Kamis, September 01, 2016

Praktik Uang Seseran yang Membudaya dalam Dunia Pendidikan Kita



Praktik Uang Seseran yang Membudaya dalam Dunia Pendidikan Kita

Praktik  “uang seseran” dalam dunia pendidikan mungkin bukan hanya terjadi di sekolah swasta yang sejatinya butuh dana lebih untuk pembangunan dan melengkapi sarana prasarana sekolah karena tidak disokong pemerintah. Dimana-mana sekolah milik pemerintah yang biasanya menyandang kata “negeri”, misal SD Negeri, SMP Negeri, dan SMA Negeri selalu menjadi pilihan utama para siswa dengan status ekonomi menengah ke bawah karena dianggap murah. Sebagian dana penyelenggaraan pendidikan berasal dari subsidi pemerintah sehingga para wali murid merasa sedikit terbantu.

Namun dibalik iming-iming murah di muka, seringkali kita jumpai praktik uang seseran di belakang. Pembelian seragam sekolah misalnya. Pengadaan seragam olahraga atau seragam ciri khas sekolah tersebut mewajibkan para siswanya membayar dengan harga yang ditentukan sekolah. Padahal jika kita menilik harga pasar, tentu akan sangat terasa selisihnya, bahkan bisa mencapai dua, tiga kali lipat dan seterusnya. Jika kita bandingkan lagi dengan harga konveksi pasti akan kita temukan kekeliruan. “Harga di konveksi segini kok dijual segini,” begitu kira-kira komentar para wali murid dan siswa yang merasa kebertatan. Apalagi pengadaan seragam dengan sistem borongan seringkali mendapat diskon dari pihak konveksi. Bahkan tak jarang konveksi yang menurut diberi harga murah karena sebagian keuntungan dari hasil penjualan seragam digunakan untuk ongkos lelah pihak yang mengadakan atau masuk ke kas sekolah. Jika atasan sudah memberi perintah demikian dengan alasan tambahan dana penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar, ketidakberdayaan menolak perintah tersebut rasanya tidak mungkin terjadi.

Berbicara soal ongkos lelah sejatinya tidaklah pantas untuk orang berpendidikan yang harusnya dituntut bekerja secara profesional. Tidak memanfaatkan kesempatan dalam adanya kesempatan. Semua digaji sesuai porsinya, namun lagi-lagi praktek “uang seseran” seperti suudah menjadi budaya di negara kita. Harga seragam sekolah tambah tahun tambah mahal. Biaya daftar ulang dan SPP semakin melonjak dari tahun ajaran sebelumnya ke tahun ajaran berikutnya. Bahkan harga sebuah buku Lembar Kerja Siswa (LKS) semakin tak masuk akal, bisa sampai Rp. 10.000 per buku. Sungguh tak pantas dinalar sebuah buku dengan kualitas kertas rendahan, dicetak dalam jumlah banyak, dan ketebalan tak sampai menyentuh angka 50 lembar dijual dengan harga yang memberatkan siswanya. Mendengar berita kedatangan LKS saja sudah membuat bibir menggerutu, lantas bagaimana dengan semangat belajarnya?

Mirisnya lagi, belasan buku yang dibeli di awal semester dengan menyusup recehan para orangtua umurnya tak pernah panjang, pasalnya di akhir semester buku-buku itu selalu menggudang, bahkan dikilokan untuk jadi bungkus cabai. Miris bukan? Meski begitu, pihak sekolah yang mengadakan LKS sebagai buku pelajaran sehari-hari enggan menyelami sedalam itu. Ujung-ujungnya gerutu selalu tercuap di awal semester akibat semua ketidakwajaran tersebut.

Mungkin bukan hanya saya yang menyadari kekeliruan ini. Para orangtua sebagai pihak yang dibebankan dengan biaya-biaya pendidikan ini tentu lebih merasa dirugikan. Namun sekali lagi, mengapa tidak ada inisiatif untuk menelusuri kekeliruan ini dalam rapat wali murid yang diselenggarakan setiap tahunnya? Mereka hanya menurut saja dengan kebijakan yang telah ditetapkan meski sejujurnya mereka memiliki hak untuk berpendapat sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 1 (kalau tidak salah) : “Semua orang bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Menelisik kepada kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan  gratis, seharusnya para intelektual memamahi lagi apa visi misinya. Jika kenyatannya di lapangan seperti ini apakah ini sejalan atau bertentangan? Jika sejalan tentu dampak yang diterima oleh para pejuang ilmu adalah kesejahteraan. Namun jika dampak yang dirasakan adalah sebaliknya, maka perlu dikaji ulang apakah sistem seperti yang sudah saya paparkan diatas efektif dan efisien. Berkaca pada kasus ini tentu masih jauh dari kata efisien dan keefektifannya pun masih diragukan.

Saya rasa hal ini menjadi PR bagi kita semua sebagai generasi pengisi kemerdekaan untuk mengoreksi kekeliruan dalam dunia pendidikan kita. Mengoreksi bukan hanya mengetahui letak kesalahannya, namun juga berusaha memperbaiki  agar kesalahan tak terjadi berulang-ulang.