Kamis, September 01, 2016

Resensi Buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels



Resensi (Jalan Raya Pos, Jalan Daendels)
Oleh Moli Molart

Judul                           : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels 
Penulis                         : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                       : Lentera Dipantara
Jumlah halaman           : 148 halaman

Dalam buku ini, penulis menjadi saksi sekaligus penyampai penderitaan yang dialami rakyat Indonesia pada jaman kolonial Belanda pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels. Setiap dari kita yang pernah mengenyam bangku pendidikan tentu tak asing lagi dengan nama tersebut. Dalang dibalik pembuatan jalan sepanjang 1000 km yang membentang  dari Anyar sampai Panarukan ini terkenal dengan kekuasaannya yang tak mengenal kompromi, argumentasi, bahkan tak segan menembak mati siapa saja yang berani angkat bicara di hadapannya. Kebengisannya membuat nusantara mengenalnya dengan sebutan Jendral Guntur, Tuan Besar Guntur, Mas Guntur, Marsekal Besi, bahkan di Jawa Barat disebut Mas Galak.

Dibawah kesewenangannya, membangun jalan raya sepanjang itu dalam waktu setahun saja merupakan prestasi besar pada jamannya. Penulis tak hanya mengisahkan kiprah Daendels dalam pembangunan jalan yang merenggut ribuan nyawa pribumi saja, tetapi juga menjelaskan awal mula kedatangannya melalui  surat perintah dari Raja Belanda, Lodewijk Napoleon, adik dari Napoleon Bonaparte  atau lebih tepatnya Raja Belanda dibawah Perancis.

Semua wilayah yang dilalui jalan raya pos diceritakannya oleh penulis satu per satu  mulai dari potensi alam dan manusianya, keadaan masyarakatnya sampai penderitaannya. Tidak ada satupun pekerja rodi yang tak menjemput ajal dengan cara yang berbeda, semua mati karena sebab yang kurang lebih sama. Kelaparan, kelelahan, dilanda penyakit malaria bahkan wabah penyakit pes juga menjangkiti di beberapa wilayah. Bukannya mengurusi jenazah kerabatnya dengan layak, mayat-mayat itu dibiarkan saja bertebaran di tengah jalan. Hal ini menunjukkan bahwa Pulau Jawa yang saat itu sudah menjadi pusat peradaban islam di nusantara sudah tak ada lagi daya, bahkan mengangkat tubuhnya saja tak kuasa.

Sungguh airmata, darah, bahkan nyawa yang tak pernah terungkap. Tak ada sedikitpun usaha Belanda untuk mendata siapa-siapa yang mati dalam pembangunan jalan ini. Pasca-kemerdekaan pun penelitian guna mengungkap jumlah pasti korban meninggal selalu berujung sama, disimpulkan dengan jumlah taksiran bulat seperti 5.000, 12.000, 35.000, dst. Keprihatinan penulis dalam menyikapi kegagalan penelitian mengajak kita semua agar jangan pernah melupakan sejarah getir bangsa kita.

Belum lagi di era itu, tanam paksa melengkapi penderitaan kaum petani. Di mana potensi pertanian di temukan, di situ tanam paksa digalakkan. Penjualan hasil bumi sudah barang pasti masuk ke tangan koloni guna memperkaya negerinya, sementara petani yang kelaparan itu? Diungkapkan oleh Inggris bahwa petani Jawa hanya menikmati seperempatbelas dari hasil panennya. Mirisnya lagi, mereka masih harus membayar pajak, pah, dan lain-lainnya.

Seolah tak puas menyaksikan kerusakan di negeri sendiri, para pejabat pembesar pribumi yang bekerja pada koloni pun ikut andil dalam memeras rakyatnya. Pemerasan itu bisa dalam bentuk kewajiban membayar upeti maupun korupsi. Sehingga tak heran korupsi yang meraja lela, tak pernah tuntas merupakan warisan dari para pembesar bangsa pada jaman penjajahan.

Buku ini mengungkap betapa pelajaran sejarah yang kita terima di bangku sekolah hanya sebatas mengenalkan saja. Pelajaran yang sesungguhnya justru kita dapatkan dari penjelasan penulis sendiri. Pramoedya Ananta Toer melalui pemeriksaan amat detail sepanjang perjalanan hidupnya yang sebagian dihabiskan dalam kurungan mengingatkan bahwa kita adalah bangsa yang kaya tapi tak berdaya, mengingatkan pada kita –melalui makna tersirat– bahwa mental lemah yang kita warisi harus diubah. 

Pembangkitan rasa nasionalisme sengaja dirangkai dan dikemas apik melalui pengisahan sehingga tidak monoton dan tidak terkesan menceramahi. Hanya saja penggunaan gaya bahasa khas sastrawan menjadi kelemahan buku ini karena tak semua kalangan dapat menangkap maksudnya dengan tepat. Selain itu terdapat pula beberapa kata yang asing di telinga namun tak dijelaskan secara rinci. Buku setebal 148 halaman ini akan menjadi sumber referensi yang tepat bagi para pecinta sejarah, tapi justru menimbulkan kebosanan bagi orang awam.