Sudah menjadi konsumsi rutinku ketika pulang kampung di
akhir bulan. Pemandangan yang kulihat maupun sekedar kabar yang kudengar selalu
sama. Tak kurang dan tak lebih. Terkadang undangan pernikahan dari teman-teman sekolahku
dan saudaraku sampai bertumpuk di diatas dipan ranjang kamarku. Sabtu ini, 28
Oktober, saatnya aku menengok keluarga di kampung yang berjarak kira-kira 100
km.
Kali ini aku tak sendiri. Akang Ian, seorang pria berdarah
Sunda bersedia mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan ia mau mengantarku pulang
bakda maghrib sepulang kuliah. Badan lelah dan revisi skripsi yang ada di
kepalanya ia lupakan sejenak untuk bisa berkonsentrasi mengendarai sepeda motor
kesayangannya. Begitupun denganku. Bayangan produk-produk snack dan makanan
ringan yang harus dikumpul besok pagi untuk bahan praktikum uji pengawet pun
sejenak aku singkirkan.
Jam 6 lewat 15 menit, Kang Ian hidupkan starter motornya.
Aku duduk di belakang seperti biasa. Kami berdua pun siap membelah jalanan kota
Bandar Lampung. Dengan semaangat jalanannya, jarum merah speedometer semakin
naik menuju angka 80 km/jam. Kecepatan itu lumayan konsisten meski terkadang
sampai menunjuk angka 100 km/jam atau bahkan 40 km/jam. Tidak mengapa baginya
berkendara di jalanan ramai dengan kecepatan seperti itu. begitu pun denganku
yang sudah terbiasa dibonceng dengan kecepatan tinggi.
Kebetulan esok hari kakaknya Kang Kian akan menikah. Ia dan
keluarga berangkat dari rumah yang searah dengan arahku pulang namun dengan jarak
yang masih jauh lagi dari rumahku. Makanya kami berdua bisa pulang
bersama-sama. Setelah singgah sebentar di rumahku, pastinya ia akan melanjutkan
perjalanan ratusan km lagi menuju ujung barat Propinsi Lampung.
Keadaan di rumahku sedikit lebih ramai dengan kehadiran
keluarga dekat yang bersama-sama membuat kue dengan ibu dan adikku. Tak lain
dan tak bukan kue-kue itu adalah untuk persiapan pernikahan kakakku yang akan
digelar lusa. Esok pagi, keluargaku akan berangkat ke daerah tambak udang untuk
menggelar prosesi ijab kabul kakakku dengan calon istrinya di sana yang akan
dilaksanakan 1 hari setelahnya.
Rasa kecewaku masih terasa sampai sekarang karena kegiatan
di kampus yang super penting mengharuskanku tak menghadiri hari spesial kakak
kesayanganku. Sebagai gantinya, di sela-sela kesibukan aku sengaja berselisih
dengan waktu supaya bisa menyelesaikan sketsa wajah kakakku sehalus mungkin.
Tanpa menunggu lagi, begitu tiba di rumah segera saja sketsa itu kutunjukkan
pada ibu dan orang-orang yang saat itu ada di rumah.
“Bu, lihat. Ini gambar muka Kak Miftah,” ucapku dengan
bangga setelah membingkainya dalam bingkai berukuran A4. “Besok sketsa ini
harus dipajang di pernikahan kakak. Sketsa ini anggap aja sebagai simbol
kehadiranku, karena dosenku nggak bisa dilobi lagi. Aku benar-benar nggak
dikasih izin buat menghadiri pernikahan kakak,” lanjutku masih dengna rasa
kecewa.
Semua orang di belakang pun tersenyum melihat wajah kakakku
dalam balutan bingkai indah itu. meski
mereka mengira aku begitu kekanak-kanakan dengan tingkahku barusan, aku tak
peduli. Rasa sayangku kepada kakakku yang begitu dalamlah yang membuatku sampai
bertingkah seperti itu.
Ibu mengiyakan ucapanku dan berjanji untuk memenuhi
permintaanku. Sementar adik perempuan ibu, Bulek Nani bertanya kapan aku akan
menyusulnya mengigat usiaku yang sudah pantas untuk memiliki pasangan.
Setidaknya pacar. Seakan tak mau kalah, kakak perempuan dari ibuku yang biasa
kupanggil “Bude” ikut menimpali. “Itu yang di depan udah siap belum, Zha?”
Aku seolah tak mengerti saja apa yang Bude Nini maksudkan.
“Siap apa, Bude?”
“Ya siap buat diajak married lah,” celetuk Mbak Naja, putri bungsu
Bude Nini.
Aku tak ingin merespon lebih jauh tentang hubuganku dengan
Kang Ian. Kedekatanku dengannya memang sudah menjadi rahasia umum. Sejak
mengenalnya di bangku kuliah, pria jangkung dari SMA N 1 Majalaya yang
kebetulan menimba ilmu dalam satu atap denganku di gedung yang sama itu dinilai
lain oleh semua orang. Bukan hanya teman-teman satu kelasku saja, tapi juga
para kakak tingkat alias teman-teman Kang Ian, teman-teman di organisasi,
maupun keluarga. Semuanya menganggap kami berdua berpacaran sehingga
pertaanyaan-pertanyaan seperti barusan sudah tak lagi kurisaukan.
Lebih lanjut aku malas meladeni pembicaraannya yang suka ngawur.
Kalau sudah terlanjur menggoda biasanya Mbak Naja malas berhenti dan semakin
menggoda. “Dia udah mau nikah sama taarufannya,” jawabku mengakhiri.
Seperti sudah menjadi pola dalam garis keturunan keluargaku
bahwa anak perempuan menikah di usia muda sekitar 17 – 20 tahun, sedangkan anak
laki-laki menikah di usia berapapun ia mau. Mba Fatimah contohnya. Ia menikah
di usia 19 tahun. Sama seperti kakak perempuanku yang juga menikah di usia yang
sama. Lalu Kakakku, Miftah yang akan menikah lusa justru sudah berumur 30
sementara calon istrinya baru 20 tahun. Hampir 2 tahun lebih muda dariku. Sedangkan aku yang
sebentar lagi menginjak usia 22 belum juga ada desas-desus mengenai pernikahan.
Jangan bandingkan dengan adikku. Usianya baru 15 tahun. Tapi jika dibandingkan
dengan para sepupuku, kebanyakan dari mereka yang perempuan sudah bersuami dan
memiliki anak.
Aku tak sedikitpun berkecil hati soal itu. Dalam keluarga,
prinsipku memang tabu. Akan tetapi di kampus merupakan hal biasa. Menyelesaikan
kuliahku dan memperoleh pekerjaan yang layak itu lebih utama. Terlebih aku tak
ingin jika selepas menikah hanya menjadi ibu rumah tangga seperti kebanyakan
sepupuku lainnya. Lagipula memilih kuliah setelah lulus SMA baru aku yang
mengawali. Sebelumnya, menikah atau bekerja setelah lulus SMA seperti tak bisa
ditawar-tawar lagi. Tapi aku yang saat itu meyakinkan ibuku untuk kuliah sambil
bekerja akhirnya direstui. Kini meski sudah memasuki tahun kelima dan belum ada
rencana menggarap tugas akhir, aku tetap berusaha mengejar kawan-kawanku yang
sudah duluan “mentas” dari kampus.
“Kenapa Akang lihat aku kaya gitu?” tanyaku ketika
kusodorkan minuman dengan sepiring brownese pada Kang Ian setelah meraciknya di
belakang.
“Bukan apa-apa,” jawabnya. “Kamu sudah sedikit berubah,”
ujarnya sembari masih memperhatikanku sampai duduk.
“Kenapa sedikit, Kang. Kenapa nggak banyak?” candaku.
“Dibilang banyak nanti ge-er lagi,” ledeknya. “Semenjak kamu
memutuskan ikut ngaji bareng kakak-kakak kelasmu di SMA, kamu mulai berubah,
Neng,” tukasnya.
“Ah Akang nih penuh teka-teki. Perasaan biasa aja kok,”
kilahku.
“Eeee, makanya itu. Karena berubahnya sedikit makanya nggak
kerasa,” lanjutnya. “Dulu yang sering bangunin buat jogging di waktu weekend
siapa? Dulu yang sering ngingetin buat ngerjain belajar sebelum UAS siapa? Dulu
yang lebih lama nunggu kalo Eneng minta dianter siapa?” serbunya dengan
rentetan pertanyaan yang jawabannya sama.
“Ya Akang lah,” jawabku sesuai fakta.
Alisnya mngernyit dan semangat untuk berbicara lagi. “Nah
sekarang kan kebalikannya. Semuanya Eneng yang duluan. Itu kan perubahan, Neng.
Belum lagi pengetahuan tentang agama yang makin hari makin nambah. Dan perilakumu
juga semakin anggun,” tuturnya adem. “Aku jadi teringat anak pamanku, anak pengasuh
pondok pesantren di Majalaya sana. Aku pikir kamu sudi aku kenalkan sama Zikra.
Aku berharap kamu berjodoh dengan sepupuku.”
Pengakuannya barusan membuat jantungku sedikit kaget karena
sangat tiba-tiba. Aku belum bisa berkata-kata lagi sampai ia menyambung kembali
kalimatnya, “Kalau kamu mau, datanglah ke acara pernikahanku nanti di Majalaya.
Nanti aku kenalin kamu sama sepupuku yang alim itu. Aku nggak mau kehilangan
adik sebaik kamu, dan mudah-mudahan seorang Akang bisa memberi yang terbaik
adiknya, Neng,” ucapnya diakhiri senyum termanis yang pernah ia suguhkan
padaku.
Aku setengah tak percaya jika hubungan kakak-beradik yang
begitu saja terjadi antara aku dengan Kang Ian membuatnya berinisiatif
menjodohkanku dengan salah seorang keluarga terdekatnya. Rasanya aku juga tak
ingin berpisah begitu saja dengan Kang Ian yang memberiku banyak pelajaran dan
mengajariku berubah menjadi lebih baik setelah pernikahannya kelak. Dalam hati
aku berucap syukur manakala recananya padaku nanti sukses, dengan begitu aku
tak akan kehilangan kakak yang paling pengertian setelah Mas Miftah.
Dalam hal jodoh, aku tak pernah terburu-buru seperti
kebanyakan sepupu dan teman-temanku di kampung. Lagipula dari awal aku yakin
Allah swt telah mengatur sedemikian rupa jodoh para hambanya. Jadilah aku orang
yang bersabar menunggu Allah berkehendak. Dan rupanya lewat pria berdarah Sunda
ini, aku menemukan jodohku yang juga pria Sunda.
Jika bukan karena Allah pula, tak mungkin dalam waktu
sedekat itu, 2 bulan semenjak pernikahan Kang Ian, keluarga Kang Zikra meminta
persetujuan orangtuaku untuk melakukan acara lamaran. Kami semua mengucap
syukur. Acara yang diniatkan karena Allah itu berjalan dengan mulus.
Lagi-lagi aku akan bersabar
menunggu waktu wisudaku untuk melangsungkan pernikahan dengan Kang Zikra
sebagaimana Kang Ian menikah setelah wisuda S1-nya.