Aku
dan Perempua Tua
Namaku Lyra. Usiaku 15 tahun. Sejujurnya aku tak suka nama
itu, terkesan terlalu cengeng. Tapi perempuan tua yang selalu mengetik
sepanjang malam memberiku nama tersebut. Aku tak bisa mengelak ataupun
memprotes sedikitpun padanya, sebab kisah hidupku sudah sepenuhnya ia yang menetukan.
Meskipun sejatinya aku berasal dari keluarga penenun, tapi
aku pandai. Aku pandai sekali melukis. Lukisanku pun mulai mengikuti pameran
demi pameran. Sudah bukan rahasia lagi bahwa aku adalah pelukis termuda dalam
pameran yang diadakan setiap libur musim panas dan musim dingin.
Suatu ketika, perempuan tua itu menakdirkan seorang lelaki
memintaku untuk melukis seluruh sisi istananya, baik luar maupun dalam.
Tentunya aku tak dapat menolak tawaran ini karena menurut perempuan tua aku
akan mendapatkan imbalan yang tak pernah kuduga. Akupun mulai menyicil proyek
besarku setiap pulang sekolah. Ternyata laki-laki berjenggot yang biasa disapa
Eyang Elang oleh warga kerajaan itu memiliki seorang cucu laki-laki. Namanya
Altair. Orangnya tampan dan pekerja keras. Menurut pelayan istana, Altair
adalah satu-satunya pewaris tahta Kerajaan Muchu karena Eyang Elang hanya
memiliki seorang anak perempuan dan ia
adalah satu-satunya cucu laki-laki.
Terkadang jika malas menenun, aku mulai mengerjakan proyek sejak
pagi. Alih-alih melukis rumah kakeknya, aku seringkali pergi berdua bersama
Altair seusai melukis. Kami seringkali pergi ke sungai Milky untuk memancing,
tapi tak jarang ia memintaku menemaninya latihan memanah di sekitar istana.
Pekerjaan ini pun menjadi sangat menyenangkan buatku hingga
aku mulai lupa kalau tugas utamaku adalah menenun. Lagipula Eyang Elang
terlihat sangat gembira atas kedekatanku dengan cucunya. Eyang pernah bilang
pada orangtua Altair bahwa ia akan
menikahkanku dengan cucunya setelah merampungkan proyek ini. Dia bilang, ini
adalah bonus kerja kerasku mempercantik istananya. Altair yang tak sengaja
mendengar percakapan Eyang dengan Ayahnya menjadi semakin menggebu. Bak gayung
bersambut. Sudah saling cinta, akan dinikahkan pula.
Hal ini membuatnya bersemangat dan membantuku menyelesaikan
proyek setiap hari. Altair mengerjakan bagian yang mudah sedangkan bagian yang
sulit akulah yang ambil alih. Setiap hari selalu kami lewati bersama dengan
rajinnya. Hingga Altair pun tak pernah lagi terlihat di setiap jam latihan
perang. Kabar ini sampailah ke telinga Eyang. Sejujurnya Eyang geram dengan
perubahan yang dialami cucunya. Dan mungkin juga perempuan tua itu. Sehingga
Eyang menugaskan Altair menangkap pemburu domba yang sering mencuri domba
warga. Entah ini atas suruhan perempuan tua atau bukan.
Dengan membawa pasukannya, pergilah Altair ke suatu desa
yang amat jauh dari kerajaan, yaitu di hilir Sungai Milky. “Tugas ini
membutuhkan waktu yang lama. Pemburu domba tak mudah ditaklukkan. Kesaktiannya
sudah tersohor dimana-mana. Ia juga memiliki pengawal setia yang tak kalah
cerdik, dua ekor anjing yang mengawalnya kemanapun ia pergi berburu,” ujarnya
saat hendak pergi.
“Kita sama-sama sedang menjalankan tugas kerajaan. Kanda
bertugas menyejahterakan rakyat sementara Dinda bertugas menjadikan istana kita
lebih indah. Kita akan menjadikan kerajaan kita tak tertandingi oleh kerajaan
manapun,” jawabku penuh harap.
Altair tersenyum bangga dengan pemikiranku. Ia pun meminta
satu hal padaku sebelum menunggangi kudanya, “Dinda, maukah kau berjanji padaku
untuk setia menungguku? Ingat janji Eyang,” pintanya.
Aku mengangguk mantap. “Saat Kanda kembali, selesailah aku
mempercantik istana. Lalu kita akan menikah dalam suasana istana baru.”
Lalu Altair pergi dengan membawa harapan terbesar, begitu
pula aku.
Dua bulan berlalu sejak kali pertama Eyang Elang memberikan
proyek besar padaku, dan ini sama dengan satu bulan kepergian Altair memburu si
pemburu domba.
Tiga bulan kutunggu, empat bulan tak kunjung pulang. Hingga
tibalah musim panas. Proyek besar istana membuatku lupa segalanya, termasuk
momen pameran 2 kali setahun yang kutunggu-tunggu. Alpa dari event besar yang
membangun namaku, aku baru tersadar ketika hal itu sampai di telinga Ayahku
yang sekaligus marah besar karena aku
tak pernah lagi menenun hingga Ibuku jatuh sakit karena terlalu sering lembur untuk
menyelesaikan tenunannya.
Aku heran mengapa perempuan tua membiarkan ayahku menyelidiki
penyebab aku enggan menenun.
Sampailah ia di kerajaan dan mendapatkan jawaban. Ia pun
menyimpulkan bahwa calon pewaris tahta kerajaan membuatku jadi lupa segalanya.
Padahal sama sekali bukan itu. Asmara yang terjadi sama sekali tak dipengaruhi
harta, bahkan tahta.
Tanpa pikir panjang, ayahku memutuskan untuk memisahkanku dengan
Altair selamanya dengan menempatkanku di suatu desa yang amat jauh, yaitu di
hulu Sungai Milky. Ia sengaja merahasiakan ini dari siapa pun, termasuk
keluarga kerajaan di mana proyek yang kukerjakan belum selesai. Dengan Eyang
Elang, ia mengaku putrinya sudah dipinang oleh orang lain dan dibawanya tinggal
bersama di suatu desa yang sengaja ayahku tak menyebutkannya.
Sesungguhnya aku amat sedih menjalani hidupku tanpa
orang-orang yang kucinta, Ayah, Ibu, Altair, termasuk kebiasaan yang amat
menyenangkan bagiku, melukis. Perempuan tua juga hanya membiarkanku hanya
menenun dan menenun setiap hari tanpa berbuat apa-apa. Aku sadar. Aku hanyalah
lakon dalam cerita yang ia ketik sepanjang malam. Tapi ia tak pernah
membayangkan betapa pilunya menjalani hidup sebagai Lyra yang dipisahkan dari
harapan terbesarnya, Altair. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri sampai lupa
makan, lupa tidur, lupa mandi demi menyelesaikan cerita yang ia ciptakan ini.
Jika saja lakon punya hak untuk berbicara di luar tema, aku
akan berteriak pada perempuan tua untuk berhenti memainkan peran menyedihkan
ini. Tetapi suatu hari perempuan tua itu memberiku seorang teman yang amat
setia, Deneb. Cantik dan pandai menghibur. Dialah satu-satunya teman yang
kumiliki di dunia asing ini.
Suatu ketika aku merenungi nasib di pinggir sungai,
perempuan tua itu menghadirkan sekawanan burung yang seolah-olah ikut merasakan
kesedihanku. Ia juga berkata bahwa mereka ingin sekali membantuku bertemu
kembali dengan pujaan hatiku, Altair. Namun kurasa ia hanya sedikit memberiku
harapan. Mempermainkanku agar ceritanya terkesan menarik sehingga banyak orang
yang ingin membaca. Awalnya aku sedikit gembira ketika pemimpin kawanan burung
itu berjanji akan membuatkan jembatan dengan bulu-bulunya, agar aku dapat
meninggalkan tempat terkutuk ini dan kembali menjumpai kekasihku. Namun, hingga
musim panas usai jembatan itu belum juga selesai dibuat.
Keadaan menjadi semakin mengenaskan buatku karena jembatan
yang sedang dibangun itu rusak total ketika hujan lebat di awal musim dingin. Pupus sudah harapanku untuk bertemu
kekasihku. Dugaaanku benar. Perempuan tua memang sengaja mempermainkanku. Tapi
sejak aku diasingkan ke tempat ini, ia terlihat sedih. Wajahnya selalu murung
setiap saat mengetik. Dan kali ini ia mulai menangis. Entahlah. Kupikir ia
frustasi karena editor menagih ceritanya, seperti deadline misalnya, atau
karena tabungannya menipis sementara ceritanya belum selesai ia buat? Ah aku
tak tahu, toh aku hanya lakon yang tak bisa berbuat apa-apa.
Sekawanan burung meminta maaf padaku karena mereka tak dapat membuatkan jembatan
di musim dingin. Mereka akan mati kedinginan jika bulu-bulunya mereka cabuti.
Lagipula hujan dan angin akan membuat pekerjaan menjadi sia-sia. Kesedihan
menyelimutiku sepanjang musim dingin.
Larut dalam kesedihan membuatku tak sadar jika musim panas
telah tiba. Burung-burung itu kembali datang padaku dan melakukan hal yang sama
seperti tahun sebelumnya. Harapanku mekar
kembali. Namun di ujung musim kegagalan serupa terulang kembali. Aku
menangis sejadi-jadinya. Perempuan tua sama sekali tak berbuat apa-apa. Ia
malah ikut menangis.
Dan begitulah kisah hidup memilukan yang kualami di hulu
Sungai Milky dari tahun ke tahun. Harapan dan musibah yang terus terjaadi
berulang-ulang. Aku lelah dengan semua ini. Tak ada lagi harapan untukku
menjemput kebahagiaan. Bagi perempuan tua, ia hanya menghabiskan berjam-jam
untuk melengkapi penderitaanku, tapi ini terasa sangat lama bagiku. Bahkan aku
tak tahu berapa usiaku sekarang karena larutnya aku dalam penantian tak
berkesudahan.
“Sebaiknya sudahi saja cerita yang kau karang. Lekas kau
serahkan aku pada editor. Aku berharap editor sudi merubah jalan hidupku yang
malang. Lalu kau akan mendapat uang dari orang-orang yang membeli bukumu.”
Meski setiap malam aku selalu menyuarakan protes itu, tetapi
perempuan tua tak pernah berkesudahan. Hingga malam ini ia menuliskan sesuatu
yang berbeda dari sebelumnya. Setiap kata-katanya kupahami dengan seksama.
Perlahan air matanya menetes. Semakin menetes. Semakin deras, hingga ia
menangis sejadi-jadinya. Ia menuliskan takdirku ini dengan hruf kapital
keseluruhan. “AKU SUDAH LELAH DENGAN SEMUA PENANTIAN INI. BENCANA YANG BERULANG
SETIAP TAHUN. TAK BERKESUDAHAN. TAK MEMBERIKU HARAPAN. BODOHNYA AKU YANG SELALU
MENUNGGUMU HINGGA AKU MERASA TAK ADA LAGI GUNANYA HIDUP. SEHARUSNYA DARI DULU
SAJA AKU MATI.”
Nanar perasaanku merasakan paragraf yang baru saja ia ketik.
Hal yang kutunggu-tunggu akhirnya sampai juga. Bukan
perjumpaan dengan kekasihku, tapi akhir hidupku. Rupanya ia sudah mendengar
protes yang kuteriakkan setiap malam.
Tapi setelah puas menyiksaku, perempuan tua benar-benar tak punya perasaan. Ia
menghabisiku dengan cara yang amat kejam. BUNUH DIRI. Aku dipaksa menggoreskan belati ke nadiku sendiri. Pedih. Pegal.
Nyeri. Sungguh tega. Teriakanku tak lagi digubris perempuan tua hingga parau
suaraku, sesak napasku, hilang penglihatanku. Dan akhirnya aku mati dengan cara
mengenaskan.
Ia tak lantas menutup kisahku dari lembar kerjanya meski cerita yang ia karang telah
usai. Ia membiarkanku melihat apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Sepotong
belati tajam ia goreskan ke pergelangan tangannya yang keriput dimakan usia.
Sama persis seperti caranya membunuhku. Aku melihatnya meringis kesakitan, sama seperti yang kurasakan. Aku
tak tahu apa motivasinya mengakhiri hidup dengan cara demikian. Ia kejam
padaku, tapi juga kejam pada dirinya
sendiri. Detik-detik menjelang kematiannya, perempuan tua itu mengucapkan
paragraf tadkirku yang ia ketik dengan huruf kapital keseluruhan. Ia
mengucapkannya juga sama persis seperti yang ia ketik. Setelah itu, ia pun
mati.
Kini aku tahu. Aku bukan lakon hasil karanganyanya. Aku
adalah dirinya yang ia tulis dalam sebuah cerita. Aku dibiarkannya menjadi
saksi bisu akhir hidupnya yang mengenaskan. Aku juga menjadi memori kisah
hidupnya yang mamilukan. Tak ada seorang pun yang menjamah rumah ini karena
memang (aku) tak pernah mendapat kunjungan dari siapapun, termasuk oragtuaku. Sampai
akhirnya seoang tetangga mencium bau busuk dari rumah ini. mereka lalu
mendobrak pintu dan menemukan jasadku sudah membusuk. Dengan terpaksa mereka
mengurusi dan menguburkan jasadku demi kebaikan bersama.
Mereka telah menemukan jasadku dan menguburnya. Tapi aku tak
yakin akankah ada seseorang yang menemukan memoriku yang mulai usang dimakan
waktu?
...SELESAI...