Rabu, November 16, 2016

Kang Ian Wakil Perantara Tuhan



Sudah menjadi konsumsi rutinku ketika pulang kampung di akhir bulan. Pemandangan yang kulihat maupun sekedar kabar yang kudengar selalu sama. Tak kurang dan tak lebih. Terkadang undangan pernikahan dari teman-teman sekolahku dan saudaraku sampai bertumpuk di diatas dipan ranjang kamarku. Sabtu ini, 28 Oktober, saatnya aku menengok keluarga di kampung yang berjarak kira-kira 100 km. 

Kali ini aku tak sendiri. Akang Ian, seorang pria berdarah Sunda bersedia mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan ia mau mengantarku pulang bakda maghrib sepulang kuliah. Badan lelah dan revisi skripsi yang ada di kepalanya ia lupakan sejenak untuk bisa berkonsentrasi mengendarai sepeda motor kesayangannya. Begitupun denganku. Bayangan produk-produk snack dan makanan ringan yang harus dikumpul besok pagi untuk bahan praktikum uji pengawet pun sejenak aku singkirkan.

Jam 6 lewat 15 menit, Kang Ian hidupkan starter motornya. Aku duduk di belakang seperti biasa. Kami berdua pun siap membelah jalanan kota Bandar Lampung. Dengan semaangat jalanannya, jarum merah speedometer semakin naik menuju angka 80 km/jam. Kecepatan itu lumayan konsisten meski terkadang sampai menunjuk angka 100 km/jam atau bahkan 40 km/jam. Tidak mengapa baginya berkendara di jalanan ramai dengan kecepatan seperti itu. begitu pun denganku yang sudah terbiasa dibonceng dengan kecepatan tinggi.

Kebetulan esok hari kakaknya Kang Kian akan menikah. Ia dan keluarga berangkat dari rumah yang searah dengan arahku pulang namun dengan jarak yang masih jauh lagi dari rumahku. Makanya kami berdua bisa pulang bersama-sama. Setelah singgah sebentar di rumahku, pastinya ia akan melanjutkan perjalanan ratusan km lagi menuju ujung barat Propinsi Lampung. 

Keadaan di rumahku sedikit lebih ramai dengan kehadiran keluarga dekat yang bersama-sama membuat kue dengan ibu dan adikku. Tak lain dan tak bukan kue-kue itu adalah untuk persiapan pernikahan kakakku yang akan digelar lusa. Esok pagi, keluargaku akan berangkat ke daerah tambak udang untuk menggelar prosesi ijab kabul kakakku dengan calon istrinya di sana yang akan dilaksanakan 1 hari setelahnya.

Rasa kecewaku masih terasa sampai sekarang karena kegiatan di kampus yang super penting mengharuskanku tak menghadiri hari spesial kakak kesayanganku. Sebagai gantinya, di sela-sela kesibukan aku sengaja berselisih dengan waktu supaya bisa menyelesaikan sketsa wajah kakakku sehalus mungkin. Tanpa menunggu lagi, begitu tiba di rumah segera saja sketsa itu kutunjukkan pada ibu dan orang-orang yang saat itu ada di rumah.

“Bu, lihat. Ini gambar muka Kak Miftah,” ucapku dengan bangga setelah membingkainya dalam bingkai berukuran A4. “Besok sketsa ini harus dipajang di pernikahan kakak. Sketsa ini anggap aja sebagai simbol kehadiranku, karena dosenku nggak bisa dilobi lagi. Aku benar-benar nggak dikasih izin buat menghadiri pernikahan kakak,” lanjutku masih dengna rasa kecewa.
 
Semua orang di belakang pun tersenyum melihat wajah kakakku dalam balutan bingkai indah  itu. meski mereka mengira aku begitu kekanak-kanakan dengan tingkahku barusan, aku tak peduli. Rasa sayangku kepada kakakku yang begitu dalamlah yang membuatku sampai bertingkah seperti itu.

Ibu mengiyakan ucapanku dan berjanji untuk memenuhi permintaanku. Sementar adik perempuan ibu, Bulek Nani bertanya kapan aku akan menyusulnya mengigat usiaku yang sudah pantas untuk memiliki pasangan. Setidaknya pacar. Seakan tak mau kalah, kakak perempuan dari ibuku yang biasa kupanggil “Bude” ikut menimpali. “Itu yang di depan udah siap belum, Zha?”

Aku seolah tak mengerti saja apa yang Bude Nini maksudkan. “Siap apa, Bude?”

“Ya siap buat diajak married lah,” celetuk Mbak Naja, putri bungsu Bude Nini. 

Aku tak ingin merespon lebih jauh tentang hubuganku dengan Kang Ian. Kedekatanku dengannya memang sudah menjadi rahasia umum. Sejak mengenalnya di bangku kuliah, pria jangkung dari SMA N 1 Majalaya yang kebetulan menimba ilmu dalam satu atap denganku di gedung yang sama itu dinilai lain oleh semua orang. Bukan hanya teman-teman satu kelasku saja, tapi juga para kakak tingkat alias teman-teman Kang Ian, teman-teman di organisasi, maupun keluarga. Semuanya menganggap kami berdua berpacaran sehingga pertaanyaan-pertanyaan seperti barusan sudah tak lagi kurisaukan.

Lebih lanjut aku malas meladeni pembicaraannya yang suka ngawur. Kalau sudah terlanjur menggoda biasanya Mbak Naja malas berhenti dan semakin menggoda. “Dia udah mau nikah sama taarufannya,” jawabku mengakhiri.

Seperti sudah menjadi pola dalam garis keturunan keluargaku bahwa anak perempuan menikah di usia muda sekitar 17 – 20 tahun, sedangkan anak laki-laki menikah di usia berapapun ia mau. Mba Fatimah contohnya. Ia menikah di usia 19 tahun. Sama seperti kakak perempuanku yang juga menikah di usia yang sama. Lalu Kakakku, Miftah yang akan menikah lusa justru sudah berumur 30 sementara calon istrinya baru 20 tahun. Hampir 2  tahun lebih muda dariku. Sedangkan aku yang sebentar lagi menginjak usia 22 belum juga ada desas-desus mengenai pernikahan. Jangan bandingkan dengan adikku. Usianya baru 15 tahun. Tapi jika dibandingkan dengan para sepupuku, kebanyakan dari mereka yang perempuan sudah bersuami dan memiliki anak.

Aku tak sedikitpun berkecil hati soal itu. Dalam keluarga, prinsipku memang tabu. Akan tetapi di kampus merupakan hal biasa. Menyelesaikan kuliahku dan memperoleh pekerjaan yang layak itu lebih utama. Terlebih aku tak ingin jika selepas menikah hanya menjadi ibu rumah tangga seperti kebanyakan sepupuku lainnya. Lagipula memilih kuliah setelah lulus SMA baru aku yang mengawali. Sebelumnya, menikah atau bekerja setelah lulus SMA seperti tak bisa ditawar-tawar lagi. Tapi aku yang saat itu meyakinkan ibuku untuk kuliah sambil bekerja akhirnya direstui. Kini meski sudah memasuki tahun kelima dan belum ada rencana menggarap tugas akhir, aku tetap berusaha mengejar kawan-kawanku yang sudah duluan “mentas” dari kampus.

“Kenapa Akang lihat aku kaya gitu?” tanyaku ketika kusodorkan minuman dengan sepiring brownese pada Kang Ian setelah meraciknya di belakang.

“Bukan apa-apa,” jawabnya. “Kamu sudah sedikit berubah,” ujarnya sembari masih memperhatikanku sampai duduk.

“Kenapa sedikit, Kang. Kenapa nggak banyak?” candaku.

“Dibilang banyak nanti ge-er lagi,” ledeknya. “Semenjak kamu memutuskan ikut ngaji bareng kakak-kakak kelasmu di SMA, kamu mulai berubah, Neng,” tukasnya.

“Ah Akang nih penuh teka-teki. Perasaan biasa aja kok,” kilahku.

“Eeee, makanya itu. Karena berubahnya sedikit makanya nggak kerasa,” lanjutnya. “Dulu yang sering bangunin buat jogging di waktu weekend siapa? Dulu yang sering ngingetin buat ngerjain belajar sebelum UAS siapa? Dulu yang lebih lama nunggu kalo Eneng minta dianter siapa?” serbunya dengan rentetan pertanyaan yang jawabannya sama.

“Ya Akang lah,” jawabku sesuai fakta.

Alisnya mngernyit dan semangat untuk berbicara lagi. “Nah sekarang kan kebalikannya. Semuanya Eneng yang duluan. Itu kan perubahan, Neng. Belum lagi pengetahuan tentang agama yang makin hari makin nambah. Dan perilakumu juga semakin anggun,” tuturnya adem. “Aku jadi teringat anak pamanku, anak pengasuh pondok pesantren di Majalaya sana. Aku pikir kamu sudi aku kenalkan sama Zikra. Aku berharap kamu berjodoh dengan sepupuku.”

Pengakuannya barusan membuat jantungku sedikit kaget karena sangat tiba-tiba. Aku belum bisa berkata-kata lagi sampai ia menyambung kembali kalimatnya, “Kalau kamu mau, datanglah ke acara pernikahanku nanti di Majalaya. Nanti aku kenalin kamu sama sepupuku yang alim itu. Aku nggak mau kehilangan adik sebaik kamu, dan mudah-mudahan seorang Akang bisa memberi yang terbaik adiknya, Neng,” ucapnya diakhiri senyum termanis yang pernah ia suguhkan padaku.

Aku setengah tak percaya jika hubungan kakak-beradik yang begitu saja terjadi antara aku dengan Kang Ian membuatnya berinisiatif menjodohkanku dengan salah seorang keluarga terdekatnya. Rasanya aku juga tak ingin berpisah begitu saja dengan Kang Ian yang memberiku banyak pelajaran dan mengajariku berubah menjadi lebih baik setelah pernikahannya kelak. Dalam hati aku berucap syukur manakala recananya padaku nanti sukses, dengan begitu aku tak akan kehilangan kakak yang paling pengertian setelah Mas Miftah.

Dalam hal jodoh, aku tak pernah terburu-buru seperti kebanyakan sepupu dan teman-temanku di kampung. Lagipula dari awal aku yakin Allah swt telah mengatur sedemikian rupa jodoh para hambanya. Jadilah aku orang yang bersabar menunggu Allah berkehendak. Dan rupanya lewat pria berdarah Sunda ini, aku menemukan jodohku yang juga pria Sunda. 

Jika bukan karena Allah pula, tak mungkin dalam waktu sedekat itu, 2 bulan semenjak pernikahan Kang Ian, keluarga Kang Zikra meminta persetujuan orangtuaku untuk melakukan acara lamaran. Kami semua mengucap syukur. Acara yang diniatkan karena Allah itu berjalan dengan mulus.
Lagi-lagi aku akan bersabar  menunggu waktu wisudaku untuk melangsungkan pernikahan dengan Kang Zikra sebagaimana Kang Ian menikah setelah wisuda S1-nya.