Selasa, November 15, 2016

Mengikhlaskanmu, Menyadarkanku Arti CintaNya




 Senja ini kulihat langit tersenyum ditemani ratusan burung walet yang menari di panggung termegahnya. Dengan pencahayaan alami yang diturunkan langsung dari Tuhannya. Dengan desain panggung yang tak tertandingi oleh designer ataupun arsitektur kenamaan sekalipun. Dengan kursi yang audiens berhak menentukan sendiri tempat ternyamannya. Dan dengan background cakrawala yang membentang luas sejauh mata memandang.

Setiap sudutnya tertata begitu rapi tak ada cela. Air mengalir begitu derasnya tanpa tipu daya mesin canggih. Setiap tetesnya menghidupi pepohonan  di sekitarnya. Sekawanan burung itu kurasa sedang bercengkerama sembari menghabiskan hari-hari mereka yang penuh petualangan. Gerakan akrobatiknya yang tak membentuk pola sama sekali tetap membuat mata enggan untuk berhenti memperhatikannya. Sejak dahulu anak cucu Adam tak pernah bosan dengan pemandangan semacam ini yang disuguhkan sebelum Tuhan menggulirkan matahari hingga ke tempat peristirahatannya. 

Namun di era kemajuan zaman, panggung yang Tuhan ciptakan lengkap dengan lakonnya yang membuat kedamaian turun dari mata ke hati acapkali tak dihiraukan lagi oleh manusianya. 
Seolah-olah semua itu kalah dengan tipu daya abad modern yang apapun bisa tersedia sesuai keinginan. Transportasi, teknologi, hiburan dan alat pemuas kebutuhan lainnya semakin beragam membuat manusia terlena, lupa bila semua itu berawal dari kekaguman manusia terhadap ciptaan Tuhan. Bayangkan jika Alexander Graham Bell tak dibuat penasaran oleh komunikasi jarak jauh, barangali gadget yang semakin semakin berkembang seiring laju pertambahan usia manusia bahkan belum muncul dalam angan kita. bayangkan jika Thomas Alva Edison menyerah dalam eksperimennya menghasilkan bola lampu, barangkali anak-anak kecil masih selalu menantikan malam bulan purnama untuk bermain dengan sangat cerianya.

Aku Zhara. Zhara Diana Putri. Seorang mahasiswa tingkat akhir yang hendak menyelesaikan skirpsinya. Penyesalanku tak mungkin datang bahkan hingga sedalam ini jika saja sebelum kejadian nahas yang menimpa kekasihku beberapa minggu lalu, aku mengindahkan peringatan Tuhan yang disampaikan lewat orangtuaku. Orangtuaku tak pernah salah dalam mendidik anak, bahkan meski pekerjaannya tak mendatangkan rezeki yang melimpah, mereka selalu merasa cukup hingga menguliahkan ketiga anaknya pun tak serasa jadi beban. Namun aku tak tahu setan apa yang merasuk pikiranku hingga merusakku separah ini.

Sejak SMA, aku dan Sam berpacaran. Namanya Ahmad Samsuri. Anak seorang kiyai senior di kampungku. Meski anak kiyai, Sam tak mencerminkan sedikitpun tentang hal itu. Penampilannya, perilakunya, bahkan amalannya. Aku hanya senang berteman dengannya yang terkesan ramah dan bersahabat, hingga suatu hari kami berdua menjalin hubungan yang disebut pacaran.

“Kamu sedang apa, Zha?” tanya seseorang dari arah belakang yang kedengarannya semakin mendekat.

Spontan kuhentikan lamunanku sembari menolehkan leher ke arah pemilik suara. “Kak Ian,” ujarku setelah mendapati wajah pemilik suara itu. “Tak apa,” lanjutku sembari mengubah mimik sedih di wajahku menjadi sebilah senyum ringan.

“Tak mungkin. Kamu pasti sedang memikirkan sesuatu,” terkanya dengan mata menyelidik.

Pertemananku dengan Kak Ian yang hampir seperti hubungan kakak-adik mengharuskanku tak dapat menyembunyikan apapun darinya. “Kamu benar. Aku sedang menyesali kejadian itu. Kecelakaan maut yang menghabisi nyawa Sam,” keluhku.

Ia berkata seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Aku tahu. Pasti berat bagimu kehilangan orang yang kamu sayangi."
 
“Seandainya malam itu Sam mengakui kekalahannya melawan Kiar di balapan liar akhir tahun, tentu kejadiannya tak sefatal ini. Dan kesalahanku adalah mendukungnya meladeni balapan ulang dalam keadaan emosinya yang tinggi. Rasa sayangku padanya membuatku tak bisa lagi menilai mana yang benar dan mana yang salah,” ucapku mengenang.

“Cukup kehilangan Sam saja yang membuat penyesalanmu sedalam ini. Tapi kamu tak boleh berlarut-larut. Kamu masih punya aku,” hiburnya.

Aku yang sudah hapal tanggal pernikahan Kak Ian hanya tinggal menghitung hari segera menyambar kalimatnya, “Untuk beberapa hari ini saja, kan? Setelah itu aku juga akan kehilanganmu, kakak terbaikku,” dadaku rasanya mau meluapkan uap kepedihan atas ketakutan akan kehilangannya.
“Tidak, Zha. Selamanya kamu adikku dan aku kakakmu,” lanjutnya menenangkanku.

Saat sedang diliputi kesedihan seperti kali ini, aku biasanya memeluk Kak Ian untuk mengurangi beban perasaanku. Namun kali ini ia menolak bahkan mundur beberapa langkah. Aku tak tahu apa maksudnya hingga ia menjelaskan alasannya, padahal biasanya ia menjadi punggung sandaranku.

“Zha, aku mengambil pelajaran dari kejadian yang menimpa Sam dan kesedihan yang menimpamu untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Aku malu pada calon pengantinku yang menjaga padangannya dari laki-laki lain sedangkan  aku masih bebas berkeliaran dengan teman-teman perempuanku bahkan setelah pertunangan kami diresmikan. Aku belajar darinya. Kamu pun harus bisa mengambil pelajaranmu sendiri, bukan terlarut dalam kesedihan yang membuatmu semakin terpuruk. Kamu harus sadar bahwa setan sedang berusaha menjerumuskanmu dalam penyesalan, sehingga kamu lupa bagaimana cara kembali pada Tuhan.”

Penuturannya barusan hanya membuatku semakin patah hati. Namun sejurus kemudian penilainaku berubah ketika ia melanjutkan alasannya, “Pernikahanku tak akan menjauhkanku darimu. Hanya saja aku menyadari, sebagai calon pemimpin rumah tangga, aku harus menjadi contoh untuk istri dan anakku kelak. Sekarang kamu boleh memelukku untuk terakhir kalinya setelah kudengar perubahan apa yang akan kamu lakukan, Zha,” ucapnya penuh keteduhan yang menjadikanku tahu apa kesalahan yang harus kuperbaiki.

Seulas senyum ringan tersungging sebagai tanda mengerti akan maksudnya “Aku bisa memperbaiki kesalahanku dengan menuruti perkataan ayah dan ibuku, Kak. Aku juga tidak akan pulang malam-malam lagi dengan teman-teman Sam. Aku mau menyelesaikan skripsiku supaya bisa lulus tepat waktu seperti kamu. Kak Ian, tolong jangan lupakan aku, adikmu yang lemah, setelah kamu menikah nanti karena aku mau berusaha menjadi lebih baik seperti kamu hari ini.” Atas perasaan takut akan kehilangan seorang sahabat yang sudah kuanggap sebagai kakak, aku memohon padanya dengan penuh ketulusan.

“Tentu,” sambutnya sembari membuka kedua tangannya dan menyediakan dadanya sebagai pelukan terakhir. “Kita akan berusaha menjadi baik bersama-sama, adikku.”

Sejak senja yang kulalui di kaki bukit pada H-4 menjelang pernikahan Kak Ian itu, aku seperti telah berikrar pada diriku sendiri untuk melupakan perasaanku pada Sam yang sesungguhnya mengantarkanku semakin menjauh dari Tuhan. Sejak senja itu pula, pelukan terakhir Kak Ian menemani langkahku untuk berhijrah menjadi yang lebih baik. Pada akhirnya, Kak Ian menjalani kehidupan barunya dengan penuh ketentraman, dan aku menjalani hari-hari terakhirku di kampus dengan membawa harapan kedua orangtuaku tanpa diliputi perasaan bersalah yang berlarut-larut. 

Sebab mengikhlaskan seseorang yang kita sayangi untuk mengharapkan yang lebih baik bukanlah suatu kesalahan. Dari keputusan bijak yang kuambil ini, aku berharap sudi kiranya Tuhan menghadiahkan dunia di tanganku berupa keberkahan ilmu dan menanamkan kebaikan di hatiku sebagai bekal menuju akhirat yang diberkahi dan dihiasi cintaNya.

...SELESAI...