Sesosok
Bayang dari Bukit Kemah
Part 1
Kisah ini bermula dari keinginanku mengunjungi bumi
perkemahan di mana adikku yang merupakan seorang siswi baru di SMA sedang menjalani masa perkenalan dengan
organisasi pramuka. Sebagai siswa baru, mengikuti kegiatan perkemahan wajib
hukumnya di sekolah yang pernah menjadi tempatku menumpang belajar dua tahun
lalu. Adikku tak menyukai kegiatan pramuka. Sama sepertiku. Namun ia tidak
sehebat aku dalam hal melanggar peraturan atau tidak melaksanakan kegiatan yang
diwajibkan.
Sore itu sudah kurencanakan untuk berangkat bersama teman
sebayaku menuju bukit di belakang sekolah yang sudah disulap menjadi lapangan
tiga tingkat oleh para pendiri sekolah. Komah namanya. Umurnya satu tahun lebih
muda dariku. Perbedaan kami amatlah jelas. Aku selalu menghindar dari kegiatan apapun
yang berhubungan dengan pramuka sedangkan Rigel seorang aktivis pramuka selama
masa sekolah. Kehadirannya di bumi perkemahan pun sudah dinanti-nantikan oleh
para adik kelas yang sama-sama menyukai kegiatan itu.
Rencana awalku sebenarnya ingin berangkat bersama saudaraku,
Agus, yang kebetulan masih sekolah di sana, akan tetapi menjelang jam lima sore
ia menghilang entah kemana. Akhirnya kuputuskan untuk mengendarai motor seorang
diri sedangkan Komah dibonceng kawannya yang sama-sama aktivis pramuka.
Perasaan bahagia melintasi kepalaku sebelum berangkat ke
sana. Alasannya sederhana, aku akan menengok suasana perkemahan yang aku tidak
ada di dalamnya. Melihat mereka yang
dengan polosnya melaksanakan perintah kakak-kakaknya atau menyanyi riang. Dulu
aku tidak mengikuti kegiatan itu diawal SMA karena trauma akan kemah sebelumnya
dimana saat pertama kali mengikuti perkemahan, saat itu pula hujan deras
mengacaukan seluruh lokasi. Tidak ada tenda tersisa hingga semuanya mengungsi
di rumah kosong. Disitu pula banyak bisik-bisik miring yang mengatakan bahwa
kedua urumah kosong itu berhantu. Sontak saja sebagai anak SMP yang polos kabar
itu membuat tidur kami tak nyenyak.
Kembali ke SMA. Saat memasuki gerbang sekolah sekitar jam
setengah enam sore ada sesuatu yang aneh melintas di kepalaku. Gerbangnya masih
sama. Tata letak ruangnya juga masih sama. Semuanya masih sama seperti dua
tahun lalu. Hanya saja renovasi mulai terjadi di hampir semua sudut sekolah.
Keperluan yang kubawakan segera kuserahkan kepada adikku setelah bertemu
dengannya. Setelah itu aku memarkir motor di lapangan bawah di dekat lapangan
dasar tempat perkemahan digelar. Tak terasa magrib pun datang setelah sejenak
mengobrol bersama guru yang ada di situ, berkenalan dengan adik-adik pengurus
pramuka dan wartawan setempat yang meliput kegiatan itu.
Aku tidak melaksanakan sholat maghrib di Masjid Sekolah
karena kami tahu masjid kecil itu pasti dipenuhi peserta kemah yang jumlahnya
ratusan. Kami menuruni jalan gelap yang diapit kebun di sana sini menuju rumah
kawan Komah yang berada tak jauh dari sekolah. Hawa aneh dan sunyi itu masih
berkelebat mengusikku. Aku tak tahu apakah karena aku jarang bepergian malam
atau takut suasana gelap di sekitarku, yang jelas perasaan seperti ini belum
pernah kurasakan sebelumnya.
Usai melaksanakan sholat maghrib, aku mengutarakan
keinginanku untuk pulang meski Komah dan kawan-kawannya sedang asyik mengobrol
dan sepertinya ia tak menanggapi. Mereka tidak tahu bahwa aku tidak betah bukan
karena aku paling beda diantara mereka, bukan seangkatan mereka atau baru
pertama kali singgah di rumah itu. bukan. Bukan karena itu.
Dengan beralasan takut pulang malam-malam karena mengendarai
motor seorang diri, aku mencoba lagi meminta ditemani ke atas (sekolah)
untuk kemdian pulang. Lagi-lagi dia yang
sedang asik berfoto sellfie tidak memahami kecemasanku dan menyuruhku menunggu
barang sampai waktu bakda isya. “Siapa tahu ada pengunjung yang sampeyan kenal,
Mbak. Nanti bisa pulang bareng,” ujarnya mencoba membuatku tenang.
Akhirnya setelah meyakinkannya sekali lagi, ia mau
mengantarku ke atas dimana motor kuparkir.
“Suasana puncak kalo malam kayak apa, Mah?” tanyaku pada
Komah ketika kami berjalan di bawah
bukit yang diatasnya berdiri beberapa bangunan kelas, termasuk masjid yang
krtinggian lantainya hampir sama. Kami para penghuni sekolah biasa menyebutnya
puncak karena tanah tempat deretan kelas itu berdiri merupakan tanah tertinggi
diantara tanah lainnya yang didirkan kelas. Kadang-kadang beberapa orang
menyebutnya lantaii ketiga. “Aku kok
jadi penasaran, ya?” lanjutku dengan terus memandang puncak bukit dan
sekitarnya yang gelap.
“Hush! Jangan ngawur sampeyan, Mbak,” sergahnya cepat. “Anak
pranuka saja ndak pernah ada yang berani ke atas malam-malam, sampeyan malah
mau cari gara-gara,” begitu tegasnya ia memperingatkanku.
Sekejap aku memutar ulang memori atas kejadian yang pernah
kutemui tiga tahun lalu waktu aku masih menjadi penghuni kelas puncak tersebut.
Sedikit merinding aku mengatakannya, “Oh ya, ya. Aku pernah bantuin ngangkat
anak yang kesurupan disana pake tandu,” ucapku.
“Nah itu tahu,” ujarnya penuh khawatir. “Sudah. Sampeyan
jangan ada pikiran macem-macem kalo disini,” lanjutnya tidak kalah tegas
dibanding sebelumnya.
“Katanya mau lihat api unggun,” ia memperingatkanku. “Ndak
sampe larut malam kok, paling jam 9 sudah mulai,” sambungnya.
Hawa aneh yang sudah kurasakan sejak awal menginjakkan kaki
di sini akhirnya dengan berat kuutarakan juga kepada Komahyang masih berusaha
menahanku pulang, tapi kuselingi dengan alasan yang masuk akal. “Ah, ndak jadi.
Ada perasaan aneh dan ganjil yang bikin aku pengen cepet-cepet pulang. Kayaknya
yang punya motor udah nunggu motornya pulang, mau dipake. Lagipula dari tadi
belum ada pengunjung juga. Kalo aku pulang kemalaman bawa motor sendirian apa
ndak nambah ngeri to?”
“Iya juga, ya? ya wis kalo gitu, hati-hati yo.”
Bukan perasaan senang yang kudapat karena keinginanku
meninggalkan tempat itu sudah terlaksana. Pintu gerbang yang terlihat biasa
saja entah kenapa membuat kulitku merinding saat melewatinya. Perjalanan pulang
menjadi lebih tidak nyaman. Hawa sunyi itu masih menyelimutiku meski jalan raya
ini memang teramat sepi. Perasaanku menjadi semakin kacau mankala melewati
areal persawahan yang lumayan luas. Gelap memang. Tapi sungguh, aku bukanlah
seorang penakut dalam tempat gelap seperti ketakutan dan kecemasan yang
abnormal sepanjang kulajukan sepeda motor ini.
Kalimat dzikir dan istighfar tiada henti kuucapkan dari
dalam hati. Tidak ada pikiran lain yang menyertaiku selain keinginan sampai di
rumah dengan selamat. Awalnya ingin kupercepat laju motor agar segera sampai di
rumah, tetapi akalku sendiri mencegahku melakukannya dengan alasan keselamatan.
Memang dia benar.
Alih-alih mencari spidol berwarna, aku mencari Agus di
tempat biasa ia main karambol. Di situ. Tepat di situ dia sedang main asik
menyentil koin untuk meraih poin demi poin. Di situ pula aku menuturkan
kegelisahan yang kualami sejak memasuki gerbang sekolah. Ia mafhum. Sebagai
siswa kelas XII, dirinya sudah terbiasa dengan cerita-cerita sumbang yang
berlokasi di pucuk bukit itu. Bahkan aku yang sudah terbiasa mendengar
teman-temanku melihat sosok dari dimensi lain kini mengalami bagaimana rasanya,
meski tidak sampai menampakkan langsing sosoknya di depan mataku.