Selasa, November 15, 2016

SKENARIO TANPA RANCANGAN



Antares keluar dengan wajah masam dari ruang pasien di mana Bella dirawat. Pria berpostur atletis itu mengambil posisi duduk berjarak 2 bangku dari tempat Carina duduk. Suasana sepi ruang tunggu siang itu membuatnya ingin sekali memaki  perempuan berjas putih di sebelahnya. Tapi ia cukup pintar membaca situasi di tempat biasa dan tempat umum. 

“Jangan sampai Bella tahu apa yang terjadi sebenarnya,” ujar Antares mengawali pembicaraan.

Carina yang agak gugup menunggu kemajuan kondisi Bella hanya diam. Baginya kesembuhan Bella adalah yang utama. Ia tak memikirkan apapun selain itu.

“Hai Dokter.  Apa kau tahu maksudku?” kali ini Antares sedikit menaikkan nada bicaranya.
“Tentu. Karena aku adalah dokternya. Aku tahu ia mungkin akan mengalami schok berat atas kejadian ini,” jawabnya penuh wibawa.

Mendengar jawaban itu, hasrat Antares untuk memaki perempuan di sebelahnya semakin tinggi. 

“Kau hanya menganggap dia sebagai pasienmu. Apa kau memang sudah lupa dia itu siapamu?!”
Carina yang mulai khawatir Antares akan semakin naik pitam mencoba memberikan kode agar Antares mengikutinya. Ia bermaksud mengajak Antares bicara di luar. Antares hanya mendehem kesal sembari mengekor beberapa meter di belakangnya.

Di atap rumah sakit yang hanya berupa lantai datar karena sedang direnovasi, Antares kembali membuka mulut dengan suasana hati dan pikiran yang semakin rumit.

“Rupanya kalian benar-benar telah kehilangan kontak selama 7 tahun. Aku tak tahu apakah Bella masih bisa  menerimamu sebagai kakaknya jika sampai ia tahu siapa yang menabraknya,”

“Akan kupastikan itu tidak terjadi,” ujar Carina dengan nada lirih dan nampak tidak yakin. “Besok Hamal akan mengunjungi Bella. Ia akan memastikan kemajuan kondisi Bella dan ia sudah berjanji akan membayar semua biaya pengobatannya,” lanjutnya.

“Memang hal itu tidak boleh terjadi!” Antares semakin tak sabar memaki Carina. “Bukan masalah itu! Dia memang harus bertanggung jawab penuh. Dan katakan pada pacarmu itu jangan sampai dia menunjukkan batang hidungnya di hadapan Bella. Jika itu sampai terjadi aku akan mematahkan lehernya!”

Carina mencoba tetap tenang menghadapi kemarahan pria yan tengah berhadapan dengannya. “Aku tidak tahu apa kesalahanku sehingga  kau bersikar sekasar itu terhadapku.”

Inilah saat yang tepat bagi Antares untuk mengungkapkan alasan kemarahannya pada dokter yang menangani kasus Bella.

“Jika saja kau laki-laki sudah kuhajar dan kuhabisi kau dari tadi,” umpatnya. “Kesalahanmu yang pertama, kau menghilang dari hidup Bella meskipun kau tahu kaulah satu-satunya orang yang ia percaya untuk berkeluh kesah. Kedua, bahkan kau tidak bisa membaca pikirannya. Dia cemburu dengan pacarmu setelah kau kenalkan dia. Ketiga, kau tidak pernah mencoba menghubungi Bella yang terlanjur kecewa. Dan sekarang kau masih ingin pacarmu menemui Bella,”

Antares menghela napas panjang untuk sekedar menurunkan nada bicaranya, tapi ia tak sanggup menguasai emosinya. “Kehadirannya hanya akan memperburuk situasi dan memperparah kondisi Bella!”

Demi mendengar pernyataan Antares, Carina menundukkan kepala, mencoba memahami perasaan Antares. “Apakah Bella semarah itu pada. . .”

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Antares memotong dengan kasar, “Lebih marah dari kemarahanku padamu. Perasaan atas kehilangan yang ia pendam bertahun-tahun ditambah kecemburuan. Diabaikan. . .”

“Pergi! Pergi dari hadapanku. Pergi!”

Mantan atlet tae kwon do terkenal di sebuah kampus yang tak kalah terkenalnya baru kali ini tak bisa menguasai emosinya karena permasalahan sahabatnya yang serasa jadi miliknya juga. Ia paham betul bagaimana perasaan sahabat karibnya. Antares selalu menjadi tempat terpercaya bagi Bella untuk menumpahkan semua keluh kesahnya. Baginya, telinga Antares tak tergantikan. Ia tak hanya memberikan telinga yang siap menjadi pendengar setia kapan saja, tapi juga hati dan perasaannya yang membuat Bella membaik setelah bercerita kepadanya.

Rupanya teriakan Antares memancing rasa penasaran Pictor yang sedang mencari toilet di lantai atas sehabis menemui klien bisnisnya. Di teling Pictor, suara itu bukanlah sesuatu yang asing. “Pasti milik seseorang yang kukenali,” pikirnya.

“Oh, jadi begitu?” tanya Pictor setelah mendengar penjelasan Antares. “Jadi Hamal yang baru saja kutemui adalah pacar dokter yang berpapasan denganku? Tapi Bella tidak pernah menceritakan padaku kalau dokter itu adalah. . .”

Yang diajak bicara manggut-manggut mengiyakan kebingungan Pictor. “Aku lebih dulu mengenalnya. Tapi hanya kau yang sanggup menggantikan posisi dokter itu di hatinya. Jadi. . . Sembuhkan Bella dan jangan biarkan Hamal mengunjunginya. Aku mohon, kakak,” pinta Antares seraya bertolak dari atap rumah sakit. Meninggalkan Pictor dengan sejuta pertanyaan di benaknya.

Baru kali ini Antares meminta bantuan kepadanya setelah pertemanan baik mereka yang telah berlangsung cukup lama. Biasanya dirinyalah yang seringkali meminta bantuan Antares. Dan baru kali ini pula ia memanggilnya dengan sebutan kakak. Tapi Pictor sedang tak mau memikirkannya. Ia hanya sedang mencari cara untuk membantu teman baiknya.

Beberapa jam kemudian Pictor datang ke kamar pasien di mana hanya ada Bella yang sedang tergolek dalam balutan selang-selang di tubuhnya dan pria dingin di sebelahnya. Ia berjalan sangat pelan dengan tatapann sayu, sama sekali berbeda saat mereka berdua berdialog di atap rumah sakit. “Aku sudah pastikan besok tak akan ada kunjungan asing,” ucapnya lirih.

“Terima kasih. Aku tahu kau akan melakukannya untuk Bella,” sambut Antares dengan wajah sumringah. Raut wajahnya tak terlihat gusar dan penuh amarah seperti bebrapa jam lalu.

Suasana hati kedua pria tangguh itu kini sama sekali berbanding terbalik dengan beberapa jam lalu saat mereka bertemu di atap rumah sakit. Antares berubah menjadi riang karena kabar baik yang Pictor bawa. Tapi ada apa dengan Pictor? Hanya itu yang melintas di pikiran Antares sejak dia memasuki ruang pasien.

Sebelum sempat menanyakan hal itu, Pictor sudah kembali membuka mulutnya tetapi dengan mata yang semakin sayu. “Tapi untuk permintaanmu yang lain, harusnya aku yang memohon padamu,” “Sembuhkan Bella. Jaga dia seperti aku menjaganya. Dia tulus mencintaimu,” lanjutnya.

“Kau ini bicara apa?” selidik Antares dengan dahi berkerut-kerut. Ia merasa bahwa Pictor penuh degan teka-teki kali ini.

Pictor yang merasa sangat lemah sore itu berkata seraya memunggungi Antares beberapa meter, menahan perasaannya yang kalut. “Di sini, aku hanya menjalankan tugasku untuk belajar. Dan beberapa saat lalu Bella sudah merayakan kelulusanku bersama-sama. Janjiku padanya juga sudah kutepati. Sekarang dia benar-benar telah sembuh dari phobia anehnya. Jadi. . . kumohon, saat Bella membuka matanya nanti,  katakan padanya kakak tidak akan sungguh-sungguh meninggalkan adiknya,” tuturnya seraya berbalik badan melangkah ke tepi ranjang Bella.

Antares yang menjadi saksi sahabatnya akan ditinggal pergi kakaknya lagi untuk yang kedua kali menjadi bangkit kembali emosi. Rasanya ingin sekali berlutut di kaki Pictor agar jangan pergi secepat itu. Perasaan kalut yang dialaminya saat ini menjadi ketakutannya saat Bella membuka mata nanti dan menayakan semua yang telah terjadi. Tak terasa cairan hangat menerabas keluar dari sudut mata pria tangguh yang sedang menggenggam tangan sahabatnya erat. Ia menatap pria jangkung itu lekat-lekat. Sinar matanya mengatakan sekali lagi untuk tetap tinggal.

“Kau adik yang kuat. Kau akan melawan sisa rasa takutmu dengan pertahanan yang telah kuajarkan. Aku tidak akan pergi menghilang begitu saja. sudah kubisikkan pada malaikat di samping kananmu untuk selalu menjaga dan melindungimu. Dia akan membantumu mengalahkan segala ketakutanmu. 

Percayalah. Malaikat itu tengah menggenggam tanganmu. Dia tidak akan tega melihatmu menderita karena cintanya juga begitu tulus padamu,” kecupan di kening Bella menjadi penutup kalimatnya saat hendak beranjak. Ia memeluk seorang pria yang ia sebut malaikat di telinga adiknya dan memberi tepukan menguatkan. Setelah itu, ia buru-buru keluar dari ruangan sebelum Antares sempat melihat cairan hangat menyembul dari balik mata sayunya.

Sementara itu diluar pintu ia mendapati seorang wanita mengenakan seragam serba putih tengah menelungkupkan wajah diatas kedua lututnya. Pictor dengan cepat mengetahui dokter itu telah mendengar semua pembicaraannya. “Sembuhkan adikku.  Jaga dia seperti aku menjaganya,”
Sebuah kalimat permohonan singkat dan sama persis seperti yang ia ucapkan kepada sahabatnya baru saja ia lontarkan kepada wanita yang telah ia ketahui siapa sebenarnya ia dibalik jas putihnya.

Carina belum berani memasuki ruang pasien yang ditanganinya. Ia tidak sanggup mempertangungjawabkan kelalaiannya di masa lalu.