Kamis, Agustus 25, 2016

bidadari menjemur kolor



Bidadari Menjemur Kolor

Cuaca siang hari pada pertengahan bulan februari amatlah terik. Saking panasnya, ketujuh bidadari ingin mangkir lagi dari tugas mencuci tirai kerajaan. Padahal tugas tersebut harusnya sudah dilaksanakan sejak dua hari yang lalu. Apabila hari ini mereka menunda lagi pekerjaan bisa jadi sang raja murka karena  istana terpapar sinar matahari dan tertiup angin akibat tidak dipasang tirai. Akhirnya dengan berat hati ketujuh bidadari cantik yang masing-masing bernama Sirius, Kinsei, Cellestia, Capella, Vega, Nadhir, dan Zenith turun ke sungai Milky untuk mencuci tirai istana.
Seperti biasa, Capella sebagai yang paling tua mengatur keenam bidadari lainnya layaknya seorang bos. Yang lain sudah paham dengan sifatnya. Di setiap kesempatan ia selalu berlagak seperti itu, menyuruh dan menyuruh. Lain halnya dengan Cellestia. Ia terkenal paling pendiam dan paling penurut diantara semua bidadari penghuni istana sampai-sampai apapun yang diperintah Capella selalu diturutinya. Sementara si kembar Zenith dan Nadhir selalu saja bertingkah kekanak-kanakan. Selalu saja mereka menjadi biang onar setiap melaksanakan tugas istana. Dan sebagai sahabat Capella yang paling setia, Vega paling hobi memarahi mereka berdua. Bagaimana dengan Kinsei dan Sirius?

Ditengah asiknya mencuci tirai yang lebar-lebar itu, air sungai yang tenang menjadi terombang-ambing kesana kemari akibat tirai ditarik sana tarik sini. Tanpa disadari pakaian bawah Kinsei yang sebenarnya sudah sedikit digulung mulai basah. Sesuatu yang aneh baru terasa ketika air mulai membasahi celana kolornya. Ia terkejut dan berbisik pada Sirius yang berada paling dekat dengannya, “Sirius, gawat! Kolorku basah.”

“Apa!” Sirius pun melotot terkejut.

“Bagaimana ini?” tanya Kinsei panik.

“Ah, aku ada ide!” ucap Sirius sembari membunyikan suara dari jari tengah dan jempolnya.

Sebagai bidadari penghuni Kerajaan Akasa, celana kolor setengah tiang adalah perhatian nomor satu saat mereka turun ke bumi. Apabila celana kolor sang bidadari sampai basah sudah dipastikan mereka tak akan bisa kembali ke istana sampai celana kolornya kembali kering. Dengan nada cemas Kinsei kembali menanyai Sirius, “Jauh sekali kita berjalan. Kita akan jemur kolorku dimana?”

Sebagai bidadari yang paling cerdik dan banyak akal tentunya Sirius akan mencari tempat yang aman untuk menjemur kolor sekaligus aman dari jangkauan teman-temannya agar mereka bisa bersantai tanpa harus panas-panasan mencuci tirai. “Nah, disini!” Seru Sirius setelah menemukan batu besar di tepi sungai. Sementara menunggui kolor yang dijemur, mereka berdua tiduran di akar pohon sambil bernyanyi.

Setengah jam berlalu mereka tampak tenang tanpa gangguan, tapi setengah jam berikutnya ada rombongan pemancing bergerak menuju pohon yang mereka jadikan tempat bersantai. Tentunya mereka berdua bergegas meninggalkan tempat itu sebelum ketahuan manusia bahwa mereka bukan penduduk bumi.

“Kalian dari mana saja?” tanya Capella sekembalinya mereka dari ngabur.

“Ka... ka... kami hanya...” ucap Kinsei terbata-bata. 

“Kami hanya mencari kenang-kenangan dari bumi,” jawab Sirius sekenanya sembari menunjukkan sebuah batu sungai yang bentuknya mirip telur penyu kepada saudari-saudarinya. Kebetulan saat rombongan pemancing datang, ia tengah memainkan batu itu. “Konon katanya kalau kita mengambil batu dari sungai ini, suatu saat kita akan bisa kembali ke tempat ini dengan penuh keberuntungan,” lanjutnya mengarang.

Tentu saja bidadari yang lain percaya dengan cerita ngawur yang dibuat Sirius kecuali Capella yang kesal karena pekerjaan menjadi lebih lama dengan menghilangnya mereka. “Gurauanmu tidak lucu, Sirius. Ayo kembali mencuci agar kita bisa pulang tepat waktu,” ucapnya.

Sementara itu di batu tempat Kinsei menjemur kolor, Seorang pemancing yang terkesan memisahkan diri dari teman-temannya mendapati kailnya bergerak-gerak pertanda ada ikan meghampiri mata pancingnya. Dengan mata berbinar digulungnya senar kail yang terasa berat. Ia sangat senang karena dalam bayangannya ikan besar akan sangat lezat bila dibakar atau dimasak pedas.

“Loh! Apa ini?” nyatanya ia keheranan setelah mendapati sesuatu yang menyangkut di mata pancingnya ternyata bukan ikan, melainkan sebuah kolor. “Kolor?”. Setengah hati ia  melepas kolor hitam itu dari mata pancingnya. Sesaat sebelum ia hendak melempar kolor tersebut, ia mendapati tulisan dengan bordiran benang emas di ujungnya. “A-ka-sa”. Begitu ejanya. Sejenak ia tertegun dan bergumam, “Hem, sepertinya aku pernah mendengar nama ini,” sebelum otaknya berpikir macam-macam, cepat-cepat ia sembunyikan kolor itu dan berniat membawanya pulang. Ia berharap suatu saat dapat mengembalikan benda yang mungkin berharga itu kepada pemiliknya.

Matahari sudah tak seterik beberapa jam lalu. Tugas mencuci tirai pun selesai sudah. Kini ketujuh bidadari harus segera bersiap meninggalkan sungai untuk kembali ke istana. Kinsei baru tersadar akan jemuran kolornya saat Capella mengomandoi pulang. “Sirius. Astaga! Kolorku?” 

Sirius yang berusaha menahan panik kemudian berpikir sejenak. “Kinsei, kita jujur saja kepada mereka. Minta waktu sebentar untuk mengambilnya. Aku yakin pasti sudah kering.”

Beberapa saat kemudian Kinsei kembali dengan wajah panik dan nada bicara yang tak kalah panik.
“Apa!” keenam saudarinya serentak terkejut atas hilangnya kolor Kinsei. Bagaimana mungkin seorang bidadari akan kembali ke istana di atas awan tanpa senjata terbangnya. Hal ini sangat fatal akibatnya. Bahkan bila dalam waktu 33 hari kolornya belum juga ditemukan, sang bidadari tak mungkin bisa kembali ke istana selama-lamanya dan akan menjadi manusia biasa layaknya penduduk bumi.

“Kinsei, kita tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Zenith dengan sedihnya.

“Matahari juga sudah mulai tenggelam. Kita tidak punya banyak waktu untuk mencarinya,” Nadhir menimpali.

“Sirius. Bagaimana ini?” tanya Vega kepada si cerdik. Barangkali si cerdik satu ini menemukan ide cemerlang.

“Aku tidak bisa berpikir di saat genting, kawan-kawan,” sesalnya.

“Ah. Kita tidak punya waktu lagi. Kita bisa jatuh di udara kalau sampai matahari tenggelam sebelum kita tiba di istana!” seru Capella. 

Segera keenam bidadari itu mengepakkan selendangnya bersiap-siap untuk terbang. Sementara itu Kinsei menangis sejadi-jadinya sambil menahan kaki Sirius. “Aaaa! Aku takut sendirian di sini. Aku tidak punya sapa-siapa. Kalian jahat sekali!. HU HU HU.”

GUBRAK! Sirius jatuh tersungkur diatas tanah karena keseimbangannya terganggu. Vega yang melihatnya segera menghampiri dan menarik Sirius agar terbang kembali. “Maaf Kinsei. Kita akan meminta bantuan dari pihak istana,” ujarnya menenangkan.

Kinsei kembali larut dalam kesedihannya di tepi Sungai Milky selama berhari-hari hingga satu bulan lamanya.

Dari istana seberang, sang pemuda yang menyimpan kolor hitam itu tiba-tiba mendapati sebuah ingatan. “Ash. Aku tahu nama ini. Akasa,” sebutnya. “Aku pernah berkunjung ke istana itu waktu kecil. Aku harus mengembalikan benda aneh ini,” pikirnya.

Dengan mengendarai Pegasi, kuda terbang sekaligus kawan setianya, sampailah ia di Akasa. “Pangeran Aldebaran!” sambut raja ketika pangeran telah sampai di singgasana sang raja.

Dan begitulah seterusnya sang pangeran pemilik pantat bulat itu menceritakan kronologi kejadiannya sampai datang  ingatan yang membuatnya berniat mengembalikan benda berharga itu.
“Pangeran Aldebaran, anak kawan lamaku. Aku sungguh bangga dengan sikapmu,” puji Sang Raja. 

“Turunlah ke bumi dan temukan Kinsei. Masih ada waktu tiga hari untuk kau menemukannya. Bawa ia kembali dan akan kujodohkan engkau dengannya sebagai rasa terima kasihku atas kebaikanmu,” titah Sang Raja.

Ditemani Pegasi, Aldebaran pun mencari si pemilik kolor mulai dari tempat ia menemukannya. Tepat pada hari ketiga ia menemukan Kinsei yang sedang dilanda  putus asa di tengah hutan lebat. Singkat cerita keduanya pun kembali ke istana menjelang matahari terbenam.

“Ayahanda. Ampun. Aku tidak mau menikah dengan Pangeran Aldebaran,” ucap Kisei memohon.
“Loh! Ada apa gerangan, Ananda?” Sang Raja heran.

Dengan sedikit perasaan takut, Kinsei menjawab, “Ampun Ayahanda. Pangeran Aldebaran memiliki pantat bulat. Jauh lebih seksi dari bidadari manapun. Aku tidak mau, Ayah. Aku malu.”

“Ananda! Ayah kecewa denganmu. Bagaimana mungkin seorang raja menelan ludahnya sendiri. Lagipula Ayah tidak habis pikir. Jika bukan karena kebaikannya, mana mungkin kau bisa kembali lagi ke istana?” katanya geram. “Pokoknya pernikahanmu dengan Pangeran Aldebaran harus tetap dilangsungkan! Semua penguni istana sudah diberi tahu dan semua rakyat telah diundang.”

“Ayah!” seru Kinsei saat raja beranjak dari singgasananya.

“Ini perintah raja,” jawabnya sembari berlalu.

Bagaimanapun juga pernikahan itu harus tetap berlangsung seperti titah raja beberapa hari yang lalu. Semua penghuni istana merasa bahagia, akan tetapi pada hari itu Kinsei menghilang entah kemana.