Tidur
dalam Diri
“Kau
yakin tak mau ikut keluar denganku malam ini?” tanya Canopi via BBM.
“Aku
sedang tak ingin keluar,” balasku.
“Tapi
kali ini kita akan pergi ke tempat yang tinggi. Seperti kesukaanmu,” balasnya. rupanya ia masih belum
menyerah membujukku.
“Kau
pergi saja sendiri. Moodku sedang tidak baik,” balasku lagi.
“Justru
aku ingin memperbaiki mood-mu. Tapi kalau kau benar-benar tidak mau, yaaa sudahlah
L
:’(,” ujarnya lengkap dengan emotikon sedih dan menangis. Tapi aku tahu dia hanya
pura-pura supaya aku lekas berubah pikiran.
Kubiarkan
BBM yang masuk darinya lagi karena moodku sedan kacau setelah orang-orang di
kampus secara tak sadar telah menghina cerpenku yang bertema kepribadian ganda.
Cerpen itu dimuat dalam koran lokal beberapa hari lalu. Meski hanya samar-samar
mendengar dari percakapan orang, namun bagiku sangat sulit menerima karyaku
dianggap terlalu mengada-ada bahkan ada yang menyamakanku dengan psikopat
karena salah satu kepribadian dalam cerpen itu adalah psikopat.
Canopi
mungkin belum membaca cerpenku. Dia sendiri tak tahu kalau moodku rusak
gara-gara itu. Biasanya aku dan Canopi pergi keluar malam mencari ketenangan
setelah penat dengan tugas kampus yang membludak, belum lagi tugas dari
organisasi yang terus-terusan menuntut. Pria jangkung berambut gondrong itu tak
pernah sekalipun keluar tanpa jaket sport biru bermotif footbal club kenamaan,
Barcelona.
Canopi dan aku sehati dalam hal membangkang.
Membangkang dari tugas kuliah dan organisasi. Kami berdua merasa salah memilih
jurusan setelah satu tahun mejalani perkuliahan. Bahkan orang-orang tak pernah
menyangka kalau sebenarnya aku anak
sains, mahasiswa jurusan Teknik Industri yang notabene harusnya kuat dengan
hitung-menghitung. Orang-orang sudah pasti mengiraku sebagai mahasiswa Fakultas
Seni Rupa dan Desain sebab semua akun media sosialku penuh dengan karya seniku.
Apalagi keaktifanku dalam memposting karya membuatku tambah meyakinkan saja
dengan bidang itu.
Aku
sendiri pernah mengalami perdebatan internal. Bukan perdebatan dengan keluarga
tetapi perdebatan yang terjadi di otakku. Setiap malam selama dua tahun sebelum
tes masuk perguruan tinggi. Saat itu aku merasa sangat yakin bahwa fakultas
teknik industri adalah tempat yang paling cocok untukku sebab menjadi seorang
peneliti dan penemu menjadi obsesi tertinggiku kala itu. aku sangat menikmati
pelajaran di sekolah demi mendapatkan nilai yang baik saat tes masuk perguruan
tinggi nanti dan hasilnya memang tak
mengingkari, buktinya kini alamamater biru tua kebanggaanku bertempelkan logo
fakultas teknik industri.
Namun
menikmati pelajaran di sekolah hanya terjadi di siang hari saja saat berkumpul
bersama kawan-kawan akademikku yang canggih
otaknya. Setiap malam selalu saja muncul tokoh lain yang “mengganggu”.
Belakangan kusadari bahwa tokoh dari dalam otakku yang “mengganggu” itu sangat
mirip denganku sekarang. Mencintai seni
dan terobsesi menjadi seniman. Dulu aku selalu berusaha mengusir tokoh itu
dengan belajar sekeras mungkin dan berkonsentrasi penuh dengan soal-soal di
depanku. Kini malah sebaliknya. Yang seperti benalu justru tugas kuliah yang
tak ada habisnya.
Entah
sejak kapan aku mulai berperan sebagai “pengganggu” tokoh yang “mengganggu”
dalam menciptakan karya-karyanya. Canopi tak tahu soal ini sebab Canopi hanya
makhluk yang kukenal kemarin sore yang suka megajakku keluar malam mencurahkan
kegundahan pada lampu-lampu kota.
Seringkali kami bedua pergi melanglang buana tanpa alasan yang jelas dan
kembali sejam sebelum tanggal berganti.
Ia
kembali mengirimiku pesan lewat BBM. “Aku sudah di depan kost-an.”
Aih.
Aku kan sudah bersikeras tak mau ikut. Kenapa dia keras kepala sekali? Dengan
menyeret langkah, kubuka pintu dan menghampirinya. Melihat wajahku malam ini
membuatnya langsung mengerti suasana hatiku. Ia menggerakkan kepalanya ke
belakang, mengisyaratkanku agar naik ke
motor. Aku yang sudah tak berniat memendam lagi kekesalanku sendiri
memilih naik dan mengikut kemana ia akan membawaku, meski ke tempat yang sama dengan
sebelumnya lagi.
“Kita
akan ke mana?” tanyaku di tengah-tengah perjalanan entah ke mana.
Ia
tak menyahut. Aku bertanya lagi, namun ia tak juga menyahut. Seperti ada yang
ingin ia katakan namun terlebih dahulu menimbang-nimbang. Akhirnya ia bersuara
setelah lengannya kucubit. “Aaaaw!” teriaknya kaget.
“Kau
pasti tidak akan menyesal malam ini,” ujarnya masih membuatku kesal.
“Sudahlah
turunkan aku saja kalau kau cuma ingin berhenti di tempat biasa,” ancamku. Tapi
Canopi tetaplah Canopi. Ia paling suka membuatku penasaran meski suasana hatiku
sedang tak baik.
“Kau
ini kenapa?” tanya Canopi setelah berhenti di salah satu kedai di arena rest
area. Rupanya itu tujuannya. Ya, rest area kini menjadi pilihannya untuk
meninmati malam. Agak jauh memang. Tetapi sensasinya lumayan. Cahaya yang
berpendar bukan hanya dari lampu-lampu jalanan raya, tetapi juga lampu hias yng
berkelap-kelip layaknya diskotik atau bar.
Aku
tak lantas menjawab pertanyaannya, malah menyeret langkah ke pinggir jalan yang
terparkir banyak sepeda motor, termasuk motor Canopi. “Aku sedang tak ingin
bicara,” jawabku beberapa saat kemudian.
“Hey
hey hey. Mana bisa ?” sergah Canopi. “Wajahmu mengatakan kau ini benar-benar
butuh tempat untuk bercerita. Sudahlah.
Ayo ke atas,” ajaknya sembari menarik tanganku yang kupagutkan diantara kedua
lutut. Aku tak juga beranjak. “Apa mau kugendong?” tanyanya meledek.
“Tidak
perlu,” akupun berdiri mengekor Canopi menaiki jembatan fly over dengan memacu
langkah malas. Perasaan kalutku seharian benar-benar mempengaruhi segala
aktivitas. Tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang memperolokku dengan
muka masam begini.
Canopi
tak kunjung bicara meski kini ia dan aku sudah berada di tempat yang nyaman
untuk saling bercerita. Ia tampak sangat menikmati ukiran awan di langit yang
terlihat memutih terpapar cahaya rembulan. Kopi panasnya diteguknya pelan
sembari meresapi aroma wangi kopi khas Lampung. Sepertinya ia sengaja
membiarkanku memulai bercerita. Biasanya ia yang selalu mengawali pembicaraan
dengan topik tidak penting, namun kali ini ia benar-benar memahami
keadaanku.“Pinjam ponsel,” pintaku sembari mengulurkan tangan kepadanya.
“Mau
menelpon siapa?” Canopi sudah paham jika aku meminjam ponselnya pasti hanya ada
dua maksud, SMS atau menelpon. Ya, hanya itu. berbeda dengan Canopi yang suka
mengotak-atik isi ponselku setelah mendapat izin dariku.
Kuketikkan
nomor telepon seseorang. Berniat menghubunginya kembali setelah 2 tahun tak
saling berkomunikasi lewat apapun adalah hal yang terasa sangat canggung.
Bahkan menekan tombol panggil pun kuurungkan berkali-kali sebelum akhirnya
Canopi menegurku, “Jadi menelpon atau tidak?”
“Tunggu
sebentar,” kilahku. Tombol panggil kutekan juga akhirnya dan suara nada sambung
menyeruak dari balik posel. Tak berapa lama kemudian telepon diangkat.
Mendengar suara seseoraang dari balik ponsel membuatku seperti mengalami “deja
vu”. Entah perasaan seperti apa itu karena cuma sesaat dan seketika hilang
kembali. Kudapati seseorang menyapa berkali-kali. Suara itu kukenali.
“Halo.”
“Halo.
Dengan siapa ini?” tanya seseorang dari balik telepon.
Tiba-tiba
buyar segala apa yang ingin kukatakan pada sosok perempuan berusia setahun
lebih muda dariku itu. dengan gagap kujawab, “Ha. Hal. Halo. Ini adek, Kak,”
Perempuan
itu belum menyahut. “Kakak bagaimana kabarnya?” lanjutku.
“Baik,
Dek.” Tak butuh waktu lama bagi pemilik nomor telepon yang sedang kupanggil ini
untuk mengenali suaraku. Sepintas ia terlihat sudah paham kalau aku yang
meneleponnya. Seorang teman yang mengangapnya kakak terbaik karena ia mampu
memahami semua permasalahanku.
“Siapa
Al-Nilam?” tanyaku secara tiba-tiba. Tentu saja ia tak langsung menjawab
pertanyaanku yang lancang ini. Aku juga tak sadar saat menanyakan ini padanya.
Yang ada di pikiranku hanya perkataan dua sahabatku, Monny dan Lissy. Beberapa
waktu lalu mereka menceritakan bahwa Carina memiliki pacar baru. Aku yang
merasa sudah sangat lama tak bersua menjadi ingin tahu seperti apa sosok
pengganti Kak orion, mantan pacar Carina yang sangat cocok dengannya waktu itu.
aku, Monny, dan Lissy sangat menukai hubungan mereka berdua, tapi entah karena
alasan apa, keduanya tak lagi menjalin asmara.
Tanpa
menunggu jawaban Carina, aku melanjutkan, “Monny dan Lissy yang memberiitahuku.
Tapi mereka bilang bahwa mereka tahu kau punya pacar baru dari aku. Anehnya
mereka juga bilang bahwa aku tak menyukai Al-Nilam bahkan dengan tegas
menyuruhu putus darinya. Mereka mau memfitnahku atau bagaimana?” tanyaku heran.
“Lyra,
aku tidak tahu kamu bicara apa. Sungguh.”
“Kakak.
. .” Ucapku lembut memohon penjelasan darinya. “Kita kan sudah lama sekali
tidak bicara, tidak bertemu, bahkan memberi kabarpun tidak. Aku Cuma ingin
memastikan siapa Al-Nilam yang mereka maksud mengapa tega sekali mereka
menuduhku demikian. Padahal aku tak tahu menahu siapa Al-Nilam itu.”
“Lyra.
Dengar. . .”
“Lyra?”
tanyaku penuh keheranan. “Lyra siapa? Namaku Bella. Bellatrix Saiph. Bukan
Lyra. Siapa Lyra itu? sejak kapan aku berganti nama? Kalian semua
membingungkan!” teriakku kepada Carina yang terlihat sangat aneh malam ini. Meski aku tak melihat
wajahnya tapi dapat kurasakan antara
kebingungan dan menyembunyikan sesuatu dibalik wajahnya.
“Lyra
dengar!” Carina membentak tak kalah
keras dari teriakan protesku barusan. “Monny dan Lissy benar jika mereka
tahu itu dari kamu. Sebab beberapa bulan lalu kau mengunjungiku. Kau
kuperkenalkan dengan Nilam. Dan kau sendiri yang biang tak mau dipanggil Bella
karena namamu adalah Lyra. Kau masih adikku. Aku masih mengenalimu. Yang tak
kukenali hanya satu. Sorot matamu. Sorot matamu terasa sangat beku dan penuh
kebencian. Hingga esok harinya saat kau datang lagi, kau bilang padaku bahwa
kau tak merestui hubunganku dengan Nilam. Kau bilang bahwa aku bodoh telah
meninggalkan Orion. Jadi apa maksudmu bertanya demikian?”
Aku
tertegun. Ketidakmungkinan yang kudengar barusan adalah ulahku sendiri beberapa
bulan lalu? Lalu apa tentang seminngu lalu saat Monny dan Lissy membahas Nilam
dalam percakapan lewat telepon. Perbincangan di telepon itu tak kuingkari.
Memang benar adanya aku memperoleh pengaduan demikian dari kedua sahabatku yang
merantau ke Jakarta. Akan tetapi pengakuan Carina barusan sama sekali tak dapat
kuterima sebab aku ingat betul terakhir kali bertemu dengannya setahun lalu
ketika ia memintaku menemaninya mendaftar perguruan tinggi. Hanya itu. Ya,
hanya itu.
Lalu
siapa sosok mirip diriku dengan nama Bella yang melakukan kekacauan ini?
Mengapa pula ia memiliki semua memoriku. Mengapa pula ia kenal dengan Carina,
Monny, Lissy, dan Orion mantan Carina yang sejatinya hanya kami berempat saja
yang tahu tentang hubungan Carina dengannya? Semuanya menjadi ambigu. Tak kuat
aku memikirkannya hingga telpon yang sedang kugenggam kulepas begitu saja.
Seorang
lelaki jangkung seumuranku seketika menyadari bunyi ponsel terhempas ke
jembatan. Ia menghampiriku dan langsung saja menanyaiku, “ Kau baik-baik saja?”
“Wajahmu pucat sekali. Apa yang kau rasakan?” lanjutnya.
Kupikir
lelaki ini sok kenal. Aku takut dia berniat jahat padaku sebab wajahnya sama
sekali ttak kukenali. Ditengah kebingunganku yang disertai sakit kepala hebat,
kuhempaskan tubuh lelaki yang setengah menopang tubuh lemahku. “Siapa kau?
Pergi sana!”
“Bella.
Kau kenapa?” tanyanya sembari berusaha mendekatiku kembali. “Aku Canopi,”
lanjutnya sembari melambai-lambaikan tangan di depan mataku. Enak saja. Dia
pikir aku habis operasi mata? Dan Bella lagi ia memanggilku. Membuatku semakin
jengkel.
“Berhenti
memanggilku Bella! Dan aku tidak kenal siapa kamu.” Setelah memaki dengan sisa
tenaga, aku tak tahu apa yang terjadi kemudian. Hanya ingatan yang membayangi
sesaaat sebelum tubuhku benar-benar terhempas ke tanah. Lagi-lagi lelaki itu
berteriak, “Bella!”
Tersadar
dari pingsan, aku mendapati seseorang yang tak asing lagi di mataku. Carina.
Ya, benar. Dia Carina. Dia bertutur, “Canopi memanggilku ke sini sebab ia takut
terjadi apa-apa denganmu. Sukurlah kau sudah kembali. Aku sangat
mengkhawatirkanmu saat menelponku tadi. Kupikir Bella sedang memakai tubuh dan
waktumu untuk mengadu domba kau dan aku.”
“Kak,
aku tidak mengerti maksudmu. Kalian semua membingungkan,” ujarku dengan mata
menyelidik.
“Kau
tidak sadar, Sayang. Ada kepribadian lain dalam dirimu yang berontak. Ia mengaku
bernama Bella dan kamu telah mengambil haknya untuk berkembang mejadi seorang
seniman. Sepertinya Bella telah lama mengambil alih tubuhmu. Cerita Canopi tentangmu
sudah cukup memperkuat dugaanku bahwa kau baruu terlahir kembali setelah satu
tahun tidur digantikan Bella.”
Aku
melongo mendengar penuturan Carina. Kupikir cerita seperti ini hanya rekayasa
dalam cerpen yang kubuat tetapi ternyata aku sendiri mengalaminya. Bukan. Ini
bukan fantasi semata. Pikiranku makin kacau dengan Bella yang katanya mengambil
alih waktu dan tubuhku. Oh. Apa-apaan ini? Jadi ini yang membuatku merasa sudah
lama sekali tak bersua dengan orang-orang terdekatku.
Argh.
Aku mau berhenti memikirkan hal konyol ini. Lagipula harusnya kau bersyukur
karena sudah terlahir kembali setelah setahun tidur dibuat tidur oleh diriku
sendiri dengan identitas yang lain.
Selesai