Sesosok Bayang dari Bukit Kemah
Part 2
Dentingan alat-alat operasi menyibukkan telingaku yang hanya
dapat mendengar samar-samar dari balik tirai dengan mata tertutup. Bagian dada
hingga perutku mati rasa akibat suntikan bius. Yang kulihat di film-film
pembiusan dilakukan total kepada pasien yang dibedah dadanya. Beda lagi dengan
pasien yang dibedah pertnya, mereka dibius hanya pada area yang dioperasi. Beberapa
dokter mulai membedah dadaku. Biadabnya aku dapat mendengar semua percakapan mereka yang membuatku teramat
takut.
Asisten memberikan apapun yang diminta sang dokter. Mereka
mengobrak-abrik rongga dadaku serasa bermain boneka. Dari balik tirai penutup
sejujurnya aku ingin berteriak agar mereka menghentikan percakapan.
Dokter pemilik suara paling berat diantara yang lainnya itu
kurasa adalah ketua tim. Ia sepertinya sudah sangat sibuk dengan banyaknya
operasi yang sudah dijadwalkan sepekan ini.
“Aku ada jadwal operasi penyakit sirosis setelah ini. Maka
dari itu setelah pencangkokan berhasil, kalian lanjutkan operasi ini tanpa aku,
ya,” titah dokter itu kepada timnya.
“Baik, Dok,” jawab salah seorang asisten perempuan di
sebelah kiriku.
“Kita harus tetap menyelesaikan operasi ini meskipun keadaan
pasien sangat kritis,” ucapnya lagi saat mendapati garis di layar monitor tutun
drastis menuju horizontal.
“Tekanan darah terlalu rendah,” tambah seorang asisten.
“Napasnya sangat lemah. Hampir tidak ada, Dok,” asisten yang
lain menimpali.
Dan begitulah seterusnya. Keadaan genting terus terjadi dan
menambah suasana mencekam di ruang operasiku. Semua pengecekan di monitor
menunjukkan hasil kritis. Satu per satu asisten mulai panik. Semua alat
dikeluarkan satu per satu seiring gejala yang dihadapi.
“Pacu defribelator,” perintah sang dokter manakala detak
jantungku hampir menghilang.
“Tambah lagi tekanannya,” katanya lagi.
Aku tak tahu persisnya berapa jam tim bedah itu menghadapi
suasana genting di ruang operasiku. Telingaku juga panas mendengar semua
kekhawatiran mereka. Hingga beberapa saat hening pun hadir ketika sinyal-sinyal
di monitor perlahan-lahan menuju normal kembali.
“Operasi ini tetap harus diselesaikan meski kecil sekali
kemungkinan pasien ini selamat,” ujar dokter lainnya yang tampak lebih muda.
“Anda benar. Selamat atau tidaknya pasien itu urusan nanti,”
timpalnya.
“Ada berapa banyak pasien yang akan kita mandikan malam
ini?” tanya dokter muda itu lagi.
Asisten yang sejak tadi di sebelah kiriku menjawab, “Total
ada lima pasien. Mungkin bisa bertambah. Kita tunggu saja nanti.”
“Aku ragu pasien ini bukan salah satu dari mereka.
Kondisinya sanngat mengkhawatirkan meski operasi kita berhasil,” ucap seorang
dokter perempuan yang kelihatannya paling muda diantara kedua dokter laki-laki
seusai tim mereka menutup menbali tubuhku dengan jahitan disana sini.
Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan operasiku, dokter
bedah yang paling senior menyuruh salah satu asisten memberi tahu keluargaku
bahwa operasinya sudah selesai.
“Berapa orang pihak kerabat yang menunggunya di luar?”
tanyanya.
“Belum ada lagi, Dok. Sepertinya mereka menunggu pasien di
rumah,” jawabnya setelah menengok ruang tunggu dan tak ada sesiapa di sana.
“Sudah kau dapatkan nomor teleponnya?” tanyanya lagi.
“Belum, Dok,” jawabnya singkat kali ini namun membuat dokter
yang bertanya seperti jengkel.
“Bagaimana mungkin keluarga pasien tidak memperdulikannya?”
geram sang dokter.
“Beberapa jam sebelum operasi ada seorang yang mengaku kakak
pasien. Dia bilang mereka sekeluarga sudah serahkan semuanya pada yang diatas.
Mereka akan menunggunya di rumah sembari mempersiapkan segala sesuatu untuk
tamu yang mungkin akan ramai. Mereka hanya akan kesini kalau pihak rumah sakit
mengabarkan operasinya membawa progress yang baik,” jawab seorang petugas
administrasi yang kebetulan masuk dan meminta tanda tangan dari tim dokter
entah untuk urusan apa aku tak tahu. Petugas itu sepertinya telah bertemu
keluargaku dan berbincang dengan mereka.
Pernyatannya barusan membuatku bergidik meski tubuhku masih
terbaring penuh perban dan dililiti selang-selang. Mengapa keluargaku sudah
mempersiapkan semua biaya pemakaman secepat itu? bukankah aku di sini sedang
berusaha menjemput kesembuhan dan pastinya keluargaku juga telah rela
mengeluarkan biaya banyak demi sekali mencangkok paru-paruku dengan yang sehat?
Sekali lagi aku ingin berontak kepada semua orang yang membicarakan kematianku
termasuk dokter perempuan muda yang sempat meragukan nyawaku. Akan tetapi
protes-protes itu hanya bersuara di dalam hati saja sebab meski mereka hanya
membius separuh tubuhku, aku tak punya kuasa apapun atas tubuhku yang tergolek
lemah di atas meja operasi. Dan entah bagaimana ceritanya, kini mereka
menyelimutiku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan kain putih, sedangkan
aku dapat menatap tubuhku lekat-lekat sebelum mereka memindahkannya ke ruang di
mana semua tubuh manusia juga diselimuti kain yang sama.
Ruangan menjadi redup tetapi bukan karena petugas mematikan
lampu. Semakin redup hingga menjadi gelap. Kali ini tanpa cahaya hingga aku tak
dapat melihat tubuhku lagi. Aku ketakutan sangat. Tiada sesiapa lagi dalam
suasana mencekam ini. Skejap kukatupkan kedua kelopak mataku, berharap ketika
kubuka kembali mata ini akan kutemui orang-orang yang aku sayangi.
Nihil.
Setelah kedua mataku terbuka, kudapati jantungku berdegup
sekencang kuda berlari. Keringat membasahi seluruh wajah. Keadaan ruangan masih
gelap namun kurasakan bukan lagi di kamar jenazah melainkan kamar tidurku
sendiri. Kamar yang beberapa jam lalu aku tertidur karena kelelahan.
Selang itu? Perban itu? Jahitan itu? Selimut putih itu?
Semuanya hanya mimpi. Ya. Hanya mimpi buruk. Ah. Syukurlah. Tetapi meski hanya
mimpi aku sangat takut dibuatnya. Kuputar badanku ke kanan menjuju tepi
ranjang, meludah tiga kali dan mengucap kalimat Taawudz berkali-kali sesuai
yang diajarkan guru mengajiku waktu kecil. Aku hendak mengakhiri tidurku dengan
membasuh wajah di belakang. Tapi ketakutanku melebihi segalanya. Bahkan bangkit
duduk pun tak kuasa. Akhirnya setelah detak jantungku kembali normal, aku
tertidur lagi dengan posisi tidur kebalikan dari semula. Tak pelak pula, semua
bacaan-bacaan suci kugumamkan memandu ruhku ke alam bawah sadar.
Aku tak tahu jika mimpi semalam adalah pertanda berakhirnya
hidupku. Nyatanya pagi-pagi rumahku telah ramai oleh para tamu yang melayat.
Akan tetapi mereka tak larut dalam suasana kesedihan akibat ditinggal mati
seorang kerabatnya. Aku juga tak mengharapkan yang seperti itu. Aku hanya dapat
meratap wajah-wajah mereka yang memeluk jasadku , menciumnya, atau hanya
sekedar mendoakan saja. Mereka tidak melihatku yang masih berdiri di samping
jasadku.
Ah. Aku sungguh tidak menyangka hidupku akan sesingkat ini. Tuhan
menyuruhku tidur kembali semalam membuatku berterima kasih padaNya. Kalau tidak
dengan cara seperti itu mungkin kesakitan luar biasa bagai dikuliti tujuh puluh
kali yang sedang kualami membuat air mata kerabatku yang menyaksikan bercucuran
tiada henti. Tuhan juga memanduku tidur dengan melantunkan bacaan-bacaan suci.
Mungkin karena bacaan-bacaan itu aku tak merasakan kedatangan malaikat yang
hendak menghantarkanku ke pangkuan Tuhan.
Sekali lagi aku tenang melihat prosesi pemakamanku sendiri.
Tidak ada isak tangis, tidak ada yang meratapi. Semua terlihat ikhlas. Kematian
mejadi sesuatu yang manis terasa, namun aneh terpikir. Bagaimana mungkin
keluargaku dengan cepatnya mengikhlaskan kepergianku yang tiba-tiba. Tak ada
sakit, tak ada pertanda, tak ada kecelakaan. Hanya kisi-kisi di mana aku
sendiri yang merasakannya beberapa jam lalu di pembaringan yang sama dengan
tempatku menjemput ajal.
Terdengar suara azan berkumandang. Semua pelayat
meninggalkan kuburan. Mereka pasti akan segera mandi dan menunaikan sholat. Aku
mau sholat, mau sekali. Tapi Tuhan tidak mengizinkan. Aku sudah disholatkan
untuk yang terakhir kalinya karena setelah itu memang sholat bukan lagi menjadi
kewajibanku. Suasana sepi mencekam. Aku kembali dalam kesunyian. Menatap
lekat-lekat nisan kayu bertuliskan namaku. Seandainya mereka melihat ataupun
mendengarku, ingin sekali rasanya aku minta ditemani barang sejenak. Ingin
sekali aku meminta maaf sebelum semuanya berlalu dari peristirahatan
terakhirku, tapi semua itu mustahil. Sungguh mustahil.
Meerdunya suara azan itu sampai juga di hatiku, menggetarkan
dadaku, menuntunku mendekatinya. Semakin aku berjalan menuju suara panggilan
yang tak lagi diperuntukkan untukku, semakin indah dan keras pula suaranya.
Kuraba sekitar posisiku sekarang, berharap dapat mengelus sajadah dan satir
pembatas. Sentuhannya terasa ganjil, tak nyata. Semakin kuraba juga semakin
aneh hingga kudapati selimut lagi. Selimut itu seharusnya sudah berada di
tempat pencucian pakaian. Memang selimut itu bukan kain putih yang menutupi
seluruh tubuhku, tetapi selimut yang kupakai sehari-hari untuk mencegahku dari
masuk angin saat tidur.
Semuanya sudah jelas sekarang. Mimpi lagi. Rupanya suara azan tadi menyuruhku bangun
dari alam buruk yang ruhku sudah enggan berada di dalamnya. Oh. Aku semakin
takut. Yang barusan memang tak lebih buruk dari yang pertama, juga tak sampai
membuat degup jantungku berkali lipat serta menganak-sungaikan keringat.
Terulang. Tapi terulang. Aku sungguh takut. Kali ini dengan bantuan sinar fajar
dan gemericik suara air wudhu dari belakang menuntunku bangkit setelah sebelumnya
mengucap doa.
Siang harinya aku menceritakan pada Ibu mimpi itu. Ibu
sempat khawatir saat kubilang mimpi itu berulang namun sesaat kemudian ia
bertanya. “Berapa kali mimpi itu terulang?”
“Dua kali, Bu,” jawabku.
“Syukurlah,” kata Ibu.
“Mengapa?” tanyaku dengan mata menyelidik.
Ibu menjelaskan bahwa guru mengajinya semasa kacil pernah
menuturkan bahwa mimpi buruk itu datangnya dari setan dan mimpi baik datangnya
dari Allah. “Lagipula mimpi itu datangnya dua kali berurutan, bukan tiga kali,”
lanjut Ibu.
“Memangnya ada apa kalau tiga, Bu,” tanyaku semakin
penasaran.
“Sebab Nabi Ibrahim a.s. mengalami mimpi dimana beliau
menyembelih putranya, Ismail a.s. tiga kali berturut-turut dalam satu malam.
Dan kita semua tahu bahwa mimpi itu datangnya dari Allah melalui penjelaan
dalam Al-Quran.”
Alhamdulillah. Penjelasan Ibu yang terakhir menenangkan
perasaanku. Aku tidak perlu cemas lagi akan mimpi itu karena dalam tidurku
semalam setan berusaha menakut-nakutiku. Aku hanya tidak berhenti berpikir
adakah mimpi ini berhubungan dengan kejadian aneh semalam yang berlokasi di
sekolah? Sebab beberapa hari terakhir aku tidak mengalami mimpi yang menonjol
baik itu mimpi buruk maupun mimpi baik. Tiba-tiba setelah mengalami keanehan
dan merasa diikuti bayangan dari bukit kemah, mimpi terkutuk itu menyerang
tidur lelahku. Sungguh menguras tenaga dan perasaan. Dalam kecemasan aku hanya
bisa berdoa semoga kejadian yang membayang-bayangi perasaanku segera
menghindar, pudar.