Antares keluar dengan wajah masam dari ruang pasien di mana
Bella dirawat. Pria berpostur atletis itu mengambil posisi duduk berjarak 2
bangku dari tempat Carina duduk. Suasana sepi ruang tunggu siang itu membuatnya
ingin sekali memaki perempuan berjas
putih di sebelahnya. Tapi ia cukup pintar membaca situasi di tempat biasa dan
tempat umum.
“Jangan sampai Bella tahu apa yang terjadi sebenarnya,” ujar
Antares mengawali pembicaraan.
Carina yang agak gugup menunggu kemajuan kondisi Bella hanya
diam. Baginya kesembuhan Bella adalah yang utama. Ia tak memikirkan apapun
selain itu.
“Hai Dokter. Apa kau
tahu maksudku?” kali ini Antares sedikit menaikkan nada bicaranya.
“Tentu. Karena aku adalah dokternya. Aku tahu ia mungkin
akan mengalami schok berat atas kejadian ini,” jawabnya penuh wibawa.
Mendengar jawaban itu, hasrat Antares untuk memaki perempuan
di sebelahnya semakin tinggi.
“Kau hanya menganggap dia sebagai pasienmu. Apa
kau memang sudah lupa dia itu siapamu?!”
Carina yang mulai khawatir Antares akan semakin naik pitam
mencoba memberikan kode agar Antares mengikutinya. Ia bermaksud mengajak
Antares bicara di luar. Antares hanya mendehem kesal sembari mengekor beberapa
meter di belakangnya.
Di atap rumah sakit yang hanya berupa lantai datar karena
sedang direnovasi, Antares kembali membuka mulut dengan suasana hati dan
pikiran yang semakin rumit.
“Rupanya kalian benar-benar telah kehilangan kontak selama 7
tahun. Aku tak tahu apakah Bella masih bisa
menerimamu sebagai kakaknya jika sampai ia tahu siapa yang menabraknya,”
“Akan kupastikan itu tidak terjadi,” ujar Carina dengan nada
lirih dan nampak tidak yakin. “Besok Hamal akan mengunjungi Bella. Ia akan
memastikan kemajuan kondisi Bella dan ia sudah berjanji akan membayar semua biaya
pengobatannya,” lanjutnya.
“Memang hal itu tidak boleh terjadi!” Antares semakin tak
sabar memaki Carina. “Bukan masalah itu! Dia memang harus bertanggung jawab
penuh. Dan katakan pada pacarmu itu jangan sampai dia menunjukkan batang
hidungnya di hadapan Bella. Jika itu sampai terjadi aku akan mematahkan
lehernya!”
Carina mencoba tetap tenang menghadapi kemarahan pria yan
tengah berhadapan dengannya. “Aku tidak tahu apa kesalahanku sehingga kau bersikar sekasar itu terhadapku.”
Inilah saat yang tepat bagi Antares untuk mengungkapkan
alasan kemarahannya pada dokter yang menangani kasus Bella.
“Jika saja kau laki-laki sudah kuhajar dan kuhabisi kau dari
tadi,” umpatnya. “Kesalahanmu yang pertama, kau menghilang dari hidup Bella
meskipun kau tahu kaulah satu-satunya orang yang ia percaya untuk berkeluh
kesah. Kedua, bahkan kau tidak bisa membaca pikirannya. Dia cemburu dengan
pacarmu setelah kau kenalkan dia. Ketiga, kau tidak pernah mencoba menghubungi
Bella yang terlanjur kecewa. Dan sekarang kau masih ingin pacarmu menemui
Bella,”
Antares menghela napas panjang untuk sekedar menurunkan nada
bicaranya, tapi ia tak sanggup menguasai emosinya. “Kehadirannya hanya akan
memperburuk situasi dan memperparah kondisi Bella!”
Demi mendengar pernyataan Antares, Carina menundukkan
kepala, mencoba memahami perasaan Antares. “Apakah Bella semarah itu pada. . .”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Antares memotong
dengan kasar, “Lebih marah dari kemarahanku padamu. Perasaan atas kehilangan
yang ia pendam bertahun-tahun ditambah kecemburuan. Diabaikan. . .”
“Pergi! Pergi dari hadapanku. Pergi!”
Mantan atlet tae kwon do terkenal di sebuah kampus yang tak
kalah terkenalnya baru kali ini tak bisa menguasai emosinya karena permasalahan
sahabatnya yang serasa jadi miliknya juga. Ia paham betul bagaimana perasaan
sahabat karibnya. Antares selalu menjadi tempat terpercaya bagi Bella untuk
menumpahkan semua keluh kesahnya. Baginya, telinga Antares tak tergantikan. Ia
tak hanya memberikan telinga yang siap menjadi pendengar setia kapan saja, tapi
juga hati dan perasaannya yang membuat Bella membaik setelah bercerita
kepadanya.
Rupanya teriakan Antares memancing rasa penasaran Pictor
yang sedang mencari toilet di lantai atas sehabis menemui klien bisnisnya. Di
teling Pictor, suara itu bukanlah sesuatu yang asing. “Pasti milik seseorang
yang kukenali,” pikirnya.
“Oh, jadi begitu?” tanya Pictor setelah mendengar penjelasan
Antares. “Jadi Hamal yang baru saja kutemui adalah pacar dokter yang berpapasan
denganku? Tapi Bella tidak pernah menceritakan padaku kalau dokter itu adalah.
. .”
Yang diajak bicara manggut-manggut mengiyakan kebingungan
Pictor. “Aku lebih dulu mengenalnya. Tapi hanya kau yang sanggup menggantikan
posisi dokter itu di hatinya. Jadi. . . Sembuhkan Bella dan jangan biarkan
Hamal mengunjunginya. Aku mohon, kakak,” pinta Antares seraya bertolak dari
atap rumah sakit. Meninggalkan Pictor dengan sejuta pertanyaan di benaknya.
Baru kali ini Antares meminta bantuan kepadanya setelah
pertemanan baik mereka yang telah berlangsung cukup lama. Biasanya dirinyalah
yang seringkali meminta bantuan Antares. Dan baru kali ini pula ia memanggilnya
dengan sebutan kakak. Tapi Pictor sedang tak mau memikirkannya. Ia hanya sedang
mencari cara untuk membantu teman baiknya.
Beberapa jam kemudian Pictor datang ke kamar pasien di mana
hanya ada Bella yang sedang tergolek dalam balutan selang-selang di tubuhnya
dan pria dingin di sebelahnya. Ia berjalan sangat pelan dengan tatapann sayu,
sama sekali berbeda saat mereka berdua berdialog di atap rumah sakit. “Aku
sudah pastikan besok tak akan ada kunjungan asing,” ucapnya lirih.
“Terima kasih. Aku tahu kau akan melakukannya untuk Bella,”
sambut Antares dengan wajah sumringah. Raut wajahnya tak terlihat gusar dan
penuh amarah seperti bebrapa jam lalu.
Suasana hati kedua pria tangguh itu kini sama sekali
berbanding terbalik dengan beberapa jam lalu saat mereka bertemu di atap rumah
sakit. Antares berubah menjadi riang karena kabar baik yang Pictor bawa. Tapi
ada apa dengan Pictor? Hanya itu yang melintas di pikiran Antares sejak dia
memasuki ruang pasien.
Sebelum sempat menanyakan hal itu, Pictor sudah kembali
membuka mulutnya tetapi dengan mata yang semakin sayu. “Tapi untuk permintaanmu
yang lain, harusnya aku yang memohon padamu,” “Sembuhkan Bella. Jaga dia
seperti aku menjaganya. Dia tulus mencintaimu,” lanjutnya.
“Kau ini bicara apa?” selidik Antares dengan dahi
berkerut-kerut. Ia merasa bahwa Pictor penuh degan teka-teki kali ini.
Pictor yang merasa sangat lemah sore itu berkata seraya memunggungi
Antares beberapa meter, menahan perasaannya yang kalut. “Di sini, aku hanya menjalankan
tugasku untuk belajar. Dan beberapa saat lalu Bella sudah merayakan kelulusanku
bersama-sama. Janjiku padanya juga sudah kutepati. Sekarang dia benar-benar
telah sembuh dari phobia anehnya. Jadi. . . kumohon, saat Bella membuka matanya
nanti, katakan padanya kakak tidak akan
sungguh-sungguh meninggalkan adiknya,” tuturnya seraya berbalik badan melangkah
ke tepi ranjang Bella.
Antares yang menjadi saksi sahabatnya akan ditinggal pergi
kakaknya lagi untuk yang kedua kali menjadi bangkit kembali emosi. Rasanya
ingin sekali berlutut di kaki Pictor agar jangan pergi secepat itu. Perasaan
kalut yang dialaminya saat ini menjadi ketakutannya saat Bella membuka mata
nanti dan menayakan semua yang telah terjadi. Tak terasa cairan hangat
menerabas keluar dari sudut mata pria tangguh yang sedang menggenggam tangan
sahabatnya erat. Ia menatap pria jangkung itu lekat-lekat. Sinar matanya
mengatakan sekali lagi untuk tetap tinggal.
“Kau adik yang kuat. Kau akan melawan sisa rasa takutmu
dengan pertahanan yang telah kuajarkan. Aku tidak akan pergi menghilang begitu
saja. sudah kubisikkan pada malaikat di samping kananmu untuk selalu menjaga
dan melindungimu. Dia akan membantumu mengalahkan segala ketakutanmu.
Percayalah. Malaikat itu tengah menggenggam tanganmu. Dia tidak akan tega
melihatmu menderita karena cintanya juga begitu tulus padamu,” kecupan di
kening Bella menjadi penutup kalimatnya saat hendak beranjak. Ia memeluk
seorang pria yang ia sebut malaikat di telinga adiknya dan memberi tepukan
menguatkan. Setelah itu, ia buru-buru keluar dari ruangan sebelum Antares
sempat melihat cairan hangat menyembul dari balik mata sayunya.
Sementara itu diluar pintu ia mendapati seorang wanita
mengenakan seragam serba putih tengah menelungkupkan wajah diatas kedua
lututnya. Pictor dengan cepat mengetahui dokter itu telah mendengar semua
pembicaraannya. “Sembuhkan adikku. Jaga
dia seperti aku menjaganya,”
Sebuah kalimat permohonan singkat dan sama persis seperti
yang ia ucapkan kepada sahabatnya baru saja ia lontarkan kepada wanita yang
telah ia ketahui siapa sebenarnya ia dibalik jas putihnya.
Carina belum berani memasuki ruang pasien yang ditanganinya.
Ia tidak sanggup mempertangungjawabkan kelalaiannya di masa lalu.