Minggu, Agustus 28, 2016

Sesosok Bayang dari Bukit Kemah (part 2)



 Sesosok Bayang dari Bukit Kemah

Part 2

Dentingan alat-alat operasi menyibukkan telingaku yang hanya dapat mendengar samar-samar dari balik tirai dengan mata tertutup. Bagian dada hingga perutku mati rasa akibat suntikan bius. Yang kulihat di film-film pembiusan dilakukan total kepada pasien yang dibedah dadanya. Beda lagi dengan pasien yang dibedah pertnya, mereka dibius hanya pada area yang dioperasi. Beberapa dokter mulai membedah dadaku. Biadabnya aku dapat mendengar  semua percakapan mereka yang membuatku teramat takut.
Asisten memberikan apapun yang diminta sang dokter. Mereka mengobrak-abrik rongga dadaku serasa bermain boneka. Dari balik tirai penutup sejujurnya aku ingin berteriak agar mereka menghentikan percakapan.
Dokter pemilik suara paling berat diantara yang lainnya itu kurasa adalah ketua tim. Ia sepertinya sudah sangat sibuk dengan banyaknya operasi yang sudah dijadwalkan sepekan ini.
“Aku ada jadwal operasi penyakit sirosis setelah ini. Maka dari itu setelah pencangkokan berhasil, kalian lanjutkan operasi ini tanpa aku, ya,” titah dokter itu kepada timnya.
“Baik, Dok,” jawab salah seorang asisten perempuan di sebelah kiriku.
“Kita harus tetap menyelesaikan operasi ini meskipun keadaan pasien sangat kritis,” ucapnya lagi saat mendapati garis di layar monitor tutun drastis menuju horizontal.
“Tekanan darah terlalu rendah,” tambah seorang asisten.
“Napasnya sangat lemah. Hampir tidak ada, Dok,” asisten yang lain menimpali.
Dan begitulah seterusnya. Keadaan genting terus terjadi dan menambah suasana mencekam di ruang operasiku. Semua pengecekan di monitor menunjukkan hasil kritis. Satu per satu asisten mulai panik. Semua alat dikeluarkan satu per satu seiring gejala yang dihadapi.
“Pacu defribelator,” perintah sang dokter manakala detak jantungku hampir menghilang.
“Tambah lagi tekanannya,” katanya lagi.
Aku tak tahu persisnya berapa jam tim bedah itu menghadapi suasana genting di ruang operasiku. Telingaku juga panas mendengar semua kekhawatiran mereka. Hingga beberapa saat hening pun hadir ketika sinyal-sinyal di monitor perlahan-lahan menuju normal kembali.
“Operasi ini tetap harus diselesaikan meski kecil sekali kemungkinan pasien ini selamat,” ujar dokter lainnya yang tampak lebih muda.
“Anda benar. Selamat atau tidaknya pasien itu urusan nanti,” timpalnya.
“Ada berapa banyak pasien yang akan kita mandikan malam ini?” tanya dokter muda itu lagi.
Asisten yang sejak tadi di sebelah kiriku menjawab, “Total ada lima pasien. Mungkin bisa bertambah. Kita tunggu saja nanti.”
“Aku ragu pasien ini bukan salah satu dari mereka. Kondisinya sanngat mengkhawatirkan meski operasi kita berhasil,” ucap seorang dokter perempuan yang kelihatannya paling muda diantara kedua dokter laki-laki seusai tim mereka menutup menbali tubuhku dengan jahitan disana sini.
Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan operasiku, dokter bedah yang paling senior menyuruh salah satu asisten memberi tahu keluargaku bahwa operasinya sudah selesai.
“Berapa orang pihak kerabat yang menunggunya di luar?” tanyanya.
“Belum ada lagi, Dok. Sepertinya mereka menunggu pasien di rumah,” jawabnya setelah menengok ruang tunggu dan tak ada sesiapa di sana.
“Sudah kau dapatkan nomor teleponnya?” tanyanya lagi.
“Belum, Dok,” jawabnya singkat kali ini namun membuat dokter yang bertanya seperti jengkel.
“Bagaimana mungkin keluarga pasien tidak memperdulikannya?” geram sang dokter.
“Beberapa jam sebelum operasi ada seorang yang mengaku kakak pasien. Dia bilang mereka sekeluarga sudah serahkan semuanya pada yang diatas. Mereka akan menunggunya di rumah sembari mempersiapkan segala sesuatu untuk tamu yang mungkin akan ramai. Mereka hanya akan kesini kalau pihak rumah sakit mengabarkan operasinya membawa progress yang baik,” jawab seorang petugas administrasi yang kebetulan masuk dan meminta tanda tangan dari tim dokter entah untuk urusan apa aku tak tahu. Petugas itu sepertinya telah bertemu keluargaku dan berbincang dengan mereka.
Pernyatannya barusan membuatku bergidik meski tubuhku masih terbaring penuh perban dan dililiti selang-selang. Mengapa keluargaku sudah mempersiapkan semua biaya pemakaman secepat itu? bukankah aku di sini sedang berusaha menjemput kesembuhan dan pastinya keluargaku juga telah rela mengeluarkan biaya banyak demi sekali mencangkok paru-paruku dengan yang sehat? Sekali lagi aku ingin berontak kepada semua orang yang membicarakan kematianku termasuk dokter perempuan muda yang sempat meragukan nyawaku. Akan tetapi protes-protes itu hanya bersuara di dalam hati saja sebab meski mereka hanya membius separuh tubuhku, aku tak punya kuasa apapun atas tubuhku yang tergolek lemah di atas meja operasi. Dan entah bagaimana ceritanya, kini mereka menyelimutiku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan kain putih, sedangkan aku dapat menatap tubuhku lekat-lekat sebelum mereka memindahkannya ke ruang di mana semua tubuh manusia juga diselimuti kain yang sama.
Ruangan menjadi redup tetapi bukan karena petugas mematikan lampu. Semakin redup hingga menjadi gelap. Kali ini tanpa cahaya hingga aku tak dapat melihat tubuhku lagi. Aku ketakutan sangat. Tiada sesiapa lagi dalam suasana mencekam ini. Skejap kukatupkan kedua kelopak mataku, berharap ketika kubuka kembali mata ini akan kutemui orang-orang yang aku sayangi.
Nihil.
Setelah kedua mataku terbuka, kudapati jantungku berdegup sekencang kuda berlari. Keringat membasahi seluruh wajah. Keadaan ruangan masih gelap namun kurasakan bukan lagi di kamar jenazah melainkan kamar tidurku sendiri. Kamar yang beberapa jam lalu aku tertidur karena kelelahan.
Selang itu? Perban itu? Jahitan itu? Selimut putih itu? Semuanya hanya mimpi. Ya. Hanya mimpi buruk. Ah. Syukurlah. Tetapi meski hanya mimpi aku sangat takut dibuatnya. Kuputar badanku ke kanan menjuju tepi ranjang, meludah tiga kali dan mengucap kalimat Taawudz berkali-kali sesuai yang diajarkan guru mengajiku waktu kecil. Aku hendak mengakhiri tidurku dengan membasuh wajah di belakang. Tapi ketakutanku melebihi segalanya. Bahkan bangkit duduk pun tak kuasa. Akhirnya setelah detak jantungku kembali normal, aku tertidur lagi dengan posisi tidur kebalikan dari semula. Tak pelak pula, semua bacaan-bacaan suci kugumamkan memandu ruhku ke alam bawah sadar.
Aku tak tahu jika mimpi semalam adalah pertanda berakhirnya hidupku. Nyatanya pagi-pagi rumahku telah ramai oleh para tamu yang melayat. Akan tetapi mereka tak larut dalam suasana kesedihan akibat ditinggal mati seorang kerabatnya. Aku juga tak mengharapkan yang seperti itu. Aku hanya dapat meratap wajah-wajah mereka yang memeluk jasadku , menciumnya, atau hanya sekedar mendoakan saja. Mereka tidak melihatku yang masih berdiri di samping jasadku.
Ah. Aku sungguh tidak menyangka hidupku akan sesingkat ini. Tuhan menyuruhku tidur kembali semalam membuatku berterima kasih padaNya. Kalau tidak dengan cara seperti itu mungkin kesakitan luar biasa bagai dikuliti tujuh puluh kali yang sedang kualami membuat air mata kerabatku yang menyaksikan bercucuran tiada henti. Tuhan juga memanduku tidur dengan melantunkan bacaan-bacaan suci. Mungkin karena bacaan-bacaan itu aku tak merasakan kedatangan malaikat yang hendak menghantarkanku ke pangkuan Tuhan.
Sekali lagi aku tenang melihat prosesi pemakamanku sendiri. Tidak ada isak tangis, tidak ada yang meratapi. Semua terlihat ikhlas. Kematian mejadi sesuatu yang manis terasa, namun aneh terpikir. Bagaimana mungkin keluargaku dengan cepatnya mengikhlaskan kepergianku yang tiba-tiba. Tak ada sakit, tak ada pertanda, tak ada kecelakaan. Hanya kisi-kisi di mana aku sendiri yang merasakannya beberapa jam lalu di pembaringan yang sama dengan tempatku menjemput ajal.
Terdengar suara azan berkumandang. Semua pelayat meninggalkan kuburan. Mereka pasti akan segera mandi dan menunaikan sholat. Aku mau sholat, mau sekali. Tapi Tuhan tidak mengizinkan. Aku sudah disholatkan untuk yang terakhir kalinya karena setelah itu memang sholat bukan lagi menjadi kewajibanku. Suasana sepi mencekam. Aku kembali dalam kesunyian. Menatap lekat-lekat nisan kayu bertuliskan namaku. Seandainya mereka melihat ataupun mendengarku, ingin sekali rasanya aku minta ditemani barang sejenak. Ingin sekali aku meminta maaf sebelum semuanya berlalu dari peristirahatan terakhirku, tapi semua itu mustahil. Sungguh mustahil.
Meerdunya suara azan itu sampai juga di hatiku, menggetarkan dadaku, menuntunku mendekatinya. Semakin aku berjalan menuju suara panggilan yang tak lagi diperuntukkan untukku, semakin indah dan keras pula suaranya. Kuraba sekitar posisiku sekarang, berharap dapat mengelus sajadah dan satir pembatas. Sentuhannya terasa ganjil, tak nyata. Semakin kuraba juga semakin aneh hingga kudapati selimut lagi. Selimut itu seharusnya sudah berada di tempat pencucian pakaian. Memang selimut itu bukan kain putih yang menutupi seluruh tubuhku, tetapi selimut yang kupakai sehari-hari untuk mencegahku dari masuk angin saat tidur.
Semuanya sudah jelas sekarang. Mimpi lagi.  Rupanya suara azan tadi menyuruhku bangun dari alam buruk yang ruhku sudah enggan berada di dalamnya. Oh. Aku semakin takut. Yang barusan memang tak lebih buruk dari yang pertama, juga tak sampai membuat degup jantungku berkali lipat serta menganak-sungaikan keringat. Terulang. Tapi terulang. Aku sungguh takut. Kali ini dengan bantuan sinar fajar dan gemericik suara air wudhu dari belakang menuntunku bangkit setelah sebelumnya mengucap doa.
Siang harinya aku menceritakan pada Ibu mimpi itu. Ibu sempat khawatir saat kubilang mimpi itu berulang namun sesaat kemudian ia bertanya. “Berapa kali mimpi itu terulang?”
“Dua kali, Bu,” jawabku.
“Syukurlah,” kata Ibu.
“Mengapa?” tanyaku dengan mata menyelidik.
Ibu menjelaskan bahwa guru mengajinya semasa kacil pernah menuturkan bahwa mimpi buruk itu datangnya dari setan dan mimpi baik datangnya dari Allah. “Lagipula mimpi itu datangnya dua kali berurutan, bukan tiga kali,” lanjut Ibu.
“Memangnya ada apa kalau tiga, Bu,” tanyaku semakin penasaran.
“Sebab Nabi Ibrahim a.s. mengalami mimpi dimana beliau menyembelih putranya, Ismail a.s. tiga kali berturut-turut dalam satu malam. Dan kita semua tahu bahwa mimpi itu datangnya dari Allah melalui penjelaan dalam Al-Quran.”
Alhamdulillah. Penjelasan Ibu yang terakhir menenangkan perasaanku. Aku tidak perlu cemas lagi akan mimpi itu karena dalam tidurku semalam setan berusaha menakut-nakutiku. Aku hanya tidak berhenti berpikir adakah mimpi ini berhubungan dengan kejadian aneh semalam yang berlokasi di sekolah? Sebab beberapa hari terakhir aku tidak mengalami mimpi yang menonjol baik itu mimpi buruk maupun mimpi baik. Tiba-tiba setelah mengalami keanehan dan merasa diikuti bayangan dari bukit kemah, mimpi terkutuk itu menyerang tidur lelahku. Sungguh menguras tenaga dan perasaan. Dalam kecemasan aku hanya bisa berdoa semoga kejadian yang membayang-bayangi perasaanku segera menghindar, pudar.