?” tanyaku heran.
“Kamu nggak
perlu solusi,Al. Kamu cuma perlu menyayangi Atika dengan tulus dan jangan
pernah melukai perasaannya. Aku yakin dengan cara seperti itu, dia akan merasa
tenang dan perhatianmu pasti akan mengurangi bebannya. Buatlah hidupnya terasa
ringan dijalani. Kamu yang udah ngertiin dia dari awal, kamu pasti bisa
melakukan yang terbaik buat Atika. Sampaikan salamku buat Atika ya. Dia
beruntung dicintai orang sepertimu,” tuturnya penuh kelembutan dan pengertian.
Benar-benar terasa seperti psikolog sungguhan.
“Pasti, Va.
Makasih ya, dari dulu kamu emang orang yang tepat. Aku lebih beruntung punya
teman seperti kamu,” jawabku sedikit memberi pujian juga untuknya.
Aku, Alvi
Al-Yudhistira meyakinkan diriku sepenuhnya bahwa aku akan menyayangi Atika,
seorang gadis mungil yang begitu berarti dalam hidupku hingga menjadikan
ketakutan terdalamku adalah kehilangannya, tanpa meminta imbalan apapun
darinya. Aku juga akan menjaga mulutku untuk menyembunyikan perasaanku yang
telah berubah agar jangan sampai membuatnya terluka. Aku mau Atika tetap
menyayangiku sebagai sahabat hingga suatu hari ia tahu dengan sendirinya atas
perasaanu yang sesungguhnya. Aku benar-benar takut kehilangannya, kehilangan
orang terkasihku.