Kamis, September 01, 2016

Balada Memori



Balada Memori

Terombang-ambing oleh angin keraguan. Terseret arus menyesatkan. Terjatuh dalam curamnya ujian. Dan terselimuti awan kesedihan. Itulah rasanya menjadi Lyra. Seorang remaja dengaan muka tirus dan mata sipit. Wajahnya seolah-olah delalu mengiaskan kesedihan dan kadang-kadang orangmenyuruhnya tertawa bahkan ketika ia sedang bahagia. Tetapi sinar wajahnya tak selamanya menampakkan kesedihan. Karena dibalik wajah tirusnya terdapat pesonadan talenta yang patut diacungi jempol. Ia uga menjadi teman yang suka menolong serta menghibur.

Sibuknya menjadi remaja SMA yang mengikuti banyak kegiatan organisasi di sekolah membuatnya tak punya banyak waaktu luang untuk berbenah diri apalagi mengurusi pacar. Berangkat pagi pulang menjelang maghrib sudah menjadi rutinitasnya selama dua tahun karena di SMP ia tak pernah sesibuk ini.

Mereka menganggap Lyra cerdas, bahkan jenius. Sejujurnya ia kurang setuju dengan hal itu meskipun dari dulu ia serigkali mendapat presikat 1, 2 dan 3 di kelas. Sosok pelajar seperti Lyra mengundang decak kagum dari para guru dan teman-temannya, termasuk juga aku karena selain aktif dan  pintar, ia juga dapat diandalkan. Banyak dari mereka yang ingin menjadi murid kesayangan seperti dia. Mereka hanya memandang dari luar saja. betapa kerennya Lyra yang mengikuti kelas olimpiade di sekolah, menempati kelas unggulan, dan berteman dengan banyak orang pintar. Di lain sisi, Lyra justru iri pada mereka yag bisa tertawa lepas tanpa beban, yang terlihat cerah menjalani hidupnya dan tak dikendalikan waktu.

“Di luar aku dikagumi, di dalam aku tersiksa batin. Karena kesibukanku inilah aku tak punya banyak waktu dengan keluargaku di rumah atau berjalan-jalan ria dengan teman-teman seusiaku,” ucapnya suatu hari padaku.

“Lyra, selamat ya,” sapa salahh seorang teman ketika sosoknya memasuki gerbang sekolah.
Lyra tidak mengerti itu ucapan selamat untuk apa. Dan yang paling membuatnya terkejut ketika tiba di depan kelas teman-temannya bersorak untuknya, “Selamat ya, Lyra!”

Saat itu ia baru tahu kalau dirinya memenangkan cabang Olimpiade Ekonomi tingkat Propinsi. Sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya mengingat persiapannya dalam menghadapi event itu terbilang cukup singkat.

Lyra adalah sahabat terbaikku, maka ketika itu pula ia memelukku erat dan meyakinkanku bahwa jika telah tiba waktunya nanti aku juga berkesempatan mendapat kehormatan layakya ia. Namun euforia menyambut prestasi pahlawan sekolah itu tak berlangsung lama. Teman-teman dibuat heran dengan tingkahnya yang seketika menggandengku meninggalkan keramaian itu.

“Lyra, aku tahu kamu terharu. Tapi cukup teteskan air mata saja. tidak perlu menangis di sini,” ucapku ketika Lyra berhenti melangkah sesampainya di belakang kelas. “Bukan karena itu, Nath,” jawabnya.

“Lalu apa?” tanyaku.

“Aku belum siap cerita sekarang.” Lyra meninggalkanku dalam tanda tanya dan kembali ke kelasnya.
Hari ini hari sabtu. Kegiatan apapun di sekolah akan ditiadakan pada hari ini sehingga aku biasa pulang dengannya hanya di hari ini. Tak seperti biasanya, ia menghampiriku di kelas bukan untuk mengajakku pulang bersama, tetapi mengajakku ke bukit di belakang sekolah. Kami menaiki bukit rendah itu dan dengan jelas dapat melihat pemandangan kolam-kolam ikan nan tersusun rapi di kaki bukit.

“Nath, aku menyesal memutuskan Deneb,” ia mengawali pembicaraan.

“Baru sekarang? Dulu kau bilang dia tidak pengertian. Selalu cemburu dengan kesibukanmu. So, kenapa harus disesali?” responku.

“Dulu memang begitu, Nath. Tapi sekarang berubah. Tanpa kau tahu, dia juga selalu menyemangatiku. Dia mendukungku, Nath,” keluhnya.

“Mendukung bagaimana?” tanyaku mengernyitkan kening.

“Mendukung dan memberi perhatian lebih padaku, Nath. Disaat orang lain hanya melihat prestasiku, dia memperhatiakan kesehatanku. Tanpa kau tahu juga, dia sering berkunjung ke rumah. Tapi. . . Dia sudah aku lepas dan sekarang sudah bersama orang lain, Nath.”

Aku menghela napas panjang. Menata ulang kalimat yang akan kulontarkan sebagai respon. Tiba-tiba aku terngiang sebuah kata mutiara, “Dibalik pria yang hebat, ada wanita yang mendukung penuh.” Sedikit ngawur tapi lumayan nyambung. “Coba kau tukar posisi kata pria dan wanita dalam kalimat itu. mungkin seperti itulah kira-kira,” lanjutku yang sebenarnya telah kehabisan kata-kata.

“Tanpa  kau beri tahu pun aku sudah paham, Nath,” kilahnya. “Hanya saja. . .  Aku tetap tidak bisa berhenti berharap untuk kembali seperti dulu. Seperti awal kedekatanku dengan Nilam,” tuturnya penuh kerisauan. Aku dapat melihat harapannya yang begitu besar pada Al-Nilam melebihi rasa yang timbul saat pertama kali ia jatuh cinta dengan masa lalunya.  “Fiuh. Kau ada solusi?” 

Apa lagi yang akan kukarang di hadapannya ini? Habis sudah kata-kata di otakku. Namun sejurus kemudian ada memori yang melintas di kepalaku. Ingatan tentang sahabat kecilku. Kuceritakan saja padanya sembari mengingat-ingat.

“Oke, well,” aku mengawalinya. “Mungkin kau tidak pernah tahu bahwa sewaktu umur tiga tahun, aku memiliki seorang sahabat yang entah bagaimana ceritanya ia sekeluarga pindah ke kota lain. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti dan mengingat,” lanjutku. “Ada  satu hal yang unik dalam persahabatan kami berdua. Kau tahu mengapa aku lebih suka membolos ke sanggar seni daripada belajar dan menjadi murid kesayangan seperti kau?” sengaja kuberi  pertanyaan agar aku memiliki sedikit waktu untuk berpikir sembari menata ulang kalimatku.

Lyra segeraa merespon dengan kesal karena merasa aku telah menyia-nyiakan potensi yang ada dalam diriku untuk bisa berkilau di dunia akademik seperti dirinya.

“Sssst. . . Aku punya alasan yang kuat untuk itu,” “Sahabatmu ini, El-Nath kecil sangat menyukai menggambar di atas tanah bersama kedua temannya. Kami bertiga memiliki impian yang sama untuk melukis seluruh jalanan kota. Menyulapnya menjadi kota seni yang tak tertandingi. Sementara usiaku bertambah, aku terus terngiang-ngiang impian itu. Ucapan sederhana itu yang meyakinkanku bahwa dengan berkarya akan dapat mempertemukanku dengan kedua sahabat yang. . . menjadi penyemangatku meski hanya impiannya yang tertinggal. Hidupku sederhana. Hidupmu yang perfect. Kau dikelilingi banyak orang, kau dicintai banyak orang. Kau pernah merasakan jatuh cinta dan. . . Dan kurasa kau tak perlu menyesali apa yang sudah bukan milikmu,” tuturku dengan lembut dan hati-hati  karena memang sejujurnya aku pandai menjadi pendengar tetapi kurang pandai memberi solusi.

“Mengapa?” tanyanya mulai penasaran.

“Karena aku tak pernah menyesali kehilangan kedua sahabatku meski aku menggantungkan harapan tertinggi pada mereka. Aku tak pernah meragukan mereka akan kembali meski dalam wujud yang lain atau orang yang berbeda. Sama juga sepertimu. Kembali berharap pada mawar yang telah layu karena tak kau sirami. Padahal kau menyesali dan ingin memilikinya lagi. Suatu saat pasti akan ada lagi. Entah dari pohon yangg sama atau pohon lain. Sampai di sini kau mengerti?”

Lyra tertunduk. Rupanya ia meresapi ocehanku yang tak seberapa. Setelah agak lama kutunggu akhirnya ia bersuara juga, “Kau benar, Nath. Semua analogimu benar. Aku terlalu sibuk dengan duniaku yang rumit hingga melupakan hal sesederhana itu.” senyum ringan namun melegakan terukir dari kedua sudut bibirnya. Yang kutahu saat itu kerisauannya berkurang. Aku lega dapat memberikan sedikit pencerahan untuknya. Yang tanpa kuterka, ia memelukku dan mengucapkan sesuatu yang sedikit terdengar aneh di telingaku, “Mawar itu tak akan layu lagi, Nath karena saat ini sedang kupeluk.”

Akupun menanggapinya dengan santai “Kau meracau? Sepertinya kau mulai belajar melucu.”