Resensi (Jalan Raya Pos, Jalan
Daendels)
Oleh Moli Molart
Judul : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Jumlah halaman : 148 halaman
Dalam buku ini, penulis menjadi
saksi sekaligus penyampai penderitaan yang dialami rakyat Indonesia pada jaman
kolonial Belanda pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
Herman Willem Daendels. Setiap dari kita yang pernah mengenyam bangku
pendidikan tentu tak asing lagi dengan nama tersebut. Dalang dibalik pembuatan
jalan sepanjang 1000 km yang membentang dari
Anyar sampai Panarukan ini terkenal dengan kekuasaannya yang tak mengenal
kompromi, argumentasi, bahkan tak segan menembak mati siapa saja yang berani
angkat bicara di hadapannya. Kebengisannya membuat nusantara mengenalnya dengan
sebutan Jendral Guntur, Tuan Besar Guntur, Mas Guntur, Marsekal Besi, bahkan di
Jawa Barat disebut Mas Galak.
Dibawah kesewenangannya, membangun
jalan raya sepanjang itu dalam waktu setahun saja merupakan prestasi besar pada
jamannya. Penulis tak hanya mengisahkan kiprah Daendels dalam pembangunan jalan
yang merenggut ribuan nyawa pribumi saja, tetapi juga menjelaskan awal mula
kedatangannya melalui surat perintah
dari Raja Belanda, Lodewijk Napoleon, adik dari Napoleon Bonaparte atau lebih tepatnya Raja Belanda dibawah
Perancis.
Semua wilayah yang dilalui jalan
raya pos diceritakannya oleh penulis satu per satu mulai dari potensi alam dan manusianya,
keadaan masyarakatnya sampai penderitaannya. Tidak ada satupun pekerja rodi
yang tak menjemput ajal dengan cara yang berbeda, semua mati karena sebab yang kurang
lebih sama. Kelaparan, kelelahan, dilanda penyakit malaria bahkan wabah
penyakit pes juga menjangkiti di beberapa wilayah. Bukannya mengurusi jenazah
kerabatnya dengan layak, mayat-mayat itu dibiarkan saja bertebaran di tengah
jalan. Hal ini menunjukkan bahwa Pulau Jawa yang saat itu sudah menjadi pusat
peradaban islam di nusantara sudah tak ada lagi daya, bahkan mengangkat tubuhnya
saja tak kuasa.
Sungguh airmata, darah, bahkan nyawa
yang tak pernah terungkap. Tak ada sedikitpun usaha Belanda untuk mendata
siapa-siapa yang mati dalam pembangunan jalan ini. Pasca-kemerdekaan pun
penelitian guna mengungkap jumlah pasti korban meninggal selalu berujung sama,
disimpulkan dengan jumlah taksiran bulat seperti 5.000, 12.000, 35.000, dst. Keprihatinan
penulis dalam menyikapi kegagalan penelitian mengajak kita semua agar jangan
pernah melupakan sejarah getir bangsa kita.
Belum lagi di era itu, tanam paksa
melengkapi penderitaan kaum petani. Di mana potensi pertanian di temukan, di
situ tanam paksa digalakkan. Penjualan hasil bumi sudah barang pasti masuk ke
tangan koloni guna memperkaya negerinya, sementara petani yang kelaparan itu? Diungkapkan
oleh Inggris bahwa petani Jawa hanya menikmati seperempatbelas dari hasil
panennya. Mirisnya lagi, mereka masih harus membayar pajak, pah, dan
lain-lainnya.
Seolah tak puas menyaksikan
kerusakan di negeri sendiri, para pejabat pembesar pribumi yang bekerja pada
koloni pun ikut andil dalam memeras rakyatnya. Pemerasan itu bisa dalam bentuk
kewajiban membayar upeti maupun korupsi. Sehingga tak heran korupsi yang meraja
lela, tak pernah tuntas merupakan warisan dari para pembesar bangsa pada jaman
penjajahan.
Buku ini mengungkap betapa pelajaran
sejarah yang kita terima di bangku sekolah hanya sebatas mengenalkan saja. Pelajaran
yang sesungguhnya justru kita dapatkan dari penjelasan penulis sendiri. Pramoedya
Ananta Toer melalui pemeriksaan amat detail sepanjang perjalanan hidupnya yang sebagian
dihabiskan dalam kurungan mengingatkan bahwa kita adalah bangsa yang kaya tapi
tak berdaya, mengingatkan pada kita –melalui makna tersirat– bahwa mental lemah
yang kita warisi harus diubah.
Pembangkitan rasa nasionalisme
sengaja dirangkai dan dikemas apik melalui pengisahan sehingga tidak monoton
dan tidak terkesan menceramahi. Hanya saja penggunaan gaya bahasa khas
sastrawan menjadi kelemahan buku ini karena tak semua kalangan dapat menangkap
maksudnya dengan tepat. Selain itu terdapat pula beberapa kata yang asing di
telinga namun tak dijelaskan secara rinci. Buku setebal 148 halaman ini akan
menjadi sumber referensi yang tepat bagi para pecinta sejarah, tapi justru
menimbulkan kebosanan bagi orang awam.