Senja ini kulihat langit tersenyum ditemani ratusan burung
walet yang menari di panggung termegahnya. Dengan pencahayaan alami yang
diturunkan langsung dari Tuhannya. Dengan desain panggung yang tak tertandingi
oleh designer ataupun arsitektur kenamaan sekalipun. Dengan kursi yang audiens
berhak menentukan sendiri tempat ternyamannya. Dan dengan background cakrawala
yang membentang luas sejauh mata memandang.
Setiap sudutnya tertata begitu rapi tak ada cela. Air
mengalir begitu derasnya tanpa tipu daya mesin canggih. Setiap tetesnya
menghidupi pepohonan di sekitarnya.
Sekawanan burung itu kurasa sedang bercengkerama sembari menghabiskan hari-hari
mereka yang penuh petualangan. Gerakan akrobatiknya yang tak membentuk pola
sama sekali tetap membuat mata enggan untuk berhenti memperhatikannya. Sejak
dahulu anak cucu Adam tak pernah bosan dengan pemandangan semacam ini yang
disuguhkan sebelum Tuhan menggulirkan matahari hingga ke tempat
peristirahatannya.
Namun di era kemajuan zaman, panggung yang Tuhan ciptakan
lengkap dengan lakonnya yang membuat kedamaian turun dari mata ke hati acapkali
tak dihiraukan lagi oleh manusianya.
Seolah-olah semua itu kalah dengan tipu
daya abad modern yang apapun bisa tersedia sesuai keinginan. Transportasi,
teknologi, hiburan dan alat pemuas kebutuhan lainnya semakin beragam membuat
manusia terlena, lupa bila semua itu berawal dari kekaguman manusia terhadap
ciptaan Tuhan. Bayangkan jika Alexander Graham Bell tak dibuat penasaran oleh
komunikasi jarak jauh, barangali gadget yang semakin semakin berkembang seiring
laju pertambahan usia manusia bahkan belum muncul dalam angan kita. bayangkan
jika Thomas Alva Edison menyerah dalam eksperimennya menghasilkan bola lampu,
barangkali anak-anak kecil masih selalu menantikan malam bulan purnama untuk
bermain dengan sangat cerianya.
Aku Zhara. Zhara Diana Putri. Seorang mahasiswa tingkat
akhir yang hendak menyelesaikan skirpsinya. Penyesalanku tak mungkin datang
bahkan hingga sedalam ini jika saja sebelum kejadian nahas yang menimpa kekasihku
beberapa minggu lalu, aku mengindahkan peringatan Tuhan yang disampaikan lewat
orangtuaku. Orangtuaku tak pernah salah dalam mendidik anak, bahkan meski pekerjaannya
tak mendatangkan rezeki yang melimpah, mereka selalu merasa cukup hingga
menguliahkan ketiga anaknya pun tak serasa jadi beban. Namun aku tak tahu setan
apa yang merasuk pikiranku hingga merusakku separah ini.
Sejak SMA, aku dan Sam berpacaran. Namanya Ahmad Samsuri.
Anak seorang kiyai senior di kampungku. Meski anak kiyai, Sam tak mencerminkan
sedikitpun tentang hal itu. Penampilannya, perilakunya, bahkan amalannya. Aku
hanya senang berteman dengannya yang terkesan ramah dan bersahabat, hingga
suatu hari kami berdua menjalin hubungan yang disebut pacaran.
“Kamu sedang apa, Zha?” tanya seseorang dari arah belakang
yang kedengarannya semakin mendekat.
Spontan kuhentikan lamunanku sembari menolehkan leher ke
arah pemilik suara. “Kak Ian,” ujarku setelah mendapati wajah pemilik suara
itu. “Tak apa,” lanjutku sembari mengubah mimik sedih di wajahku menjadi
sebilah senyum ringan.
“Tak mungkin. Kamu pasti sedang memikirkan sesuatu,”
terkanya dengan mata menyelidik.
Pertemananku dengan Kak Ian yang hampir seperti hubungan
kakak-adik mengharuskanku tak dapat menyembunyikan apapun darinya. “Kamu benar.
Aku sedang menyesali kejadian itu. Kecelakaan maut yang menghabisi nyawa Sam,” keluhku.
Ia berkata seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku
celana. “Aku tahu. Pasti berat bagimu kehilangan orang yang kamu sayangi."
“Seandainya malam itu Sam mengakui kekalahannya melawan Kiar
di balapan liar akhir tahun, tentu kejadiannya tak sefatal ini. Dan kesalahanku
adalah mendukungnya meladeni balapan ulang dalam keadaan emosinya yang tinggi.
Rasa sayangku padanya membuatku tak bisa lagi menilai mana yang benar dan mana
yang salah,” ucapku mengenang.
“Cukup kehilangan Sam saja yang membuat penyesalanmu sedalam
ini. Tapi kamu tak boleh berlarut-larut. Kamu masih punya aku,” hiburnya.
Aku yang sudah hapal tanggal pernikahan Kak Ian hanya
tinggal menghitung hari segera menyambar kalimatnya, “Untuk beberapa hari ini
saja, kan? Setelah itu aku juga akan kehilanganmu, kakak terbaikku,” dadaku
rasanya mau meluapkan uap kepedihan atas ketakutan akan kehilangannya.
“Tidak, Zha. Selamanya kamu adikku dan aku kakakmu,”
lanjutnya menenangkanku.
Saat sedang diliputi kesedihan seperti kali ini, aku
biasanya memeluk Kak Ian untuk mengurangi beban perasaanku. Namun kali ini ia
menolak bahkan mundur beberapa langkah. Aku tak tahu apa maksudnya hingga ia
menjelaskan alasannya, padahal biasanya ia menjadi punggung sandaranku.
“Zha, aku mengambil pelajaran dari kejadian yang menimpa Sam
dan kesedihan yang menimpamu untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Aku malu
pada calon pengantinku yang menjaga padangannya dari laki-laki lain
sedangkan aku masih bebas berkeliaran
dengan teman-teman perempuanku bahkan setelah pertunangan kami diresmikan. Aku
belajar darinya. Kamu pun harus bisa mengambil pelajaranmu sendiri, bukan
terlarut dalam kesedihan yang membuatmu semakin terpuruk. Kamu harus sadar
bahwa setan sedang berusaha menjerumuskanmu dalam penyesalan, sehingga kamu
lupa bagaimana cara kembali pada Tuhan.”
Penuturannya barusan hanya membuatku semakin patah hati.
Namun sejurus kemudian penilainaku berubah ketika ia melanjutkan alasannya,
“Pernikahanku tak akan menjauhkanku darimu. Hanya saja aku menyadari, sebagai
calon pemimpin rumah tangga, aku harus menjadi contoh untuk istri dan anakku
kelak. Sekarang kamu boleh memelukku untuk terakhir kalinya setelah kudengar
perubahan apa yang akan kamu lakukan, Zha,” ucapnya penuh keteduhan yang
menjadikanku tahu apa kesalahan yang harus kuperbaiki.
Seulas senyum ringan tersungging sebagai tanda mengerti akan
maksudnya “Aku bisa memperbaiki kesalahanku dengan menuruti perkataan ayah dan
ibuku, Kak. Aku juga tidak akan pulang malam-malam lagi dengan teman-teman Sam.
Aku mau menyelesaikan skripsiku supaya bisa lulus tepat waktu seperti kamu. Kak
Ian, tolong jangan lupakan aku, adikmu yang lemah, setelah kamu menikah nanti karena
aku mau berusaha menjadi lebih baik seperti kamu hari ini.” Atas perasaan takut
akan kehilangan seorang sahabat yang sudah kuanggap sebagai kakak, aku memohon
padanya dengan penuh ketulusan.
“Tentu,” sambutnya sembari membuka kedua tangannya dan
menyediakan dadanya sebagai pelukan terakhir. “Kita akan berusaha menjadi baik
bersama-sama, adikku.”
Sejak senja yang kulalui di kaki bukit pada H-4 menjelang
pernikahan Kak Ian itu, aku seperti telah berikrar pada diriku sendiri untuk
melupakan perasaanku pada Sam yang sesungguhnya mengantarkanku semakin menjauh
dari Tuhan. Sejak senja itu pula, pelukan terakhir Kak Ian menemani langkahku
untuk berhijrah menjadi yang lebih baik. Pada akhirnya, Kak Ian menjalani
kehidupan barunya dengan penuh ketentraman, dan aku menjalani hari-hari
terakhirku di kampus dengan membawa harapan kedua orangtuaku tanpa diliputi
perasaan bersalah yang berlarut-larut.
Sebab mengikhlaskan seseorang yang kita
sayangi untuk mengharapkan yang lebih baik bukanlah suatu kesalahan. Dari
keputusan bijak yang kuambil ini, aku berharap sudi kiranya Tuhan menghadiahkan
dunia di tanganku berupa keberkahan ilmu dan menanamkan kebaikan di hatiku
sebagai bekal menuju akhirat yang diberkahi dan dihiasi cintaNya.
...SELESAI...