Jumat, November 04, 2016

Analogi Rindu dengan Secangkir Kopi



Hari ini aku ingin bercerita tentang kerinduan. Jika kau medengar kata itu, mungkin yang pertama kali terbesit di pikiranmu adalah tentang asmara, persahabatan atau keluarga. Ya. Tidak salah memang. Seperti aku yang mengawali rindu bagai uap secangkir kopi di pagi hari. Setiap datangnya rindu kuutarakan, kuluapkan. Kemudian rindu menjadi seperti serbuk kopi yang larut dalam air. Rindu menjadi sesuatu yang larut dalam pikiranku. Tidak lagi kuutarakan. Lama-kelamaan, rindu menjadi seperti ampas kopi yang tertinggal setelah airnya diteguk habis. Tidak lagi larut dalam pikiran, melainkan diabaikan.

Jika kau cermati ketiganya, ada perbedaan yang terjadi mulai dari uap, larutan,  hingga menjadi ampas. Seperti itulah kira-kira perasaanku berubah seiring waktu demi waktu. 

Well, kupikir semua dari kalian memiliki sahabat di dunia ini. sahabat bukan hanya sekedar teman. Dia bisa berperan ganda setiap kita butuh peran tersebut. Dia bisa menjadi kakak saat kita butuh pelukan. Dia bisa menjadi teman saat kita ingin bermain. Dia bisa menjadi Ibu yang menasehati dengan bijak saat kita melakukan kesalahan. Dia bisa menjadi guru bagi kita yang ingin belajar darinya. Bahkan dia bisa menjadi psikolog pribadi kita yang paham degan semua masalah kita. Kurasa seperti itulah arti sahabat yang sesungguhnya. 

Aku tidak mengarang soal peran ganda sahabat yang kusebutkan barusan karena pada kenyatannya, aku memang (pernah) memilikinya. Entah masih atau tidak, aku tetap meyakinkan diriku bahwa aku masih memilikinya.

Semuanya berawal ketika usiaku 15, usia yang ideal bagi pelajar kelas sepuluh atau 1 SMA seusiaku. Sungguh sebuah anugErah termanis memiliki sahabat yang bisa menjadi siapa saja dalam perjalananku. Melatihku berdiskusi, mengenalkanku kepada teman-temannya, mengajakku meninggalkan yang buruk dan belajar menjalani yang baik, mengingatkanku saat khilaf menyapa, mensupport segala cita-cita dan kegiatanku, dan masih banyak lagi yang kami ukir di masa putih abu-abu.

Well. Jujur aku tak pernah menangis di hadapan siapapun bahkan dalam keadaan sperih apapun. Hanya sesekali saat keadaan benar-benar membuatku kehilangan kekuatan untuk bertahan. Itupun harus di tempat tertutup yang tidak akan ada mata lain yang sanggup menjangkau. Karena itu, aku selalu terlihat strong dan tanpa masalah, padahal aku hanyalah sesosok rapuh yang pandai berbohong. Setiap saat aku selalu berbohong untuk tidak mengatakan kecewa, untuk tidak mengatakan sakit, untuk tidak mengatakan tersinggung, bahkan marah. “Sok Cool”. Sebuah kata yang mungkin pantas untuk kusandang dan memang kuakui, aku menerapkannya sejak kecil.

Menangis, marah, berontak, termasuk yang sederhana yaitu menampakkan wajah sedih adalah sesuatu yang sangat kuhindari, bahkan dalam keadaan sekalut apapun. Karena itu, perlahan aku menyadari aku kehilangan kamampuan dalam hal mengekspresikan emosi. Semua orang tak akan mengerti kapan sata aku marah, saat aku sedih, saat aku malu kecuali satu. Ya, satu. Sahabatku. Maka dari itu, ia pantas menjadi psikolog pribadiku.

Suatu saat pernah kuutarakan padanya masalah psikologis yang kualami. Kupikir aku memiliki gangguan psikologis. Ia hanya menyikapinya dengan ramah, menenangkanku bahwa aku masih baik-baik saja. Aku masih seperti yang dulu, yang sanggup mengatasi masalah mulai dari bersikap “Sok Cool” terhadap masalah itu. Karena semua perkataannya telah kuanggap motivasi, aku mulai lega dan tanpa berpikir bahwa sesungguhnya ia mulai risau dengan apa yang kuceritakan. Saat itu kerinduanku masih seperti uap air kopi di pagi hari.

Sejak saat itu, aku mulai jarang menyapanya kala kerinduan menyapaku. Semua perasaan itu hanya larut dalam pikiran bagai larutan bubuk kopi dalam secangkir air. Aku tahu, sekarang dia punya pacar. Mungkin dia akan serius dengan pacarnya sehingga aku bukan lagi teman yang penting baginya. Lagipula jarak dan kesibukan bagaikan ruang dan waktu dengan sekat yang tebal. Lagi-lagi sok cool menjadi penawarnya. Kubiarkan saja semua peristiwa mengalir apa adanya tanpa membuat luka di dada sendiri, meski sujujurnya kata “cemburu” tertulis jelas di dasar otakku.

Soal cemburu itu, aku tidak bisa membohongi siapapun. Bahkan aku bicara terang-terangan di depan sahabatku bahwa aku tidak merestui hubungan mereka. Mungkin dari situ, kerinduan mulai bertingkah bak ampas kopi di dasar cangkir. Sekat ruang tidak bertambah tebal, namun kesibukan mengalahkan segalanya. Bahkan mungkin kali ini dibumbui ego. Entah ego siapa yang bermain, aku tak tahu. Yang jelas, aku sedang menghilang untuk sementara waktu dari kerinduan yang harusnya kuungkapkan, malah kuabaikan. Meski jujur sok cool bukan menjadi solusi untuk menyikapi kerinduan ini karena biar bagaiamanapun, sahabat yang seperti dia tidak tergantikan oleh sosok siapapun.

Dari Sirius,
Untuk Chlorida