Bidadari Menjemur Kolor
Cuaca siang hari pada pertengahan bulan februari amatlah
terik. Saking panasnya, ketujuh bidadari ingin mangkir lagi dari tugas mencuci
tirai kerajaan. Padahal tugas tersebut harusnya sudah dilaksanakan sejak dua
hari yang lalu. Apabila hari ini mereka menunda lagi pekerjaan bisa jadi sang
raja murka karena istana terpapar sinar
matahari dan tertiup angin akibat tidak dipasang tirai. Akhirnya dengan berat
hati ketujuh bidadari cantik yang masing-masing bernama Sirius, Kinsei,
Cellestia, Capella, Vega, Nadhir, dan Zenith turun ke sungai Milky untuk
mencuci tirai istana.
Seperti biasa, Capella sebagai yang paling tua mengatur
keenam bidadari lainnya layaknya seorang bos. Yang lain sudah paham dengan
sifatnya. Di setiap kesempatan ia selalu berlagak seperti itu, menyuruh dan
menyuruh. Lain halnya dengan Cellestia. Ia terkenal paling pendiam dan paling
penurut diantara semua bidadari penghuni istana sampai-sampai apapun yang
diperintah Capella selalu diturutinya. Sementara si kembar Zenith dan Nadhir
selalu saja bertingkah kekanak-kanakan. Selalu saja mereka menjadi biang onar
setiap melaksanakan tugas istana. Dan sebagai sahabat Capella yang paling
setia, Vega paling hobi memarahi mereka berdua. Bagaimana dengan Kinsei dan
Sirius?
Ditengah asiknya mencuci tirai yang lebar-lebar itu, air
sungai yang tenang menjadi terombang-ambing kesana kemari akibat tirai ditarik
sana tarik sini. Tanpa disadari pakaian bawah Kinsei yang sebenarnya sudah
sedikit digulung mulai basah. Sesuatu yang aneh baru terasa ketika air mulai
membasahi celana kolornya. Ia terkejut dan berbisik pada Sirius yang berada
paling dekat dengannya, “Sirius, gawat! Kolorku basah.”
“Apa!” Sirius pun melotot terkejut.
“Bagaimana ini?” tanya Kinsei panik.
“Ah, aku ada ide!” ucap Sirius sembari membunyikan suara
dari jari tengah dan jempolnya.
Sebagai bidadari penghuni Kerajaan Akasa, celana kolor
setengah tiang adalah perhatian nomor satu saat mereka turun ke bumi. Apabila
celana kolor sang bidadari sampai basah sudah dipastikan mereka tak akan bisa
kembali ke istana sampai celana kolornya kembali kering. Dengan nada cemas
Kinsei kembali menanyai Sirius, “Jauh sekali kita berjalan. Kita akan jemur
kolorku dimana?”
Sebagai bidadari yang paling cerdik dan banyak akal tentunya
Sirius akan mencari tempat yang aman untuk menjemur kolor sekaligus aman dari
jangkauan teman-temannya agar mereka bisa bersantai tanpa harus panas-panasan
mencuci tirai. “Nah, disini!” Seru Sirius setelah menemukan batu besar di tepi
sungai. Sementara menunggui kolor yang dijemur, mereka berdua tiduran di akar
pohon sambil bernyanyi.
Setengah jam berlalu mereka tampak tenang tanpa gangguan,
tapi setengah jam berikutnya ada rombongan pemancing bergerak menuju pohon yang
mereka jadikan tempat bersantai. Tentunya mereka berdua bergegas meninggalkan
tempat itu sebelum ketahuan manusia bahwa mereka bukan penduduk bumi.
“Kalian dari mana saja?” tanya Capella sekembalinya mereka
dari ngabur.
“Ka... ka... kami hanya...” ucap Kinsei terbata-bata.
“Kami hanya mencari kenang-kenangan dari bumi,” jawab Sirius
sekenanya sembari menunjukkan sebuah batu sungai yang bentuknya mirip telur
penyu kepada saudari-saudarinya. Kebetulan saat rombongan pemancing datang, ia
tengah memainkan batu itu. “Konon katanya kalau kita mengambil batu dari sungai
ini, suatu saat kita akan bisa kembali ke tempat ini dengan penuh
keberuntungan,” lanjutnya mengarang.
Tentu saja bidadari yang lain percaya dengan cerita ngawur
yang dibuat Sirius kecuali Capella yang kesal karena pekerjaan menjadi lebih
lama dengan menghilangnya mereka. “Gurauanmu tidak lucu, Sirius. Ayo kembali
mencuci agar kita bisa pulang tepat waktu,” ucapnya.
Sementara itu di batu tempat Kinsei menjemur kolor, Seorang
pemancing yang terkesan memisahkan diri dari teman-temannya mendapati kailnya
bergerak-gerak pertanda ada ikan meghampiri mata pancingnya. Dengan mata
berbinar digulungnya senar kail yang terasa berat. Ia sangat senang karena
dalam bayangannya ikan besar akan sangat lezat bila dibakar atau dimasak pedas.
“Loh! Apa ini?” nyatanya ia keheranan setelah mendapati
sesuatu yang menyangkut di mata pancingnya ternyata bukan ikan, melainkan
sebuah kolor. “Kolor?”. Setengah hati ia melepas kolor hitam itu dari mata pancingnya.
Sesaat sebelum ia hendak melempar kolor tersebut, ia mendapati tulisan dengan
bordiran benang emas di ujungnya. “A-ka-sa”. Begitu ejanya. Sejenak ia tertegun
dan bergumam, “Hem, sepertinya aku pernah mendengar nama ini,” sebelum otaknya
berpikir macam-macam, cepat-cepat ia sembunyikan kolor itu dan berniat
membawanya pulang. Ia berharap suatu saat dapat mengembalikan benda yang
mungkin berharga itu kepada pemiliknya.
Matahari sudah tak seterik beberapa jam lalu. Tugas mencuci
tirai pun selesai sudah. Kini ketujuh bidadari harus segera bersiap
meninggalkan sungai untuk kembali ke istana. Kinsei baru tersadar akan jemuran
kolornya saat Capella mengomandoi pulang. “Sirius. Astaga! Kolorku?”
Sirius yang berusaha menahan panik kemudian berpikir
sejenak. “Kinsei, kita jujur saja kepada mereka. Minta waktu sebentar untuk
mengambilnya. Aku yakin pasti sudah kering.”
Beberapa saat kemudian Kinsei kembali dengan wajah panik dan
nada bicara yang tak kalah panik.
“Apa!” keenam saudarinya serentak terkejut atas hilangnya
kolor Kinsei. Bagaimana mungkin seorang bidadari akan kembali ke istana di atas
awan tanpa senjata terbangnya. Hal ini sangat fatal akibatnya. Bahkan bila
dalam waktu 33 hari kolornya belum juga ditemukan, sang bidadari tak mungkin
bisa kembali ke istana selama-lamanya dan akan menjadi manusia biasa layaknya
penduduk bumi.
“Kinsei, kita tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Zenith
dengan sedihnya.
“Matahari juga sudah mulai tenggelam. Kita tidak punya
banyak waktu untuk mencarinya,” Nadhir menimpali.
“Sirius. Bagaimana ini?” tanya Vega kepada si cerdik.
Barangkali si cerdik satu ini menemukan ide cemerlang.
“Aku tidak bisa berpikir di saat genting, kawan-kawan,”
sesalnya.
“Ah. Kita tidak punya waktu lagi. Kita bisa jatuh di udara
kalau sampai matahari tenggelam sebelum kita tiba di istana!” seru Capella.
Segera keenam bidadari itu mengepakkan selendangnya
bersiap-siap untuk terbang. Sementara itu Kinsei menangis sejadi-jadinya sambil
menahan kaki Sirius. “Aaaa! Aku takut sendirian di sini. Aku tidak punya
sapa-siapa. Kalian jahat sekali!. HU HU HU.”
GUBRAK! Sirius jatuh tersungkur diatas tanah karena
keseimbangannya terganggu. Vega yang melihatnya segera menghampiri dan menarik
Sirius agar terbang kembali. “Maaf Kinsei. Kita akan meminta bantuan dari pihak
istana,” ujarnya menenangkan.
Kinsei kembali larut dalam kesedihannya di tepi Sungai Milky
selama berhari-hari hingga satu bulan lamanya.
Dari istana seberang, sang pemuda yang menyimpan kolor hitam
itu tiba-tiba mendapati sebuah ingatan. “Ash. Aku tahu nama ini. Akasa,”
sebutnya. “Aku pernah berkunjung ke istana itu waktu kecil. Aku harus
mengembalikan benda aneh ini,” pikirnya.
Dengan mengendarai Pegasi, kuda terbang sekaligus kawan
setianya, sampailah ia di Akasa. “Pangeran Aldebaran!” sambut raja ketika
pangeran telah sampai di singgasana sang raja.
Dan begitulah seterusnya sang pangeran pemilik pantat bulat
itu menceritakan kronologi kejadiannya sampai datang ingatan yang membuatnya berniat mengembalikan
benda berharga itu.
“Pangeran Aldebaran, anak kawan lamaku. Aku sungguh bangga
dengan sikapmu,” puji Sang Raja.
“Turunlah ke bumi dan temukan Kinsei. Masih
ada waktu tiga hari untuk kau menemukannya. Bawa ia kembali dan akan kujodohkan
engkau dengannya sebagai rasa terima kasihku atas kebaikanmu,” titah Sang Raja.
Ditemani Pegasi, Aldebaran pun mencari si pemilik kolor
mulai dari tempat ia menemukannya. Tepat pada hari ketiga ia menemukan Kinsei
yang sedang dilanda putus asa di tengah
hutan lebat. Singkat cerita keduanya pun kembali ke istana menjelang matahari
terbenam.
“Ayahanda. Ampun. Aku tidak mau menikah dengan Pangeran Aldebaran,”
ucap Kisei memohon.
“Loh! Ada apa gerangan, Ananda?” Sang Raja heran.
Dengan sedikit perasaan takut, Kinsei menjawab, “Ampun
Ayahanda. Pangeran Aldebaran memiliki pantat bulat. Jauh lebih seksi dari
bidadari manapun. Aku tidak mau, Ayah. Aku malu.”
“Ananda! Ayah kecewa denganmu. Bagaimana mungkin seorang
raja menelan ludahnya sendiri. Lagipula Ayah tidak habis pikir. Jika bukan
karena kebaikannya, mana mungkin kau bisa kembali lagi ke istana?” katanya
geram. “Pokoknya pernikahanmu dengan Pangeran Aldebaran harus tetap
dilangsungkan! Semua penguni istana sudah diberi tahu dan semua rakyat telah
diundang.”
“Ayah!” seru Kinsei saat raja beranjak dari singgasananya.
“Ini perintah raja,” jawabnya sembari berlalu.
Bagaimanapun juga pernikahan itu harus tetap berlangsung
seperti titah raja beberapa hari yang lalu. Semua penghuni istana merasa
bahagia, akan tetapi pada hari itu Kinsei menghilang entah kemana.