Hari ini aku ingin bercerita tentang kerinduan. Jika kau
medengar kata itu, mungkin yang pertama kali terbesit di pikiranmu adalah
tentang asmara, persahabatan atau keluarga. Ya. Tidak salah memang. Seperti aku
yang mengawali rindu bagai uap secangkir kopi di pagi hari. Setiap datangnya
rindu kuutarakan, kuluapkan. Kemudian rindu menjadi seperti serbuk kopi yang
larut dalam air. Rindu menjadi sesuatu yang larut dalam pikiranku. Tidak lagi
kuutarakan. Lama-kelamaan, rindu menjadi seperti ampas kopi yang tertinggal
setelah airnya diteguk habis. Tidak lagi larut dalam pikiran, melainkan
diabaikan.
Jika kau cermati ketiganya, ada perbedaan yang terjadi mulai
dari uap, larutan, hingga menjadi ampas.
Seperti itulah kira-kira perasaanku berubah seiring waktu demi waktu.
Well, kupikir semua dari kalian memiliki sahabat di dunia
ini. sahabat bukan hanya sekedar teman. Dia bisa berperan ganda setiap kita
butuh peran tersebut. Dia bisa menjadi kakak saat kita butuh pelukan. Dia bisa
menjadi teman saat kita ingin bermain. Dia bisa menjadi Ibu yang menasehati
dengan bijak saat kita melakukan kesalahan. Dia bisa menjadi guru bagi kita
yang ingin belajar darinya. Bahkan dia bisa menjadi psikolog pribadi kita yang
paham degan semua masalah kita. Kurasa seperti itulah arti sahabat yang
sesungguhnya.
Aku tidak mengarang soal peran ganda sahabat yang kusebutkan
barusan karena pada kenyatannya, aku memang (pernah) memilikinya. Entah masih
atau tidak, aku tetap meyakinkan diriku bahwa aku masih memilikinya.
Semuanya berawal ketika usiaku 15, usia yang ideal bagi
pelajar kelas sepuluh atau 1 SMA seusiaku. Sungguh sebuah anugErah termanis
memiliki sahabat yang bisa menjadi siapa saja dalam perjalananku. Melatihku
berdiskusi, mengenalkanku kepada teman-temannya, mengajakku meninggalkan yang
buruk dan belajar menjalani yang baik, mengingatkanku saat khilaf menyapa,
mensupport segala cita-cita dan kegiatanku, dan masih banyak lagi yang kami
ukir di masa putih abu-abu.
Well. Jujur aku tak pernah menangis di hadapan siapapun
bahkan dalam keadaan sperih apapun. Hanya sesekali saat keadaan benar-benar
membuatku kehilangan kekuatan untuk bertahan. Itupun harus di tempat tertutup
yang tidak akan ada mata lain yang sanggup menjangkau. Karena itu, aku selalu
terlihat strong dan tanpa masalah, padahal aku hanyalah sesosok rapuh yang
pandai berbohong. Setiap saat aku selalu berbohong untuk tidak mengatakan
kecewa, untuk tidak mengatakan sakit, untuk tidak mengatakan tersinggung,
bahkan marah. “Sok Cool”. Sebuah kata yang mungkin pantas untuk kusandang dan
memang kuakui, aku menerapkannya sejak kecil.
Menangis, marah, berontak, termasuk yang sederhana yaitu menampakkan
wajah sedih adalah sesuatu yang sangat kuhindari, bahkan dalam keadaan sekalut
apapun. Karena itu, perlahan aku menyadari aku kehilangan kamampuan dalam hal
mengekspresikan emosi. Semua orang tak akan mengerti kapan sata aku marah, saat
aku sedih, saat aku malu kecuali satu. Ya, satu. Sahabatku. Maka dari itu, ia
pantas menjadi psikolog pribadiku.
Suatu saat pernah kuutarakan padanya masalah psikologis yang
kualami. Kupikir aku memiliki gangguan psikologis. Ia hanya menyikapinya dengan
ramah, menenangkanku bahwa aku masih baik-baik saja. Aku masih seperti yang
dulu, yang sanggup mengatasi masalah mulai dari bersikap “Sok Cool” terhadap
masalah itu. Karena semua perkataannya telah kuanggap motivasi, aku mulai lega
dan tanpa berpikir bahwa sesungguhnya ia mulai risau dengan apa yang
kuceritakan. Saat itu kerinduanku masih seperti uap air kopi di pagi hari.
Sejak saat itu, aku mulai jarang menyapanya kala kerinduan
menyapaku. Semua perasaan itu hanya larut dalam pikiran bagai larutan bubuk
kopi dalam secangkir air. Aku tahu, sekarang dia punya pacar. Mungkin dia akan
serius dengan pacarnya sehingga aku bukan lagi teman yang penting baginya.
Lagipula jarak dan kesibukan bagaikan ruang dan waktu dengan sekat yang tebal.
Lagi-lagi sok cool menjadi penawarnya. Kubiarkan saja semua peristiwa mengalir
apa adanya tanpa membuat luka di dada sendiri, meski sujujurnya kata “cemburu”
tertulis jelas di dasar otakku.
Soal cemburu itu, aku tidak bisa membohongi siapapun. Bahkan
aku bicara terang-terangan di depan sahabatku bahwa aku tidak merestui hubungan
mereka. Mungkin dari situ, kerinduan mulai bertingkah bak ampas kopi di dasar
cangkir. Sekat ruang tidak bertambah tebal, namun kesibukan mengalahkan
segalanya. Bahkan mungkin kali ini dibumbui ego. Entah ego siapa yang bermain,
aku tak tahu. Yang jelas, aku sedang menghilang untuk sementara waktu dari
kerinduan yang harusnya kuungkapkan, malah kuabaikan. Meski jujur sok cool
bukan menjadi solusi untuk menyikapi kerinduan ini karena biar bagaiamanapun,
sahabat yang seperti dia tidak tergantikan oleh sosok siapapun.
Dari Sirius,
Untuk Chlorida