Balada
Memori
Terombang-ambing oleh angin keraguan.
Terseret arus menyesatkan. Terjatuh dalam curamnya ujian. Dan terselimuti awan
kesedihan. Itulah rasanya menjadi Lyra. Seorang remaja dengaan muka tirus dan
mata sipit. Wajahnya seolah-olah delalu mengiaskan kesedihan dan kadang-kadang
orangmenyuruhnya tertawa bahkan ketika ia sedang bahagia. Tetapi sinar wajahnya
tak selamanya menampakkan kesedihan. Karena dibalik wajah tirusnya terdapat
pesonadan talenta yang patut diacungi jempol. Ia uga menjadi teman yang suka
menolong serta menghibur.
Sibuknya menjadi remaja SMA yang
mengikuti banyak kegiatan organisasi di sekolah membuatnya tak punya banyak
waaktu luang untuk berbenah diri apalagi mengurusi pacar. Berangkat pagi pulang
menjelang maghrib sudah menjadi rutinitasnya selama dua tahun karena di SMP ia
tak pernah sesibuk ini.
Mereka menganggap Lyra cerdas, bahkan
jenius. Sejujurnya ia kurang setuju dengan hal itu meskipun dari dulu ia
serigkali mendapat presikat 1, 2 dan 3 di kelas. Sosok pelajar seperti Lyra
mengundang decak kagum dari para guru dan teman-temannya, termasuk juga aku
karena selain aktif dan pintar, ia juga
dapat diandalkan. Banyak dari mereka yang ingin menjadi murid kesayangan
seperti dia. Mereka hanya memandang dari luar saja. betapa kerennya Lyra yang
mengikuti kelas olimpiade di sekolah, menempati kelas unggulan, dan berteman
dengan banyak orang pintar. Di lain sisi, Lyra justru iri pada mereka yag bisa
tertawa lepas tanpa beban, yang terlihat cerah menjalani hidupnya dan tak dikendalikan
waktu.
“Di luar aku dikagumi, di dalam aku
tersiksa batin. Karena kesibukanku inilah aku tak punya banyak waktu dengan
keluargaku di rumah atau berjalan-jalan ria dengan teman-teman seusiaku,”
ucapnya suatu hari padaku.
“Lyra, selamat ya,” sapa salahh seorang
teman ketika sosoknya memasuki gerbang sekolah.
Lyra tidak mengerti itu ucapan selamat
untuk apa. Dan yang paling membuatnya terkejut ketika tiba di depan kelas
teman-temannya bersorak untuknya, “Selamat ya, Lyra!”
Saat itu ia baru tahu kalau dirinya
memenangkan cabang Olimpiade Ekonomi tingkat Propinsi. Sesuatu yang tak pernah
ia duga sebelumnya mengingat persiapannya dalam menghadapi event itu terbilang
cukup singkat.
Lyra adalah sahabat terbaikku, maka
ketika itu pula ia memelukku erat dan meyakinkanku bahwa jika telah tiba
waktunya nanti aku juga berkesempatan mendapat kehormatan layakya ia. Namun
euforia menyambut prestasi pahlawan sekolah itu tak berlangsung lama.
Teman-teman dibuat heran dengan tingkahnya yang seketika menggandengku meninggalkan
keramaian itu.
“Lyra, aku tahu kamu terharu. Tapi
cukup teteskan air mata saja. tidak perlu menangis di sini,” ucapku ketika Lyra
berhenti melangkah sesampainya di belakang kelas. “Bukan karena itu, Nath,”
jawabnya.
“Lalu apa?” tanyaku.
“Aku belum siap cerita sekarang.” Lyra
meninggalkanku dalam tanda tanya dan kembali ke kelasnya.
Hari ini hari sabtu. Kegiatan apapun di
sekolah akan ditiadakan pada hari ini sehingga aku biasa pulang dengannya hanya
di hari ini. Tak seperti biasanya, ia menghampiriku di kelas bukan untuk
mengajakku pulang bersama, tetapi mengajakku ke bukit di belakang sekolah. Kami
menaiki bukit rendah itu dan dengan jelas dapat melihat pemandangan kolam-kolam
ikan nan tersusun rapi di kaki bukit.
“Nath, aku menyesal memutuskan Deneb,”
ia mengawali pembicaraan.
“Baru sekarang? Dulu kau bilang dia
tidak pengertian. Selalu cemburu dengan kesibukanmu. So, kenapa harus
disesali?” responku.
“Dulu memang begitu, Nath. Tapi
sekarang berubah. Tanpa kau tahu, dia juga selalu menyemangatiku. Dia
mendukungku, Nath,” keluhnya.
“Mendukung bagaimana?” tanyaku
mengernyitkan kening.
“Mendukung dan memberi perhatian lebih
padaku, Nath. Disaat orang lain hanya melihat prestasiku, dia memperhatiakan
kesehatanku. Tanpa kau tahu juga, dia sering berkunjung ke rumah. Tapi. . . Dia
sudah aku lepas dan sekarang sudah bersama orang lain, Nath.”
Aku menghela napas panjang. Menata
ulang kalimat yang akan kulontarkan sebagai respon. Tiba-tiba aku terngiang
sebuah kata mutiara, “Dibalik pria yang hebat, ada wanita yang mendukung
penuh.” Sedikit ngawur tapi lumayan nyambung. “Coba kau tukar posisi kata pria
dan wanita dalam kalimat itu. mungkin seperti itulah kira-kira,” lanjutku yang
sebenarnya telah kehabisan kata-kata.
“Tanpa
kau beri tahu pun aku sudah paham, Nath,” kilahnya. “Hanya saja. .
. Aku tetap tidak bisa berhenti berharap
untuk kembali seperti dulu. Seperti awal kedekatanku dengan Nilam,” tuturnya
penuh kerisauan. Aku dapat melihat harapannya yang begitu besar pada Al-Nilam
melebihi rasa yang timbul saat pertama kali ia jatuh cinta dengan masa
lalunya. “Fiuh. Kau ada solusi?”
Apa lagi yang akan kukarang di
hadapannya ini? Habis sudah kata-kata di otakku. Namun sejurus kemudian ada
memori yang melintas di kepalaku. Ingatan tentang sahabat kecilku. Kuceritakan
saja padanya sembari mengingat-ingat.
“Oke, well,” aku mengawalinya. “Mungkin
kau tidak pernah tahu bahwa sewaktu umur tiga tahun, aku memiliki seorang
sahabat yang entah bagaimana ceritanya ia sekeluarga pindah ke kota lain. Aku
masih terlalu kecil untuk mengerti dan mengingat,” lanjutku. “Ada satu hal yang unik dalam persahabatan kami
berdua. Kau tahu mengapa aku lebih suka membolos ke sanggar seni daripada
belajar dan menjadi murid kesayangan seperti kau?” sengaja kuberi pertanyaan agar aku memiliki sedikit waktu
untuk berpikir sembari menata ulang kalimatku.
Lyra segeraa merespon dengan kesal
karena merasa aku telah menyia-nyiakan potensi yang ada dalam diriku untuk bisa
berkilau di dunia akademik seperti dirinya.
“Sssst. . . Aku punya alasan yang kuat
untuk itu,” “Sahabatmu ini, El-Nath kecil sangat menyukai menggambar di atas
tanah bersama kedua temannya. Kami bertiga memiliki impian yang sama untuk
melukis seluruh jalanan kota. Menyulapnya menjadi kota seni yang tak
tertandingi. Sementara usiaku bertambah, aku terus terngiang-ngiang impian itu.
Ucapan sederhana itu yang meyakinkanku bahwa dengan berkarya akan dapat
mempertemukanku dengan kedua sahabat yang. . . menjadi penyemangatku meski
hanya impiannya yang tertinggal. Hidupku sederhana. Hidupmu yang perfect. Kau
dikelilingi banyak orang, kau dicintai banyak orang. Kau pernah merasakan jatuh
cinta dan. . . Dan kurasa kau tak perlu menyesali apa yang sudah bukan
milikmu,” tuturku dengan lembut dan hati-hati
karena memang sejujurnya aku pandai menjadi pendengar tetapi kurang
pandai memberi solusi.
“Mengapa?” tanyanya mulai penasaran.
“Karena aku tak pernah menyesali
kehilangan kedua sahabatku meski aku menggantungkan harapan tertinggi pada
mereka. Aku tak pernah meragukan mereka akan kembali meski dalam wujud yang
lain atau orang yang berbeda. Sama juga sepertimu. Kembali berharap pada mawar
yang telah layu karena tak kau sirami. Padahal kau menyesali dan ingin
memilikinya lagi. Suatu saat pasti akan ada lagi. Entah dari pohon yangg sama
atau pohon lain. Sampai di sini kau mengerti?”
Lyra tertunduk. Rupanya ia meresapi
ocehanku yang tak seberapa. Setelah agak lama kutunggu akhirnya ia bersuara
juga, “Kau benar, Nath. Semua analogimu benar. Aku terlalu sibuk dengan duniaku
yang rumit hingga melupakan hal sesederhana itu.” senyum ringan namun melegakan
terukir dari kedua sudut bibirnya. Yang kutahu saat itu kerisauannya berkurang.
Aku lega dapat memberikan sedikit pencerahan untuknya. Yang tanpa kuterka, ia
memelukku dan mengucapkan sesuatu yang sedikit terdengar aneh di telingaku, “Mawar
itu tak akan layu lagi, Nath karena saat ini sedang kupeluk.”
Akupun menanggapinya dengan santai “Kau
meracau? Sepertinya kau mulai belajar melucu.”