Minggu, Agustus 28, 2016

Sesosok Bayang dari Bukit Kemah (part 1)



Sesosok Bayang dari Bukit Kemah
Part 1


Kisah ini bermula dari keinginanku mengunjungi bumi perkemahan di mana adikku yang merupakan seorang siswi baru di SMA  sedang menjalani masa perkenalan dengan organisasi pramuka. Sebagai siswa baru, mengikuti kegiatan perkemahan wajib hukumnya di sekolah yang pernah menjadi tempatku menumpang belajar dua tahun lalu. Adikku tak menyukai kegiatan pramuka. Sama sepertiku. Namun ia tidak sehebat aku dalam hal melanggar peraturan atau tidak melaksanakan kegiatan yang diwajibkan.
Sore itu sudah kurencanakan untuk berangkat bersama teman sebayaku menuju bukit di belakang sekolah yang sudah disulap menjadi lapangan tiga tingkat oleh para pendiri sekolah. Komah namanya. Umurnya satu tahun lebih muda dariku. Perbedaan kami amatlah jelas. Aku selalu menghindar dari kegiatan apapun yang berhubungan dengan pramuka sedangkan Rigel seorang aktivis pramuka selama masa sekolah. Kehadirannya di bumi perkemahan pun sudah dinanti-nantikan oleh para adik kelas yang sama-sama menyukai kegiatan itu.
Rencana awalku sebenarnya ingin berangkat bersama saudaraku, Agus, yang kebetulan masih sekolah di sana, akan tetapi menjelang jam lima sore ia menghilang entah kemana. Akhirnya kuputuskan untuk mengendarai motor seorang diri sedangkan Komah dibonceng kawannya yang sama-sama aktivis pramuka.
Perasaan bahagia melintasi kepalaku sebelum berangkat ke sana. Alasannya sederhana, aku akan menengok suasana perkemahan yang aku tidak ada di dalamnya.  Melihat mereka yang dengan polosnya melaksanakan perintah kakak-kakaknya atau menyanyi riang. Dulu aku tidak mengikuti kegiatan itu diawal SMA karena trauma akan kemah sebelumnya dimana saat pertama kali mengikuti perkemahan, saat itu pula hujan deras mengacaukan seluruh lokasi. Tidak ada tenda tersisa hingga semuanya mengungsi di rumah kosong. Disitu pula banyak bisik-bisik miring yang mengatakan bahwa kedua urumah kosong itu berhantu. Sontak saja sebagai anak SMP yang polos kabar itu membuat tidur kami tak nyenyak.
Kembali ke SMA. Saat memasuki gerbang sekolah sekitar jam setengah enam sore ada sesuatu yang aneh melintas di kepalaku. Gerbangnya masih sama. Tata letak ruangnya juga masih sama. Semuanya masih sama seperti dua tahun lalu. Hanya saja renovasi mulai terjadi di hampir semua sudut sekolah. Keperluan yang kubawakan segera kuserahkan kepada adikku setelah bertemu dengannya. Setelah itu aku memarkir motor di lapangan bawah di dekat lapangan dasar tempat perkemahan digelar. Tak terasa magrib pun datang setelah sejenak mengobrol bersama guru yang ada di situ, berkenalan dengan adik-adik pengurus pramuka dan wartawan setempat yang meliput kegiatan itu.
Aku tidak melaksanakan sholat maghrib di Masjid Sekolah karena kami tahu masjid kecil itu pasti dipenuhi peserta kemah yang jumlahnya ratusan. Kami menuruni jalan gelap yang diapit kebun di sana sini menuju rumah kawan Komah yang berada tak jauh dari sekolah. Hawa aneh dan sunyi itu masih berkelebat mengusikku. Aku tak tahu apakah karena aku jarang bepergian malam atau takut suasana gelap di sekitarku, yang jelas perasaan seperti ini belum pernah kurasakan sebelumnya.
Usai melaksanakan sholat maghrib, aku mengutarakan keinginanku untuk pulang meski Komah dan kawan-kawannya sedang asyik mengobrol dan sepertinya ia tak menanggapi. Mereka tidak tahu bahwa aku tidak betah bukan karena aku paling beda diantara mereka, bukan seangkatan mereka atau baru pertama kali singgah di rumah itu. bukan. Bukan karena itu.
Dengan beralasan takut pulang malam-malam karena mengendarai motor seorang diri, aku mencoba lagi meminta ditemani ke atas (sekolah) untuk  kemdian pulang. Lagi-lagi dia yang sedang asik berfoto sellfie tidak memahami kecemasanku dan menyuruhku menunggu barang sampai waktu bakda isya. “Siapa tahu ada pengunjung yang sampeyan kenal, Mbak. Nanti bisa pulang bareng,” ujarnya mencoba membuatku tenang.
Akhirnya setelah meyakinkannya sekali lagi, ia mau mengantarku ke atas dimana motor kuparkir.
“Suasana puncak kalo malam kayak apa, Mah?” tanyaku pada Komah ketika kami  berjalan di bawah bukit yang diatasnya berdiri beberapa bangunan kelas, termasuk masjid yang krtinggian lantainya hampir sama. Kami para penghuni sekolah biasa menyebutnya puncak karena tanah tempat deretan kelas itu berdiri merupakan tanah tertinggi diantara tanah lainnya yang didirkan kelas. Kadang-kadang beberapa orang menyebutnya lantaii ketiga.  “Aku kok jadi penasaran, ya?” lanjutku dengan terus memandang puncak bukit dan sekitarnya yang gelap.
“Hush! Jangan ngawur sampeyan, Mbak,” sergahnya cepat. “Anak pranuka saja ndak pernah ada yang berani ke atas malam-malam, sampeyan malah mau cari gara-gara,” begitu tegasnya ia memperingatkanku.
Sekejap aku memutar ulang memori atas kejadian yang pernah kutemui tiga tahun lalu waktu aku masih menjadi penghuni kelas puncak tersebut. Sedikit merinding aku mengatakannya, “Oh ya, ya. Aku pernah bantuin ngangkat anak yang kesurupan disana pake tandu,” ucapku.
“Nah itu tahu,” ujarnya penuh khawatir. “Sudah. Sampeyan jangan ada pikiran macem-macem kalo disini,” lanjutnya tidak kalah tegas dibanding sebelumnya.
“Katanya mau lihat api unggun,” ia memperingatkanku. “Ndak sampe larut malam kok, paling jam 9 sudah mulai,” sambungnya.
Hawa aneh yang sudah kurasakan sejak awal menginjakkan kaki di sini akhirnya dengan berat kuutarakan juga kepada Komahyang masih berusaha menahanku pulang, tapi kuselingi dengan alasan yang masuk akal. “Ah, ndak jadi. Ada perasaan aneh dan ganjil yang bikin aku pengen cepet-cepet pulang. Kayaknya yang punya motor udah nunggu motornya pulang, mau dipake. Lagipula dari tadi belum ada pengunjung juga. Kalo aku pulang kemalaman bawa motor sendirian apa ndak nambah ngeri to?”
“Iya juga, ya? ya wis kalo gitu, hati-hati yo.”
Bukan perasaan senang yang kudapat karena keinginanku meninggalkan tempat itu sudah terlaksana. Pintu gerbang yang terlihat biasa saja entah kenapa membuat kulitku merinding saat melewatinya. Perjalanan pulang menjadi lebih tidak nyaman. Hawa sunyi itu masih menyelimutiku meski jalan raya ini memang teramat sepi. Perasaanku menjadi semakin kacau mankala melewati areal persawahan yang lumayan luas. Gelap memang. Tapi sungguh, aku bukanlah seorang penakut dalam tempat gelap seperti ketakutan dan kecemasan yang abnormal sepanjang kulajukan sepeda motor ini.
Kalimat dzikir dan istighfar tiada henti kuucapkan dari dalam hati. Tidak ada pikiran lain yang menyertaiku selain keinginan sampai di rumah dengan selamat. Awalnya ingin kupercepat laju motor agar segera sampai di rumah, tetapi akalku sendiri mencegahku melakukannya dengan alasan keselamatan. Memang dia benar.
Alih-alih mencari spidol berwarna, aku mencari Agus di tempat biasa ia main karambol. Di situ. Tepat di situ dia sedang main asik menyentil koin untuk meraih poin demi poin. Di situ pula aku menuturkan kegelisahan yang kualami sejak memasuki gerbang sekolah. Ia mafhum. Sebagai siswa kelas XII, dirinya sudah terbiasa dengan cerita-cerita sumbang yang berlokasi di pucuk bukit itu. Bahkan aku yang sudah terbiasa mendengar teman-temanku melihat sosok dari dimensi lain kini mengalami bagaimana rasanya, meski tidak sampai menampakkan langsing sosoknya di depan mataku.