Rabu, November 16, 2016

IKATAN HIDROGEN YANG MULAI TERPUTUS




         SELAMAT DATANG DI KAMPUS MADRASAH ALIAH NEGERI (MAN) PRINGSEWU. Itulah kalimat pertama yang kudapati saat menapakkan kaki di sekolah baruku  ini. Tulisan yang terpampang begitu jelas tepat setelah melewati pintu gerbang. Rasa heran, canggung dan bingung melandaku saat itu. Mungkin wajar, ini kali pertamanya kedatanganku di gedung maadrasah ini. Tak satupun kukenali dari kerumunan orang yang berlalu lalang di depan mataku, mengingat segala sesuatunya kupersiapkan sendiri sejak mulai pendaftaran.
         Singkat cerita, berakhirlah kegiatan masa orientasi siswa yang sudah berjalan mulus selama tiga hari. Tak ada yang istimewa memang. Itu bagiku. tapi hari ini hari keempat, mungkin sudah agak berkurang rasa  canggungku karena beberapa teman baru sudah kukenali dengan baik. Dan berharap ada yang istimewa hari ini, entah apapun itu.
         Bel panjang dari arah meja piket kini bersiul. Saatnya memasuki ruang kelas untuk memulai menjadi tholabul ilmi. Pak Ian, begitulah sapaannya. Lengkapnya Sebastian Maulana. Aku menatapnya dengan pandangan yang pernah dilepaskan Ali Bin Abi Thalib ketika melihat wanita cantik melintasi pelupuk matanya. Sesaat kemudian aku teringat hadisnya, “ Wahai Ali, janganlah kau ikuti pandangan pertama dengan pandangan kedua. Karena pandangan pertama adalah bagimu, dan pandangan yang kemudian bukan bagimu.” Mungkin itulah dosa pertamaku di sekolah yang baru ini. Wajahnya sungguh mrembahana, senyumnya begitu manis, dan namanya pun keren. Tetapi ketika ia mulai menari-narikan spidol di atas white board, aku terpana.  Aku tak yakin Pak Ian benar seorang guru, karena tulisannya justru lebih mirip tulisan anak SD yang baru bisa memegang pulpen.
         Aku sedikit terkejut ketika Pak Ian bertanya, “Apa definisi dari Biologi?” Sekatika muncul di benakku LKS Biologi SMP yang pernah kubaca. Kemudian kujawab pertanyaan itu dengan rincinya, berharap Pak Ian akan sudi menanyakan siapa namaku. Tapi kenyataan tak mengharuskanku berharap banyak darinya karena hanya ucapan, “Terima kasih, sudah disimpulkan.” Yang dilontarkan saat kuakhiri kalimatku.
       Tanpa sadar, ternyata sedari tadi mataku selalu menangkap setiap gerakannya. Hal itu berlangsung tak  hanya sekali.
       Dari aktivitas dan perilakunya memberitahuku bahwa Pak Ian adalah pemuda alim lagi berakhlak mulia. Aku makin kagum dan terpesona ketika sesosok bayangan itu berada dalam genggaman kedua bola mataku atau justru berkelebat di benakku. “Pak Ian, seandainya aku bukan muridmu, aku mau jadi.. . . . ah, jangankan jadi pacarmu. Jadi selingkuhanmu pun aku rela.”
     Astaghfirullahaladzim. Aku nyaris melontarkan kalimat itu ketika Pak Ian sedang asyik menerangkan pelajaran. Kini cukup mata dan hatiku saja yang berdosa, tak perlu lisanku pun ikut terlibat di dalamnya.
     Menjalani semaaster satu sebagai anak kelas sepuluh terasa sangat lama. Semuanya yang serba baru membuatku harus membiasakan diri dengan hal-hal baru yang ada di sini. Mulai dari masuk super pagi, tadarus sebelum memulai pelajaran, pulang sore, dan masih banyak lagi. Namun seorang Pak Ian berhasil menyita waktuku. Semua yang tadinya berjalan lambat kini terasa begitu cepat. Setiap jamnya terasa  satu menit. Dan menit-menit berlalu bak angin menyentuh dedaunan. Kini semester satu telah berlalu meninggalkan stasiun dengan pemandangan seperti di dalam kereta api.
        Pagi itu aku bangun tidur sedikit lebih siang daripada biasanya. Segera kuraih handuk dan sikat gigi, lalu bergegas mandi tanpa membantu orang tua sebelumnya. Sebenarnya ini belum terlalu kesiangan. Tapi ini hari kamis. Adalah hari yang paling kuhindari untuk berangkat terlambat meskipun di hari-hari lain aku sering datang terlambat. Kau tahu mengapa? Karena jam pertama dihari kamis adalah milik Pak Ian. Aku ingin selalu mengikuti pelajarannya dari awal hingga selesai, sehingga segala sesuatunya secara tergesa-gesa. Ternyata eh ternyata gerbang sekolah belum ditutup ketika kusampai di sekolah.
       “Aneh memang. Tak biasanya Pak Ian bersikap seperti ini.” Gumamku ketika ia berkata, “Saya butuh seorang cewek buat bantuin saya. Ada yang mau maju?”
       Sembari menjawab rasa penasaran, aku yang sudah lama menunggu tapi tak ada yang rela menuruti permintaan Pak Ian akhirnya memberanikan diri menyeret kaki melangkah ke depan kelas. Sampai di sini justru aku merasa bingung plus canggung karena Pak Ian menatapku dengan senyuman manja. Oh my God! Hal yang tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Ia  malah menggombaliku dengan kata-kata romantis seperti hendak melamar wanita pujaannya. Ubun-ubunku terasa bagaikan tertetesi embun sejuk di bawah pohon yang gersang. Desah suara angin merdu menggoda telimgaku. Oh, jantungku seolah ikut bernyanyi dengan genre hip hop. Dan sentuhan hormon di sekitar wajahku tak dapat kumenafikkan. sesekali kusembunyikan wajahku di balik telapak tangan karena bahagia dan malu bercampur menjadi suatu larutan yang dibumbui serbuk cinta.
       Setelahnya aku masih tak habis pikir dengan tingkah Pak Ian. Ternyata di balik penampilannya yang pendiam tersimpan berjuta kemunafikkan yang disukai para kaum hawa.
       Film romantis yang baru saja kuperankan bersama kawan mainku itu menjadikan kenangan terindah selama masa sekolahku. Aku makin betah saja menimba ilmu di sini.
      Dering telepon terdengar sayup-sayup dari dalam tas, memaksaku untuk menghentikan lamunan indah di sudut ruangan kamar ini. “Halo, Kara. Ada apa?” sapaku.
     “Hai, Moli. Gimana kabarnya?”
     “Amazink, Kara.” Jawabku.
     “Wow. Kenapa? Pasti lagi seneng tuh.” Pertanyaan dari balik telepon itu kedengarannya begitu penasaran.
     “Emm, mau tahu aja.” Jawabku singkat.
     “Moli, keluar dong. Aku di depan rumahmu nih.” Pintanya.
     “Really?” Aku terkejut. Tak pernah sebelumnya Kara datang ke rumah tiba-tiba mengingat rumah kami terpisahkan beberapa kabupaten. Segera kututup telepon dan bergegas menemuinya.
     Untuk melepas rindu selama dua bulan tanpa pertemuan, ia mengajakku ke sebuah tempat. Di sanalah terjadi percakapan asyik dan perdebatan seru antara kami berdua.
     Kara memulainya dengan kalimat pertanyaan, “kayaknya seneng banget sih. Ada apa nih? Hayo...”
     “Nothing.” Jawabku. “Seneng aja tiba-tiba kamu dateng terus ngajak aku ke sini.”
     “Nggak, ah, pasti ada yang lain.”
     “Serius, Kara.” Sahutku dengan pandangan mencoba meyakinkan.
     Tetapi Kara. Kara terus memaksaku untuk bercerita. Akhirnya tak kuasa ku menyingkap film romantis hasil karyaku dengan Pak Ian pagi tadi.. Kara mulai cemburu. Kini ekspresinya kesal.
     “Jadi kamu suka sama guru kamu, Moli?” tanyanya dengan mata menyelidik.
     Aku enggan mengakuinya. Sebisa mungkin kucoba elakkan pertanyaan itu. “Dengar dulu Kara sayang. Aku nggak...”
     Sepertinya ceritaku tadi benar-benar membuat Kara habis kesabarannya. Lantas ia memotong kalimatku, “Apa Sayang? Nggak bisa dipungkiri kalo kamu memang beneran suka, kan? Kamu bikin penantianku sia-sia. Aku jauh-jauh dateng ke sini Cuma buat nemuin kamu, karena aku... I’m still loving you, but...”
     “Oke, oke. Fine, Kara. Tapi kamu yang memintaku untuk cerita, kan?” ujarku mencoba membela diri.
     “Tentu kalo kejadiannya kaya gini, aku nggak bakal maksa kamu buat cerita. Moli, aku kecewa. Aku pikir kamu akan setia.” Tuturnya dengan nada lirih.
      Demi mendengar Kara tadi aku sangat merasa bersalah. “Kara, please. Kamu jangan salah paham gitu dong. Dia kan cuma guru aku. Tapi kamulah orang yang berhak aku cintai. I’m sorry if I can’t be the best like you want.” Itulah kalimat terakhir yang kuucapkan sambil menggenggam tangan Kara. Lalu kuberlalu dengan meninggalkan sepenggal kepedihan, sedangkan Kara masih menatap ke arah punggungku yang belum terlalu jauh.
     Ia berucap lirih tetapi masih terdengar di telingaku. “I’m sorry to, baby, karena aku nggak sanggup ngelanjutin hubungan kita.” Setelah itu barulah ia beranjak, meninggalkan sepotong roti dengan olesan selai kekecewaan.
     Sejak hari itu tak lagi kupermasalahkan Kara dengan duri yang pernah kutancapkan dalam-dalam daripada menuai penyesalan. Sekarang saatnya melanjutkan petualangan sebagai Moli yang sedang menggumi sosok guru idolanya.
     Lagipula akhir-akhir ini aku dituntut untuk mempersiapkan diri demi menghadapi OSN yang tinggal menghitung hari. Pak Ian dengan sabarnya membimbungku dan kawan-kawan yang akan mengikuti event bergengsi ini. Aku makin semangat menjadi bagian dari tim olompiade ini karena kesempatan untuk dekat dengan guru idolaku makin terbuka lebar.
     Siang itu sepulang sekolah kuhubungi kawan-kawanku yang akan menjadi peserta OSN juga. Tapi semuanya sudah pulang. Kini tinggal aku sendirian yang mondar-mandir tak tahu harus berbuat apa.
     Sesosok tubuh di meja piket yang sepertinya sudah tak asing lagi berada dalam genggaman kedua bola mataku. Perlahan kaki ini menyeret tubuhku mendekatinya dan memaksaku berhenti di salah satu kursi di meja piket itu. Ya. Tepat di sebelahnya. Di sebelah Pak Ian yang sedang asyik memainkan laptopnya.
      Seluruh jaringan dalam tubuhku sepertinya sudah bersiap melaksanakan tugas dari niat di batinku. Katup bibir ini mulai terbuka untuk sekedar menyapanya. Lalu kujadikan rekan-rekanku yang sudah pulang sebagai alasan untuk sekedar berbincang-bincang sejenak. Hanya ada sosok kami kami berdua disitu. Kursi dan meja sederhana, lantai dan atap yang menjadi saksi bisu bunga yang bermekaran dalam setiap sel-sel darahku.
     Kembali bibirku menerima perintah dari otak kecil ini untuk mulai bertanya macam-macam mengenai pelajaran yang belum kumengerti, tentang soal-soal OSN, dan hal-hal lain yang wajar dibicarakan. Walaupun hanya percakapan seperti itu tetapi hatiku berkata lain. Rasanya seperti berendam di air es saat suhu disekitarnya 100®C.
     Tak terasa 30 sudah kutemani Pak Ian di meja piket sembari mengerjakan tugasnya. Aku belum ingin berlalu. Tubuhku malas beranjak dari kursi ini. Seperti ikatan hidrogen yang terbentuk begitu sulit untuk dilepas dan butuh suhu ekstra untuk melepaskannya.
     “Ehm.” Terdengar suara dari balik pintu lab komputer yang terletak di sebelah tempat ini. Kuelakkan sendi di leherku untuk memastikan siapa pemilik suara itu.
       Kudapatinya tengah menonton adegan yang sedang kulakuni dan lagi-lagi bersama Pak Ian. Ia menggodaku lirih dengan senyuman diakhir kalimatnya. “Ciee... belum pulang?”
      “Masih betah.” Jawabku singkat dan lirih juga.
      Aku kepergok oleh teman sekelasku, Aquilla yang barusan menyadarkanku untuk segera berlalu dari mimpi indah ini.
     Begitu kuatnya ikatan hidrogen dengan Pak Ian membuatku selalu mengingat  setiap detiknya mimpi indah tadi, hingga sampai di rumah molekul-molekul di dalam otakku masih tertinggal disana.
      Beberapa pekan sudah lewat. Hari-hari yang selalu kuhabiskan bersam rekan-rekanku sesama tim olimpiade untuk mematangkan diri menuju kompetisi yang sebenarnya. Tak bosan-bosannya kupanjatkan doa kepada Yang Maha Memiliki Ilmu agar memudahkanku mengerjakan soal-soal di OSN nanti. Hingga tiba saatnyalah pertempuran melawan soal berlevel tinggi dimulai.
      Aku sudah bertekad untuk merebut gelar juara dalam event bergengsi ini. Berharap dapat membawa nama baik sekolah dan membuat Pak Ian banggaa sebagai pembimbingku.
     Lembaran soal di atas meja terlihat menantangku dengan muka mengejek. Memang begini rasanya duduk di kursi panas. Soal-soal itu tak terasa sulit lagi, namun jauh diatas segala kesulitan.
     Waktu telah usai. Tak ada lagi yang bisa kuulangi. Hanya tawakal dan sikap optimis yang kupunya saat itu untuk mengiringi kepergian lembar jawabanku dengan harap-harap cemas.
    Singkat cerita, dua hari setelahnya adalah saat-saat menegangkan bagi para peserta OSN termasuk aku di dalamnya. Harus menyiapkan mata untuk melihat serentetan nama berdasarkan urutan hasil perjuangannya. Aku tak melihat pengumuman itu secara langsung, hanya saja ketika salah seorang temanku menyebutkan namaku berada di urutan bawah, aku langsung patah semangat. Segera kuambil tas dan meninggalkan jam sekolah. Sebelum aku benar-benar pergi, aku sempat berpesan kepada teman sebangkuku, “Jangan tanyakan aku kalau besok aku nggaak masuk sekolah.” Lantas kuberlalu.
       Semenjak peristiwa pengumuman itu, semangatku mulai pudar. Namun sebisanya kucoba untuk bangkit kembali. Banyak teman yang men-supportku untuk tetap bersinar. Tapi yang kurasa justru ada sesuatu yang mulai menjauh dariku. Pak Ian kini seperti mencoba menghindari pertemuan denganku. Ia juga tak banyak respon saat kusapa. Dari wajahnya terlihat kalau ia kecewa dengan kerja kerasku dan kawan-kawan yang belum sempat membawa nama sekolah. Namun diantara kami semua, akulah yang paling merasa sakit jauh-jauh darinya, karena sebelumnya antara aku dan Pak Ian telah terjalin ikatan yang begitu kuat. Dan dengan datangnya kekecewaan ini, ikatan hidrogen itu mulai terputus dengan sendirinya.