Minggu, Agustus 28, 2016

Aku dan Perempua Tua



Aku dan Perempua Tua


Namaku Lyra. Usiaku 15 tahun. Sejujurnya aku tak suka nama itu, terkesan terlalu cengeng. Tapi perempuan tua yang selalu mengetik sepanjang malam memberiku nama tersebut. Aku tak bisa mengelak ataupun memprotes sedikitpun padanya, sebab kisah hidupku sudah sepenuhnya ia yang menetukan. 

Meskipun sejatinya aku berasal dari keluarga penenun, tapi aku pandai. Aku pandai sekali melukis. Lukisanku pun mulai mengikuti pameran demi pameran. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aku adalah pelukis termuda dalam pameran yang diadakan setiap libur musim panas dan musim dingin.

Suatu ketika, perempuan tua itu menakdirkan seorang lelaki memintaku untuk melukis seluruh sisi istananya, baik luar maupun dalam. Tentunya aku tak dapat menolak tawaran ini karena menurut perempuan tua aku akan mendapatkan imbalan yang tak pernah kuduga. Akupun mulai menyicil proyek besarku setiap pulang sekolah. Ternyata laki-laki berjenggot yang biasa disapa Eyang Elang oleh warga kerajaan itu memiliki seorang cucu laki-laki. Namanya Altair. Orangnya tampan dan pekerja keras. Menurut pelayan istana, Altair adalah satu-satunya pewaris tahta Kerajaan Muchu karena Eyang Elang hanya memiliki seorang anak  perempuan dan ia adalah satu-satunya cucu laki-laki. 

Terkadang jika malas menenun, aku mulai mengerjakan proyek sejak pagi. Alih-alih melukis rumah kakeknya, aku seringkali pergi berdua bersama Altair seusai melukis. Kami seringkali pergi ke sungai Milky untuk memancing, tapi tak jarang ia memintaku menemaninya latihan memanah di sekitar istana.

Pekerjaan ini pun menjadi sangat menyenangkan buatku hingga aku mulai lupa kalau tugas utamaku adalah menenun. Lagipula Eyang Elang terlihat sangat gembira atas kedekatanku dengan cucunya. Eyang pernah bilang pada orangtua Altair  bahwa ia akan menikahkanku dengan cucunya setelah merampungkan proyek ini. Dia bilang, ini adalah bonus kerja kerasku mempercantik istananya. Altair yang tak sengaja mendengar percakapan Eyang dengan Ayahnya menjadi semakin menggebu. Bak gayung bersambut. Sudah saling cinta, akan dinikahkan pula.

Hal ini membuatnya bersemangat dan membantuku menyelesaikan proyek setiap hari. Altair mengerjakan bagian yang mudah sedangkan bagian yang sulit akulah yang ambil alih. Setiap hari selalu kami lewati bersama dengan rajinnya. Hingga Altair pun tak pernah lagi terlihat di setiap jam latihan perang. Kabar ini sampailah ke telinga Eyang. Sejujurnya Eyang geram dengan perubahan yang dialami cucunya. Dan mungkin juga perempuan tua itu. Sehingga Eyang menugaskan Altair  menangkap  pemburu domba yang sering mencuri domba warga. Entah ini atas suruhan perempuan tua atau bukan. 

Dengan membawa pasukannya, pergilah Altair ke suatu desa yang amat jauh dari kerajaan, yaitu di hilir Sungai Milky. “Tugas ini membutuhkan waktu yang lama. Pemburu domba tak mudah ditaklukkan. Kesaktiannya sudah tersohor dimana-mana. Ia juga memiliki pengawal setia yang tak kalah cerdik, dua ekor anjing yang mengawalnya kemanapun ia pergi berburu,” ujarnya saat hendak pergi.

“Kita sama-sama sedang menjalankan tugas kerajaan. Kanda bertugas menyejahterakan rakyat sementara Dinda bertugas menjadikan istana kita lebih indah. Kita akan menjadikan kerajaan kita tak tertandingi oleh kerajaan manapun,” jawabku penuh harap.

Altair tersenyum bangga dengan pemikiranku. Ia pun meminta satu hal padaku sebelum menunggangi kudanya, “Dinda, maukah kau berjanji padaku untuk setia menungguku? Ingat janji Eyang,” pintanya.

Aku mengangguk mantap. “Saat Kanda kembali, selesailah aku mempercantik istana. Lalu kita akan menikah dalam suasana istana baru.”

Lalu Altair pergi dengan membawa harapan terbesar, begitu pula aku.

Dua bulan berlalu sejak kali pertama Eyang Elang memberikan proyek besar padaku, dan ini sama dengan satu bulan kepergian Altair memburu si pemburu domba.

Tiga bulan kutunggu, empat bulan tak kunjung pulang. Hingga tibalah musim panas. Proyek besar istana membuatku lupa segalanya, termasuk momen pameran 2 kali setahun yang kutunggu-tunggu. Alpa dari event besar yang membangun namaku, aku baru tersadar ketika hal itu sampai di telinga Ayahku yang sekaligus marah  besar karena aku tak pernah lagi menenun hingga Ibuku jatuh sakit karena terlalu sering lembur untuk menyelesaikan tenunannya.

Aku heran mengapa perempuan tua membiarkan ayahku menyelidiki penyebab aku enggan menenun.
Sampailah ia di kerajaan dan mendapatkan jawaban. Ia pun menyimpulkan bahwa calon pewaris tahta kerajaan membuatku jadi lupa segalanya. Padahal sama sekali bukan itu. Asmara yang terjadi sama sekali tak dipengaruhi harta, bahkan tahta.

Tanpa pikir panjang, ayahku memutuskan untuk memisahkanku dengan Altair selamanya dengan menempatkanku di suatu desa yang amat jauh, yaitu di hulu Sungai Milky. Ia sengaja merahasiakan ini dari siapa pun, termasuk keluarga kerajaan di mana proyek yang kukerjakan belum selesai. Dengan Eyang Elang, ia mengaku putrinya sudah dipinang oleh orang lain dan dibawanya tinggal bersama di suatu desa yang sengaja ayahku tak menyebutkannya.  

Sesungguhnya aku amat sedih menjalani hidupku tanpa orang-orang yang kucinta, Ayah, Ibu, Altair, termasuk kebiasaan yang amat menyenangkan bagiku, melukis. Perempuan tua juga hanya membiarkanku hanya menenun dan menenun setiap hari tanpa berbuat apa-apa. Aku sadar. Aku hanyalah lakon dalam cerita yang ia ketik sepanjang malam. Tapi ia tak pernah membayangkan betapa pilunya menjalani hidup sebagai Lyra yang dipisahkan dari harapan terbesarnya, Altair. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri sampai lupa makan, lupa tidur, lupa mandi demi menyelesaikan cerita yang ia ciptakan ini.

Jika saja lakon punya hak untuk berbicara di luar tema, aku akan berteriak pada perempuan tua untuk berhenti memainkan peran menyedihkan ini. Tetapi suatu hari perempuan tua itu memberiku seorang teman yang amat setia, Deneb. Cantik dan pandai menghibur. Dialah satu-satunya teman yang kumiliki di dunia asing ini.

Suatu ketika aku merenungi nasib di pinggir sungai, perempuan tua itu menghadirkan sekawanan burung yang seolah-olah ikut merasakan kesedihanku. Ia juga berkata bahwa mereka ingin sekali membantuku bertemu kembali dengan pujaan hatiku, Altair. Namun kurasa ia hanya sedikit memberiku harapan. Mempermainkanku agar ceritanya terkesan menarik sehingga banyak orang yang ingin membaca. Awalnya aku sedikit gembira ketika pemimpin kawanan burung itu berjanji akan membuatkan jembatan dengan bulu-bulunya, agar aku dapat meninggalkan tempat terkutuk ini dan kembali menjumpai kekasihku. Namun, hingga musim panas usai jembatan itu belum juga selesai dibuat.

Keadaan menjadi semakin mengenaskan buatku karena jembatan yang sedang dibangun itu rusak total ketika hujan lebat di awal musim  dingin. Pupus sudah harapanku untuk bertemu kekasihku. Dugaaanku benar. Perempuan tua memang sengaja mempermainkanku. Tapi sejak aku diasingkan ke tempat ini, ia terlihat sedih. Wajahnya selalu murung setiap saat mengetik. Dan kali ini ia mulai menangis. Entahlah. Kupikir ia frustasi karena editor menagih ceritanya, seperti deadline misalnya, atau karena tabungannya menipis sementara ceritanya belum selesai ia buat? Ah aku tak tahu, toh aku hanya lakon yang tak bisa berbuat apa-apa.

Sekawanan burung meminta maaf padaku  karena mereka tak dapat membuatkan jembatan di musim dingin. Mereka akan mati kedinginan jika bulu-bulunya mereka cabuti. Lagipula hujan dan angin akan membuat pekerjaan menjadi sia-sia. Kesedihan menyelimutiku sepanjang musim dingin.
Larut dalam kesedihan membuatku tak sadar jika musim panas telah tiba. Burung-burung itu kembali datang padaku dan melakukan hal yang sama seperti tahun sebelumnya. Harapanku mekar  kembali. Namun di ujung musim kegagalan serupa terulang kembali. Aku menangis sejadi-jadinya. Perempuan tua sama sekali tak berbuat apa-apa. Ia malah ikut menangis. 

Dan begitulah kisah hidup memilukan yang kualami di hulu Sungai Milky dari tahun ke tahun. Harapan dan musibah yang terus terjaadi berulang-ulang. Aku lelah dengan semua ini. Tak ada lagi harapan untukku menjemput kebahagiaan. Bagi perempuan tua, ia hanya menghabiskan berjam-jam untuk melengkapi penderitaanku, tapi ini terasa sangat lama bagiku. Bahkan aku tak tahu berapa usiaku sekarang karena larutnya aku dalam penantian tak berkesudahan.
“Sebaiknya sudahi saja cerita yang kau karang. Lekas kau serahkan aku pada editor. Aku berharap editor sudi merubah jalan hidupku yang malang. Lalu kau akan mendapat uang dari orang-orang yang membeli bukumu.” 

Meski setiap malam aku selalu menyuarakan protes itu, tetapi perempuan tua tak pernah berkesudahan. Hingga malam ini ia menuliskan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Setiap kata-katanya kupahami dengan seksama. Perlahan air matanya menetes. Semakin menetes. Semakin deras, hingga ia menangis sejadi-jadinya. Ia menuliskan takdirku ini dengan hruf kapital keseluruhan. “AKU SUDAH LELAH DENGAN SEMUA PENANTIAN INI. BENCANA YANG BERULANG SETIAP TAHUN. TAK BERKESUDAHAN. TAK MEMBERIKU HARAPAN. BODOHNYA AKU YANG SELALU MENUNGGUMU HINGGA AKU MERASA TAK ADA LAGI GUNANYA HIDUP. SEHARUSNYA DARI DULU SAJA AKU MATI.”

Nanar perasaanku merasakan paragraf yang baru saja ia ketik.

Hal yang kutunggu-tunggu akhirnya sampai juga. Bukan perjumpaan dengan kekasihku, tapi akhir hidupku. Rupanya ia sudah mendengar protes yang kuteriakkan  setiap malam. Tapi setelah puas menyiksaku, perempuan tua benar-benar tak punya perasaan. Ia menghabisiku dengan cara yang amat kejam. BUNUH DIRI. Aku dipaksa menggoreskan  belati ke nadiku sendiri. Pedih. Pegal. Nyeri. Sungguh tega. Teriakanku tak lagi digubris perempuan tua hingga parau suaraku, sesak napasku, hilang penglihatanku. Dan akhirnya aku mati dengan cara mengenaskan.

Ia tak lantas menutup kisahku dari lembar  kerjanya meski cerita yang ia karang telah usai. Ia membiarkanku melihat apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Sepotong belati tajam ia goreskan ke pergelangan tangannya yang keriput dimakan usia. Sama persis seperti caranya membunuhku. Aku melihatnya meringis  kesakitan, sama seperti yang kurasakan. Aku tak tahu apa motivasinya mengakhiri hidup dengan cara demikian. Ia kejam padaku, tapi juga  kejam pada dirinya sendiri. Detik-detik menjelang kematiannya, perempuan tua itu mengucapkan paragraf tadkirku yang ia ketik dengan huruf kapital keseluruhan. Ia mengucapkannya juga sama persis seperti yang ia ketik. Setelah itu, ia pun mati.

Kini aku tahu. Aku bukan lakon hasil karanganyanya. Aku adalah dirinya yang ia tulis dalam sebuah cerita. Aku dibiarkannya menjadi saksi bisu akhir hidupnya yang mengenaskan. Aku juga menjadi memori kisah hidupnya yang mamilukan. Tak ada seorang pun yang menjamah rumah ini karena memang (aku) tak pernah mendapat  kunjungan dari siapapun, termasuk oragtuaku. Sampai akhirnya seoang tetangga mencium bau busuk dari rumah ini. mereka lalu mendobrak pintu dan menemukan jasadku sudah membusuk. Dengan terpaksa mereka mengurusi dan menguburkan jasadku demi kebaikan bersama.

Mereka telah menemukan jasadku dan menguburnya. Tapi aku tak yakin akankah ada seseorang yang menemukan memoriku yang mulai usang dimakan waktu?


...SELESAI...

Sesosok Bayang dari Bukit Kemah (part 1)



Sesosok Bayang dari Bukit Kemah
Part 1


Kisah ini bermula dari keinginanku mengunjungi bumi perkemahan di mana adikku yang merupakan seorang siswi baru di SMA  sedang menjalani masa perkenalan dengan organisasi pramuka. Sebagai siswa baru, mengikuti kegiatan perkemahan wajib hukumnya di sekolah yang pernah menjadi tempatku menumpang belajar dua tahun lalu. Adikku tak menyukai kegiatan pramuka. Sama sepertiku. Namun ia tidak sehebat aku dalam hal melanggar peraturan atau tidak melaksanakan kegiatan yang diwajibkan.
Sore itu sudah kurencanakan untuk berangkat bersama teman sebayaku menuju bukit di belakang sekolah yang sudah disulap menjadi lapangan tiga tingkat oleh para pendiri sekolah. Komah namanya. Umurnya satu tahun lebih muda dariku. Perbedaan kami amatlah jelas. Aku selalu menghindar dari kegiatan apapun yang berhubungan dengan pramuka sedangkan Rigel seorang aktivis pramuka selama masa sekolah. Kehadirannya di bumi perkemahan pun sudah dinanti-nantikan oleh para adik kelas yang sama-sama menyukai kegiatan itu.
Rencana awalku sebenarnya ingin berangkat bersama saudaraku, Agus, yang kebetulan masih sekolah di sana, akan tetapi menjelang jam lima sore ia menghilang entah kemana. Akhirnya kuputuskan untuk mengendarai motor seorang diri sedangkan Komah dibonceng kawannya yang sama-sama aktivis pramuka.
Perasaan bahagia melintasi kepalaku sebelum berangkat ke sana. Alasannya sederhana, aku akan menengok suasana perkemahan yang aku tidak ada di dalamnya.  Melihat mereka yang dengan polosnya melaksanakan perintah kakak-kakaknya atau menyanyi riang. Dulu aku tidak mengikuti kegiatan itu diawal SMA karena trauma akan kemah sebelumnya dimana saat pertama kali mengikuti perkemahan, saat itu pula hujan deras mengacaukan seluruh lokasi. Tidak ada tenda tersisa hingga semuanya mengungsi di rumah kosong. Disitu pula banyak bisik-bisik miring yang mengatakan bahwa kedua urumah kosong itu berhantu. Sontak saja sebagai anak SMP yang polos kabar itu membuat tidur kami tak nyenyak.
Kembali ke SMA. Saat memasuki gerbang sekolah sekitar jam setengah enam sore ada sesuatu yang aneh melintas di kepalaku. Gerbangnya masih sama. Tata letak ruangnya juga masih sama. Semuanya masih sama seperti dua tahun lalu. Hanya saja renovasi mulai terjadi di hampir semua sudut sekolah. Keperluan yang kubawakan segera kuserahkan kepada adikku setelah bertemu dengannya. Setelah itu aku memarkir motor di lapangan bawah di dekat lapangan dasar tempat perkemahan digelar. Tak terasa magrib pun datang setelah sejenak mengobrol bersama guru yang ada di situ, berkenalan dengan adik-adik pengurus pramuka dan wartawan setempat yang meliput kegiatan itu.
Aku tidak melaksanakan sholat maghrib di Masjid Sekolah karena kami tahu masjid kecil itu pasti dipenuhi peserta kemah yang jumlahnya ratusan. Kami menuruni jalan gelap yang diapit kebun di sana sini menuju rumah kawan Komah yang berada tak jauh dari sekolah. Hawa aneh dan sunyi itu masih berkelebat mengusikku. Aku tak tahu apakah karena aku jarang bepergian malam atau takut suasana gelap di sekitarku, yang jelas perasaan seperti ini belum pernah kurasakan sebelumnya.
Usai melaksanakan sholat maghrib, aku mengutarakan keinginanku untuk pulang meski Komah dan kawan-kawannya sedang asyik mengobrol dan sepertinya ia tak menanggapi. Mereka tidak tahu bahwa aku tidak betah bukan karena aku paling beda diantara mereka, bukan seangkatan mereka atau baru pertama kali singgah di rumah itu. bukan. Bukan karena itu.
Dengan beralasan takut pulang malam-malam karena mengendarai motor seorang diri, aku mencoba lagi meminta ditemani ke atas (sekolah) untuk  kemdian pulang. Lagi-lagi dia yang sedang asik berfoto sellfie tidak memahami kecemasanku dan menyuruhku menunggu barang sampai waktu bakda isya. “Siapa tahu ada pengunjung yang sampeyan kenal, Mbak. Nanti bisa pulang bareng,” ujarnya mencoba membuatku tenang.
Akhirnya setelah meyakinkannya sekali lagi, ia mau mengantarku ke atas dimana motor kuparkir.
“Suasana puncak kalo malam kayak apa, Mah?” tanyaku pada Komah ketika kami  berjalan di bawah bukit yang diatasnya berdiri beberapa bangunan kelas, termasuk masjid yang krtinggian lantainya hampir sama. Kami para penghuni sekolah biasa menyebutnya puncak karena tanah tempat deretan kelas itu berdiri merupakan tanah tertinggi diantara tanah lainnya yang didirkan kelas. Kadang-kadang beberapa orang menyebutnya lantaii ketiga.  “Aku kok jadi penasaran, ya?” lanjutku dengan terus memandang puncak bukit dan sekitarnya yang gelap.
“Hush! Jangan ngawur sampeyan, Mbak,” sergahnya cepat. “Anak pranuka saja ndak pernah ada yang berani ke atas malam-malam, sampeyan malah mau cari gara-gara,” begitu tegasnya ia memperingatkanku.
Sekejap aku memutar ulang memori atas kejadian yang pernah kutemui tiga tahun lalu waktu aku masih menjadi penghuni kelas puncak tersebut. Sedikit merinding aku mengatakannya, “Oh ya, ya. Aku pernah bantuin ngangkat anak yang kesurupan disana pake tandu,” ucapku.
“Nah itu tahu,” ujarnya penuh khawatir. “Sudah. Sampeyan jangan ada pikiran macem-macem kalo disini,” lanjutnya tidak kalah tegas dibanding sebelumnya.
“Katanya mau lihat api unggun,” ia memperingatkanku. “Ndak sampe larut malam kok, paling jam 9 sudah mulai,” sambungnya.
Hawa aneh yang sudah kurasakan sejak awal menginjakkan kaki di sini akhirnya dengan berat kuutarakan juga kepada Komahyang masih berusaha menahanku pulang, tapi kuselingi dengan alasan yang masuk akal. “Ah, ndak jadi. Ada perasaan aneh dan ganjil yang bikin aku pengen cepet-cepet pulang. Kayaknya yang punya motor udah nunggu motornya pulang, mau dipake. Lagipula dari tadi belum ada pengunjung juga. Kalo aku pulang kemalaman bawa motor sendirian apa ndak nambah ngeri to?”
“Iya juga, ya? ya wis kalo gitu, hati-hati yo.”
Bukan perasaan senang yang kudapat karena keinginanku meninggalkan tempat itu sudah terlaksana. Pintu gerbang yang terlihat biasa saja entah kenapa membuat kulitku merinding saat melewatinya. Perjalanan pulang menjadi lebih tidak nyaman. Hawa sunyi itu masih menyelimutiku meski jalan raya ini memang teramat sepi. Perasaanku menjadi semakin kacau mankala melewati areal persawahan yang lumayan luas. Gelap memang. Tapi sungguh, aku bukanlah seorang penakut dalam tempat gelap seperti ketakutan dan kecemasan yang abnormal sepanjang kulajukan sepeda motor ini.
Kalimat dzikir dan istighfar tiada henti kuucapkan dari dalam hati. Tidak ada pikiran lain yang menyertaiku selain keinginan sampai di rumah dengan selamat. Awalnya ingin kupercepat laju motor agar segera sampai di rumah, tetapi akalku sendiri mencegahku melakukannya dengan alasan keselamatan. Memang dia benar.
Alih-alih mencari spidol berwarna, aku mencari Agus di tempat biasa ia main karambol. Di situ. Tepat di situ dia sedang main asik menyentil koin untuk meraih poin demi poin. Di situ pula aku menuturkan kegelisahan yang kualami sejak memasuki gerbang sekolah. Ia mafhum. Sebagai siswa kelas XII, dirinya sudah terbiasa dengan cerita-cerita sumbang yang berlokasi di pucuk bukit itu. Bahkan aku yang sudah terbiasa mendengar teman-temanku melihat sosok dari dimensi lain kini mengalami bagaimana rasanya, meski tidak sampai menampakkan langsing sosoknya di depan mataku.

Sesosok Bayang dari Bukit Kemah (part 2)



 Sesosok Bayang dari Bukit Kemah

Part 2

Dentingan alat-alat operasi menyibukkan telingaku yang hanya dapat mendengar samar-samar dari balik tirai dengan mata tertutup. Bagian dada hingga perutku mati rasa akibat suntikan bius. Yang kulihat di film-film pembiusan dilakukan total kepada pasien yang dibedah dadanya. Beda lagi dengan pasien yang dibedah pertnya, mereka dibius hanya pada area yang dioperasi. Beberapa dokter mulai membedah dadaku. Biadabnya aku dapat mendengar  semua percakapan mereka yang membuatku teramat takut.
Asisten memberikan apapun yang diminta sang dokter. Mereka mengobrak-abrik rongga dadaku serasa bermain boneka. Dari balik tirai penutup sejujurnya aku ingin berteriak agar mereka menghentikan percakapan.
Dokter pemilik suara paling berat diantara yang lainnya itu kurasa adalah ketua tim. Ia sepertinya sudah sangat sibuk dengan banyaknya operasi yang sudah dijadwalkan sepekan ini.
“Aku ada jadwal operasi penyakit sirosis setelah ini. Maka dari itu setelah pencangkokan berhasil, kalian lanjutkan operasi ini tanpa aku, ya,” titah dokter itu kepada timnya.
“Baik, Dok,” jawab salah seorang asisten perempuan di sebelah kiriku.
“Kita harus tetap menyelesaikan operasi ini meskipun keadaan pasien sangat kritis,” ucapnya lagi saat mendapati garis di layar monitor tutun drastis menuju horizontal.
“Tekanan darah terlalu rendah,” tambah seorang asisten.
“Napasnya sangat lemah. Hampir tidak ada, Dok,” asisten yang lain menimpali.
Dan begitulah seterusnya. Keadaan genting terus terjadi dan menambah suasana mencekam di ruang operasiku. Semua pengecekan di monitor menunjukkan hasil kritis. Satu per satu asisten mulai panik. Semua alat dikeluarkan satu per satu seiring gejala yang dihadapi.
“Pacu defribelator,” perintah sang dokter manakala detak jantungku hampir menghilang.
“Tambah lagi tekanannya,” katanya lagi.
Aku tak tahu persisnya berapa jam tim bedah itu menghadapi suasana genting di ruang operasiku. Telingaku juga panas mendengar semua kekhawatiran mereka. Hingga beberapa saat hening pun hadir ketika sinyal-sinyal di monitor perlahan-lahan menuju normal kembali.
“Operasi ini tetap harus diselesaikan meski kecil sekali kemungkinan pasien ini selamat,” ujar dokter lainnya yang tampak lebih muda.
“Anda benar. Selamat atau tidaknya pasien itu urusan nanti,” timpalnya.
“Ada berapa banyak pasien yang akan kita mandikan malam ini?” tanya dokter muda itu lagi.
Asisten yang sejak tadi di sebelah kiriku menjawab, “Total ada lima pasien. Mungkin bisa bertambah. Kita tunggu saja nanti.”
“Aku ragu pasien ini bukan salah satu dari mereka. Kondisinya sanngat mengkhawatirkan meski operasi kita berhasil,” ucap seorang dokter perempuan yang kelihatannya paling muda diantara kedua dokter laki-laki seusai tim mereka menutup menbali tubuhku dengan jahitan disana sini.
Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan operasiku, dokter bedah yang paling senior menyuruh salah satu asisten memberi tahu keluargaku bahwa operasinya sudah selesai.
“Berapa orang pihak kerabat yang menunggunya di luar?” tanyanya.
“Belum ada lagi, Dok. Sepertinya mereka menunggu pasien di rumah,” jawabnya setelah menengok ruang tunggu dan tak ada sesiapa di sana.
“Sudah kau dapatkan nomor teleponnya?” tanyanya lagi.
“Belum, Dok,” jawabnya singkat kali ini namun membuat dokter yang bertanya seperti jengkel.
“Bagaimana mungkin keluarga pasien tidak memperdulikannya?” geram sang dokter.
“Beberapa jam sebelum operasi ada seorang yang mengaku kakak pasien. Dia bilang mereka sekeluarga sudah serahkan semuanya pada yang diatas. Mereka akan menunggunya di rumah sembari mempersiapkan segala sesuatu untuk tamu yang mungkin akan ramai. Mereka hanya akan kesini kalau pihak rumah sakit mengabarkan operasinya membawa progress yang baik,” jawab seorang petugas administrasi yang kebetulan masuk dan meminta tanda tangan dari tim dokter entah untuk urusan apa aku tak tahu. Petugas itu sepertinya telah bertemu keluargaku dan berbincang dengan mereka.
Pernyatannya barusan membuatku bergidik meski tubuhku masih terbaring penuh perban dan dililiti selang-selang. Mengapa keluargaku sudah mempersiapkan semua biaya pemakaman secepat itu? bukankah aku di sini sedang berusaha menjemput kesembuhan dan pastinya keluargaku juga telah rela mengeluarkan biaya banyak demi sekali mencangkok paru-paruku dengan yang sehat? Sekali lagi aku ingin berontak kepada semua orang yang membicarakan kematianku termasuk dokter perempuan muda yang sempat meragukan nyawaku. Akan tetapi protes-protes itu hanya bersuara di dalam hati saja sebab meski mereka hanya membius separuh tubuhku, aku tak punya kuasa apapun atas tubuhku yang tergolek lemah di atas meja operasi. Dan entah bagaimana ceritanya, kini mereka menyelimutiku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan kain putih, sedangkan aku dapat menatap tubuhku lekat-lekat sebelum mereka memindahkannya ke ruang di mana semua tubuh manusia juga diselimuti kain yang sama.
Ruangan menjadi redup tetapi bukan karena petugas mematikan lampu. Semakin redup hingga menjadi gelap. Kali ini tanpa cahaya hingga aku tak dapat melihat tubuhku lagi. Aku ketakutan sangat. Tiada sesiapa lagi dalam suasana mencekam ini. Skejap kukatupkan kedua kelopak mataku, berharap ketika kubuka kembali mata ini akan kutemui orang-orang yang aku sayangi.
Nihil.
Setelah kedua mataku terbuka, kudapati jantungku berdegup sekencang kuda berlari. Keringat membasahi seluruh wajah. Keadaan ruangan masih gelap namun kurasakan bukan lagi di kamar jenazah melainkan kamar tidurku sendiri. Kamar yang beberapa jam lalu aku tertidur karena kelelahan.
Selang itu? Perban itu? Jahitan itu? Selimut putih itu? Semuanya hanya mimpi. Ya. Hanya mimpi buruk. Ah. Syukurlah. Tetapi meski hanya mimpi aku sangat takut dibuatnya. Kuputar badanku ke kanan menjuju tepi ranjang, meludah tiga kali dan mengucap kalimat Taawudz berkali-kali sesuai yang diajarkan guru mengajiku waktu kecil. Aku hendak mengakhiri tidurku dengan membasuh wajah di belakang. Tapi ketakutanku melebihi segalanya. Bahkan bangkit duduk pun tak kuasa. Akhirnya setelah detak jantungku kembali normal, aku tertidur lagi dengan posisi tidur kebalikan dari semula. Tak pelak pula, semua bacaan-bacaan suci kugumamkan memandu ruhku ke alam bawah sadar.
Aku tak tahu jika mimpi semalam adalah pertanda berakhirnya hidupku. Nyatanya pagi-pagi rumahku telah ramai oleh para tamu yang melayat. Akan tetapi mereka tak larut dalam suasana kesedihan akibat ditinggal mati seorang kerabatnya. Aku juga tak mengharapkan yang seperti itu. Aku hanya dapat meratap wajah-wajah mereka yang memeluk jasadku , menciumnya, atau hanya sekedar mendoakan saja. Mereka tidak melihatku yang masih berdiri di samping jasadku.
Ah. Aku sungguh tidak menyangka hidupku akan sesingkat ini. Tuhan menyuruhku tidur kembali semalam membuatku berterima kasih padaNya. Kalau tidak dengan cara seperti itu mungkin kesakitan luar biasa bagai dikuliti tujuh puluh kali yang sedang kualami membuat air mata kerabatku yang menyaksikan bercucuran tiada henti. Tuhan juga memanduku tidur dengan melantunkan bacaan-bacaan suci. Mungkin karena bacaan-bacaan itu aku tak merasakan kedatangan malaikat yang hendak menghantarkanku ke pangkuan Tuhan.
Sekali lagi aku tenang melihat prosesi pemakamanku sendiri. Tidak ada isak tangis, tidak ada yang meratapi. Semua terlihat ikhlas. Kematian mejadi sesuatu yang manis terasa, namun aneh terpikir. Bagaimana mungkin keluargaku dengan cepatnya mengikhlaskan kepergianku yang tiba-tiba. Tak ada sakit, tak ada pertanda, tak ada kecelakaan. Hanya kisi-kisi di mana aku sendiri yang merasakannya beberapa jam lalu di pembaringan yang sama dengan tempatku menjemput ajal.
Terdengar suara azan berkumandang. Semua pelayat meninggalkan kuburan. Mereka pasti akan segera mandi dan menunaikan sholat. Aku mau sholat, mau sekali. Tapi Tuhan tidak mengizinkan. Aku sudah disholatkan untuk yang terakhir kalinya karena setelah itu memang sholat bukan lagi menjadi kewajibanku. Suasana sepi mencekam. Aku kembali dalam kesunyian. Menatap lekat-lekat nisan kayu bertuliskan namaku. Seandainya mereka melihat ataupun mendengarku, ingin sekali rasanya aku minta ditemani barang sejenak. Ingin sekali aku meminta maaf sebelum semuanya berlalu dari peristirahatan terakhirku, tapi semua itu mustahil. Sungguh mustahil.
Meerdunya suara azan itu sampai juga di hatiku, menggetarkan dadaku, menuntunku mendekatinya. Semakin aku berjalan menuju suara panggilan yang tak lagi diperuntukkan untukku, semakin indah dan keras pula suaranya. Kuraba sekitar posisiku sekarang, berharap dapat mengelus sajadah dan satir pembatas. Sentuhannya terasa ganjil, tak nyata. Semakin kuraba juga semakin aneh hingga kudapati selimut lagi. Selimut itu seharusnya sudah berada di tempat pencucian pakaian. Memang selimut itu bukan kain putih yang menutupi seluruh tubuhku, tetapi selimut yang kupakai sehari-hari untuk mencegahku dari masuk angin saat tidur.
Semuanya sudah jelas sekarang. Mimpi lagi.  Rupanya suara azan tadi menyuruhku bangun dari alam buruk yang ruhku sudah enggan berada di dalamnya. Oh. Aku semakin takut. Yang barusan memang tak lebih buruk dari yang pertama, juga tak sampai membuat degup jantungku berkali lipat serta menganak-sungaikan keringat. Terulang. Tapi terulang. Aku sungguh takut. Kali ini dengan bantuan sinar fajar dan gemericik suara air wudhu dari belakang menuntunku bangkit setelah sebelumnya mengucap doa.
Siang harinya aku menceritakan pada Ibu mimpi itu. Ibu sempat khawatir saat kubilang mimpi itu berulang namun sesaat kemudian ia bertanya. “Berapa kali mimpi itu terulang?”
“Dua kali, Bu,” jawabku.
“Syukurlah,” kata Ibu.
“Mengapa?” tanyaku dengan mata menyelidik.
Ibu menjelaskan bahwa guru mengajinya semasa kacil pernah menuturkan bahwa mimpi buruk itu datangnya dari setan dan mimpi baik datangnya dari Allah. “Lagipula mimpi itu datangnya dua kali berurutan, bukan tiga kali,” lanjut Ibu.
“Memangnya ada apa kalau tiga, Bu,” tanyaku semakin penasaran.
“Sebab Nabi Ibrahim a.s. mengalami mimpi dimana beliau menyembelih putranya, Ismail a.s. tiga kali berturut-turut dalam satu malam. Dan kita semua tahu bahwa mimpi itu datangnya dari Allah melalui penjelaan dalam Al-Quran.”
Alhamdulillah. Penjelasan Ibu yang terakhir menenangkan perasaanku. Aku tidak perlu cemas lagi akan mimpi itu karena dalam tidurku semalam setan berusaha menakut-nakutiku. Aku hanya tidak berhenti berpikir adakah mimpi ini berhubungan dengan kejadian aneh semalam yang berlokasi di sekolah? Sebab beberapa hari terakhir aku tidak mengalami mimpi yang menonjol baik itu mimpi buruk maupun mimpi baik. Tiba-tiba setelah mengalami keanehan dan merasa diikuti bayangan dari bukit kemah, mimpi terkutuk itu menyerang tidur lelahku. Sungguh menguras tenaga dan perasaan. Dalam kecemasan aku hanya bisa berdoa semoga kejadian yang membayang-bayangi perasaanku segera menghindar, pudar.

Kamis, Agustus 25, 2016

bidadari menjemur kolor



Bidadari Menjemur Kolor

Cuaca siang hari pada pertengahan bulan februari amatlah terik. Saking panasnya, ketujuh bidadari ingin mangkir lagi dari tugas mencuci tirai kerajaan. Padahal tugas tersebut harusnya sudah dilaksanakan sejak dua hari yang lalu. Apabila hari ini mereka menunda lagi pekerjaan bisa jadi sang raja murka karena  istana terpapar sinar matahari dan tertiup angin akibat tidak dipasang tirai. Akhirnya dengan berat hati ketujuh bidadari cantik yang masing-masing bernama Sirius, Kinsei, Cellestia, Capella, Vega, Nadhir, dan Zenith turun ke sungai Milky untuk mencuci tirai istana.
Seperti biasa, Capella sebagai yang paling tua mengatur keenam bidadari lainnya layaknya seorang bos. Yang lain sudah paham dengan sifatnya. Di setiap kesempatan ia selalu berlagak seperti itu, menyuruh dan menyuruh. Lain halnya dengan Cellestia. Ia terkenal paling pendiam dan paling penurut diantara semua bidadari penghuni istana sampai-sampai apapun yang diperintah Capella selalu diturutinya. Sementara si kembar Zenith dan Nadhir selalu saja bertingkah kekanak-kanakan. Selalu saja mereka menjadi biang onar setiap melaksanakan tugas istana. Dan sebagai sahabat Capella yang paling setia, Vega paling hobi memarahi mereka berdua. Bagaimana dengan Kinsei dan Sirius?

Ditengah asiknya mencuci tirai yang lebar-lebar itu, air sungai yang tenang menjadi terombang-ambing kesana kemari akibat tirai ditarik sana tarik sini. Tanpa disadari pakaian bawah Kinsei yang sebenarnya sudah sedikit digulung mulai basah. Sesuatu yang aneh baru terasa ketika air mulai membasahi celana kolornya. Ia terkejut dan berbisik pada Sirius yang berada paling dekat dengannya, “Sirius, gawat! Kolorku basah.”

“Apa!” Sirius pun melotot terkejut.

“Bagaimana ini?” tanya Kinsei panik.

“Ah, aku ada ide!” ucap Sirius sembari membunyikan suara dari jari tengah dan jempolnya.

Sebagai bidadari penghuni Kerajaan Akasa, celana kolor setengah tiang adalah perhatian nomor satu saat mereka turun ke bumi. Apabila celana kolor sang bidadari sampai basah sudah dipastikan mereka tak akan bisa kembali ke istana sampai celana kolornya kembali kering. Dengan nada cemas Kinsei kembali menanyai Sirius, “Jauh sekali kita berjalan. Kita akan jemur kolorku dimana?”

Sebagai bidadari yang paling cerdik dan banyak akal tentunya Sirius akan mencari tempat yang aman untuk menjemur kolor sekaligus aman dari jangkauan teman-temannya agar mereka bisa bersantai tanpa harus panas-panasan mencuci tirai. “Nah, disini!” Seru Sirius setelah menemukan batu besar di tepi sungai. Sementara menunggui kolor yang dijemur, mereka berdua tiduran di akar pohon sambil bernyanyi.

Setengah jam berlalu mereka tampak tenang tanpa gangguan, tapi setengah jam berikutnya ada rombongan pemancing bergerak menuju pohon yang mereka jadikan tempat bersantai. Tentunya mereka berdua bergegas meninggalkan tempat itu sebelum ketahuan manusia bahwa mereka bukan penduduk bumi.

“Kalian dari mana saja?” tanya Capella sekembalinya mereka dari ngabur.

“Ka... ka... kami hanya...” ucap Kinsei terbata-bata. 

“Kami hanya mencari kenang-kenangan dari bumi,” jawab Sirius sekenanya sembari menunjukkan sebuah batu sungai yang bentuknya mirip telur penyu kepada saudari-saudarinya. Kebetulan saat rombongan pemancing datang, ia tengah memainkan batu itu. “Konon katanya kalau kita mengambil batu dari sungai ini, suatu saat kita akan bisa kembali ke tempat ini dengan penuh keberuntungan,” lanjutnya mengarang.

Tentu saja bidadari yang lain percaya dengan cerita ngawur yang dibuat Sirius kecuali Capella yang kesal karena pekerjaan menjadi lebih lama dengan menghilangnya mereka. “Gurauanmu tidak lucu, Sirius. Ayo kembali mencuci agar kita bisa pulang tepat waktu,” ucapnya.

Sementara itu di batu tempat Kinsei menjemur kolor, Seorang pemancing yang terkesan memisahkan diri dari teman-temannya mendapati kailnya bergerak-gerak pertanda ada ikan meghampiri mata pancingnya. Dengan mata berbinar digulungnya senar kail yang terasa berat. Ia sangat senang karena dalam bayangannya ikan besar akan sangat lezat bila dibakar atau dimasak pedas.

“Loh! Apa ini?” nyatanya ia keheranan setelah mendapati sesuatu yang menyangkut di mata pancingnya ternyata bukan ikan, melainkan sebuah kolor. “Kolor?”. Setengah hati ia  melepas kolor hitam itu dari mata pancingnya. Sesaat sebelum ia hendak melempar kolor tersebut, ia mendapati tulisan dengan bordiran benang emas di ujungnya. “A-ka-sa”. Begitu ejanya. Sejenak ia tertegun dan bergumam, “Hem, sepertinya aku pernah mendengar nama ini,” sebelum otaknya berpikir macam-macam, cepat-cepat ia sembunyikan kolor itu dan berniat membawanya pulang. Ia berharap suatu saat dapat mengembalikan benda yang mungkin berharga itu kepada pemiliknya.

Matahari sudah tak seterik beberapa jam lalu. Tugas mencuci tirai pun selesai sudah. Kini ketujuh bidadari harus segera bersiap meninggalkan sungai untuk kembali ke istana. Kinsei baru tersadar akan jemuran kolornya saat Capella mengomandoi pulang. “Sirius. Astaga! Kolorku?” 

Sirius yang berusaha menahan panik kemudian berpikir sejenak. “Kinsei, kita jujur saja kepada mereka. Minta waktu sebentar untuk mengambilnya. Aku yakin pasti sudah kering.”

Beberapa saat kemudian Kinsei kembali dengan wajah panik dan nada bicara yang tak kalah panik.
“Apa!” keenam saudarinya serentak terkejut atas hilangnya kolor Kinsei. Bagaimana mungkin seorang bidadari akan kembali ke istana di atas awan tanpa senjata terbangnya. Hal ini sangat fatal akibatnya. Bahkan bila dalam waktu 33 hari kolornya belum juga ditemukan, sang bidadari tak mungkin bisa kembali ke istana selama-lamanya dan akan menjadi manusia biasa layaknya penduduk bumi.

“Kinsei, kita tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Zenith dengan sedihnya.

“Matahari juga sudah mulai tenggelam. Kita tidak punya banyak waktu untuk mencarinya,” Nadhir menimpali.

“Sirius. Bagaimana ini?” tanya Vega kepada si cerdik. Barangkali si cerdik satu ini menemukan ide cemerlang.

“Aku tidak bisa berpikir di saat genting, kawan-kawan,” sesalnya.

“Ah. Kita tidak punya waktu lagi. Kita bisa jatuh di udara kalau sampai matahari tenggelam sebelum kita tiba di istana!” seru Capella. 

Segera keenam bidadari itu mengepakkan selendangnya bersiap-siap untuk terbang. Sementara itu Kinsei menangis sejadi-jadinya sambil menahan kaki Sirius. “Aaaa! Aku takut sendirian di sini. Aku tidak punya sapa-siapa. Kalian jahat sekali!. HU HU HU.”

GUBRAK! Sirius jatuh tersungkur diatas tanah karena keseimbangannya terganggu. Vega yang melihatnya segera menghampiri dan menarik Sirius agar terbang kembali. “Maaf Kinsei. Kita akan meminta bantuan dari pihak istana,” ujarnya menenangkan.

Kinsei kembali larut dalam kesedihannya di tepi Sungai Milky selama berhari-hari hingga satu bulan lamanya.

Dari istana seberang, sang pemuda yang menyimpan kolor hitam itu tiba-tiba mendapati sebuah ingatan. “Ash. Aku tahu nama ini. Akasa,” sebutnya. “Aku pernah berkunjung ke istana itu waktu kecil. Aku harus mengembalikan benda aneh ini,” pikirnya.

Dengan mengendarai Pegasi, kuda terbang sekaligus kawan setianya, sampailah ia di Akasa. “Pangeran Aldebaran!” sambut raja ketika pangeran telah sampai di singgasana sang raja.

Dan begitulah seterusnya sang pangeran pemilik pantat bulat itu menceritakan kronologi kejadiannya sampai datang  ingatan yang membuatnya berniat mengembalikan benda berharga itu.
“Pangeran Aldebaran, anak kawan lamaku. Aku sungguh bangga dengan sikapmu,” puji Sang Raja. 

“Turunlah ke bumi dan temukan Kinsei. Masih ada waktu tiga hari untuk kau menemukannya. Bawa ia kembali dan akan kujodohkan engkau dengannya sebagai rasa terima kasihku atas kebaikanmu,” titah Sang Raja.

Ditemani Pegasi, Aldebaran pun mencari si pemilik kolor mulai dari tempat ia menemukannya. Tepat pada hari ketiga ia menemukan Kinsei yang sedang dilanda  putus asa di tengah hutan lebat. Singkat cerita keduanya pun kembali ke istana menjelang matahari terbenam.

“Ayahanda. Ampun. Aku tidak mau menikah dengan Pangeran Aldebaran,” ucap Kisei memohon.
“Loh! Ada apa gerangan, Ananda?” Sang Raja heran.

Dengan sedikit perasaan takut, Kinsei menjawab, “Ampun Ayahanda. Pangeran Aldebaran memiliki pantat bulat. Jauh lebih seksi dari bidadari manapun. Aku tidak mau, Ayah. Aku malu.”

“Ananda! Ayah kecewa denganmu. Bagaimana mungkin seorang raja menelan ludahnya sendiri. Lagipula Ayah tidak habis pikir. Jika bukan karena kebaikannya, mana mungkin kau bisa kembali lagi ke istana?” katanya geram. “Pokoknya pernikahanmu dengan Pangeran Aldebaran harus tetap dilangsungkan! Semua penguni istana sudah diberi tahu dan semua rakyat telah diundang.”

“Ayah!” seru Kinsei saat raja beranjak dari singgasananya.

“Ini perintah raja,” jawabnya sembari berlalu.

Bagaimanapun juga pernikahan itu harus tetap berlangsung seperti titah raja beberapa hari yang lalu. Semua penghuni istana merasa bahagia, akan tetapi pada hari itu Kinsei menghilang entah kemana.