Praktik Uang Seseran
yang Membudaya dalam Dunia Pendidikan Kita
Praktik “uang
seseran” dalam dunia pendidikan mungkin bukan hanya terjadi di sekolah swasta
yang sejatinya butuh dana lebih untuk pembangunan dan melengkapi sarana
prasarana sekolah karena tidak disokong pemerintah. Dimana-mana sekolah milik
pemerintah yang biasanya menyandang kata “negeri”, misal SD Negeri, SMP Negeri,
dan SMA Negeri selalu menjadi pilihan utama para siswa dengan status ekonomi
menengah ke bawah karena dianggap murah. Sebagian dana penyelenggaraan
pendidikan berasal dari subsidi pemerintah sehingga para wali murid merasa
sedikit terbantu.
Namun dibalik iming-iming murah di muka, seringkali kita
jumpai praktik uang seseran di belakang. Pembelian seragam sekolah misalnya.
Pengadaan seragam olahraga atau seragam ciri khas sekolah tersebut mewajibkan
para siswanya membayar dengan harga yang ditentukan sekolah. Padahal jika kita
menilik harga pasar, tentu akan sangat terasa selisihnya, bahkan bisa mencapai
dua, tiga kali lipat dan seterusnya. Jika kita bandingkan lagi dengan harga
konveksi pasti akan kita temukan kekeliruan. “Harga di konveksi segini kok
dijual segini,” begitu kira-kira komentar para wali murid dan siswa yang merasa
kebertatan. Apalagi pengadaan seragam dengan sistem borongan seringkali
mendapat diskon dari pihak konveksi. Bahkan tak jarang konveksi yang menurut
diberi harga murah karena sebagian keuntungan dari hasil penjualan seragam digunakan
untuk ongkos lelah pihak yang mengadakan atau masuk ke kas sekolah. Jika atasan
sudah memberi perintah demikian dengan alasan tambahan dana penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar, ketidakberdayaan menolak perintah tersebut rasanya
tidak mungkin terjadi.
Berbicara soal ongkos lelah sejatinya tidaklah pantas untuk
orang berpendidikan yang harusnya dituntut bekerja secara profesional. Tidak
memanfaatkan kesempatan dalam adanya kesempatan. Semua digaji sesuai porsinya,
namun lagi-lagi praktek “uang seseran” seperti suudah menjadi budaya di negara
kita. Harga seragam sekolah tambah tahun tambah mahal. Biaya daftar ulang dan
SPP semakin melonjak dari tahun ajaran sebelumnya ke tahun ajaran berikutnya.
Bahkan harga sebuah buku Lembar Kerja Siswa (LKS) semakin tak masuk akal, bisa
sampai Rp. 10.000 per buku. Sungguh tak pantas dinalar sebuah buku dengan
kualitas kertas rendahan, dicetak dalam jumlah banyak, dan ketebalan tak sampai
menyentuh angka 50 lembar dijual dengan harga yang memberatkan siswanya.
Mendengar berita kedatangan LKS saja sudah membuat bibir menggerutu, lantas
bagaimana dengan semangat belajarnya?
Mirisnya lagi, belasan buku yang dibeli di awal semester
dengan menyusup recehan para orangtua umurnya tak pernah panjang, pasalnya di
akhir semester buku-buku itu selalu menggudang, bahkan dikilokan untuk jadi
bungkus cabai. Miris bukan? Meski begitu, pihak sekolah yang mengadakan LKS
sebagai buku pelajaran sehari-hari enggan menyelami sedalam itu. Ujung-ujungnya
gerutu selalu tercuap di awal semester akibat semua ketidakwajaran tersebut.
Mungkin bukan hanya saya yang menyadari kekeliruan ini. Para
orangtua sebagai pihak yang dibebankan dengan biaya-biaya pendidikan ini tentu
lebih merasa dirugikan. Namun sekali lagi, mengapa tidak ada inisiatif untuk
menelusuri kekeliruan ini dalam rapat wali murid yang diselenggarakan setiap
tahunnya? Mereka hanya menurut saja dengan kebijakan yang telah ditetapkan
meski sejujurnya mereka memiliki hak untuk berpendapat sebagaimana dijelaskan
dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 1 (kalau tidak salah) : “Semua orang bebas
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Menelisik kepada kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan
pendidikan gratis, seharusnya para
intelektual memamahi lagi apa visi misinya. Jika kenyatannya di lapangan
seperti ini apakah ini sejalan atau bertentangan? Jika sejalan tentu dampak
yang diterima oleh para pejuang ilmu adalah kesejahteraan. Namun jika dampak
yang dirasakan adalah sebaliknya, maka perlu dikaji ulang apakah sistem seperti
yang sudah saya paparkan diatas efektif dan efisien. Berkaca pada kasus ini
tentu masih jauh dari kata efisien dan keefektifannya pun masih diragukan.
Saya rasa hal ini menjadi PR bagi kita semua sebagai
generasi pengisi kemerdekaan untuk mengoreksi kekeliruan dalam dunia pendidikan
kita. Mengoreksi bukan hanya mengetahui letak kesalahannya, namun juga berusaha
memperbaiki agar kesalahan tak terjadi
berulang-ulang.