Jumat, November 04, 2016

Jejak Rasa dari "Cimahi"



Saya telah melakukan perjalanan jiwa pada suatu hari, dimana pada hari-hari itu jiwa saya mendapat sentuhan-belaian cinta yang menyisipkan kehangatan pada relung batin saya. Saya pergi pada suatu tempat, bertemu orang-orang baru yang begitu hebat perjuangannya, cerita hidupnya, dan cara belajarnya. Dan saya adalah bahagian dari mereka.

Sungguh suatu kehormaatan bagi saya berdiri disana pada saat itu meski saya bukan siapa-siapa. Orang lain bilang saya beruntung, namun bagi saya setiap orang memiliki kesempatan untuk begitu. Sungguh saya tidak menyangka dapat melihat gedungnya, menginjak rumputnya, dan berbaur dengan orang-orangnya. Namun, begitulah yang saya rasakan. Berada dalam alam mimppi saya dalam keadaan mata terbuka dan melihat dunia dengan segala keramahannya.

Dari sekumpulan manusia pilihan Tuhan yang saya kagumi, seseorang mengajarkan kepada saya banyak hal yang tak mungkin akan tersisih dari bahagian terdalam memori saya. Seseorang yang begitu menginspirasi buat saya dan saya rasa telah menginspirasi banyak orang. Jika saja takdir berkehendak saya tetap berada disana, mungkin saat ini telah banyak perubahan besar yang terjadi dalam  hidup saya.

Menulis memang bahagian dari hidup saya, namun yang mengilhami saya untuk menulis lembaran ini adalah sebuah rasa cinta yang begitu luar biasa manakala tidak dapat saya rasakan di lain tempat. Andaipun Tuhan memberi kesempatan untuk saya kembali, sesungguhnya yang ingin kucari dan kupeluk pertama kali adalah sosok yang telah menunjukkan jalan kepada jiwa saya yang rapuh untuk memilih perantara masa depan pada perttengahan malam yang penuh akan rengkuhan cinta Tuhan.
Saya tak rela menutup basa-basi yang mengalir begitu saja dari hati. Namun pada akhirnya saya tetap harus bercerita memutar kembali reka perjalanan yang sarat makna bersama para pencuri tempat di hati saya.

Hari-hari itu melekatkan saya pada keramaian kotanya yang telah lama ada dalam kamus mimpi saya. Dan saya harus berkata apa lagi untuk mengungkapkan saya bahagia menjadi bahagian dari cerita ini. Sebuah cerita manakala pikiran saya harus terkuras setiap harinya, jiwa saya mendapat belaian bersama sensasi humor dan motivasi, bahkan enosi saya yang harus terkuras demi memilih perantara masa depan yang sungguh menggoyahkkan tekad.

Entah berapa kali saya harus menata ulang skenario hingga pada ujungnya dibuat ragu kembali. Entah berapa banyak tanya yang tertuju pada orang-orang terpercaya. Entah berapa kata yang terurai manjadi masukan berharga. Dan entah berapa kali lagi saya harus mengadu pada tempat yang paling mulia. 

Seseorang menemukan saya dalam kebimbangan yag luaar biasa. Beliau muncul sebagaii malaikat dengan sekantung penawar kesedihan yang tepancar dari wajahnya. Entah bagaimana pun saya mengungkapkan hal itu. Beliau tak pernah ragu mengusap cairan pedih di pipi saya dan saya yang tak pernah ragu memeluknya manakala keraguan itu kembali muncul. Darinya saya pahami hakikat hidup yang semestinya saya  jalani. Bukan menuju keinginan dengan tertatih. Darinya pula saya pahami cerita yang amat membuka pintu hati. Dan darinya saya mengerti bahwa manusia pilihaan Tuhan berangkat dari kesedihan.

Saya tak tahu apakah saya terlalu berlebihan, namun begitulah emosi saya berkata. Lelagi, beliau menyadarkan disaat pikiran saya jauh tak terkendali hingga pada akhirnya menangis lagi dalam pelukan seorang malaikat berhati ibu, berwajah sahabat, dan berjiwa pahlawan.

Ah, sudahlah. Kusudahi saja bercerita tentang kisah manis berair ini. Setidaknya agar kalian tak tahu bahwa saya sedang mengagumi sosoknya. Meski tak dapat saya sudahi mengenang kisah biru di asrama hijau yang tentram bersahabat. Dan tak mungkin saya lewati untuk berkata, “Saya tak lagi berpikir untuk menjadi orang yang berpengaruh bagi dunia, saya hanya teringin menjadi sosok manusia biasa yang melakukan banyak hal yang bernilai bagi orang lain dan melakukan perubahan kecil agar orang lain mampu melakukan perubahan besar” seperti sedikit cerita dari beliau yang membuat saya semakin berpikir dewasa dalam memandang luasnya dunia.

Saya tak berani berharap lebih agar orang lain mengerti seberapa besar cinta yang tercurahkan demi menulis lembaran ini. Saya tak berani berkata bahwa cerita ini menarik untuk dibaca. Saya juga tak yakin cerita ini berhasil mencuri perhatian dan waktu kalian. Sungguh, senantiasa ingin saya membaca sepercik cerita tentang kalian yang pernah melukis pelangi dengan sapuan kuas penuh cinta di bawah langit ‘C’I’M’A’H’I’.