Kamis, September 15, 2016

Tidur dalam Diri



Tidur dalam Diri

“Kau yakin tak mau ikut keluar denganku malam ini?” tanya Canopi via BBM.
“Aku sedang tak ingin keluar,” balasku.
“Tapi kali ini kita akan pergi ke tempat yang tinggi. Seperti  kesukaanmu,” balasnya. rupanya ia masih belum menyerah membujukku.
“Kau pergi saja sendiri. Moodku sedang tidak baik,” balasku lagi.
“Justru aku ingin memperbaiki mood-mu. Tapi kalau kau benar-benar tidak mau, yaaa sudahlah L :’(,” ujarnya lengkap dengan emotikon sedih dan menangis. Tapi aku tahu dia hanya pura-pura supaya aku lekas berubah pikiran.
Kubiarkan BBM yang masuk darinya lagi karena moodku sedan kacau setelah orang-orang di kampus secara tak sadar telah menghina cerpenku yang bertema kepribadian ganda. Cerpen itu dimuat dalam koran lokal beberapa hari lalu. Meski hanya samar-samar mendengar dari percakapan orang, namun bagiku sangat sulit menerima karyaku dianggap terlalu mengada-ada bahkan ada yang menyamakanku dengan psikopat karena salah satu kepribadian dalam cerpen itu adalah psikopat.
Canopi mungkin belum membaca cerpenku. Dia sendiri tak tahu kalau moodku rusak gara-gara itu. Biasanya aku dan Canopi pergi keluar malam mencari ketenangan setelah penat dengan tugas kampus yang membludak, belum lagi tugas dari organisasi yang terus-terusan menuntut. Pria jangkung berambut gondrong itu tak pernah sekalipun keluar tanpa jaket sport biru bermotif footbal club kenamaan, Barcelona.
 Canopi dan aku sehati dalam hal membangkang. Membangkang dari tugas kuliah dan organisasi. Kami berdua merasa salah memilih jurusan setelah satu tahun mejalani perkuliahan. Bahkan orang-orang tak pernah menyangka  kalau sebenarnya aku anak sains, mahasiswa jurusan Teknik Industri yang notabene harusnya kuat dengan hitung-menghitung. Orang-orang sudah pasti mengiraku sebagai mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain sebab semua akun media sosialku penuh dengan karya seniku. Apalagi keaktifanku dalam memposting karya membuatku tambah meyakinkan saja dengan bidang itu.
Aku sendiri pernah mengalami perdebatan internal. Bukan perdebatan dengan keluarga tetapi perdebatan yang terjadi di otakku. Setiap malam selama dua tahun sebelum tes masuk perguruan tinggi. Saat itu aku merasa sangat yakin bahwa fakultas teknik industri adalah tempat yang paling cocok untukku sebab menjadi seorang peneliti dan penemu menjadi obsesi tertinggiku kala itu. aku sangat menikmati pelajaran di sekolah demi mendapatkan nilai yang baik saat tes masuk perguruan tinggi nanti dan hasilnya memang  tak mengingkari, buktinya kini alamamater biru tua kebanggaanku bertempelkan logo fakultas teknik industri.
Namun menikmati pelajaran di sekolah hanya terjadi di siang hari saja saat berkumpul bersama kawan-kawan akademikku yang canggih  otaknya. Setiap malam selalu saja muncul tokoh lain yang “mengganggu”. Belakangan kusadari bahwa tokoh dari dalam otakku yang “mengganggu” itu sangat mirip denganku sekarang.  Mencintai seni dan terobsesi menjadi seniman. Dulu aku selalu berusaha mengusir tokoh itu dengan belajar sekeras mungkin dan berkonsentrasi penuh dengan soal-soal di depanku. Kini malah sebaliknya. Yang seperti benalu justru tugas kuliah yang tak ada habisnya.
Entah sejak kapan aku mulai berperan sebagai “pengganggu” tokoh yang “mengganggu” dalam menciptakan karya-karyanya. Canopi tak tahu soal ini sebab Canopi hanya makhluk yang kukenal kemarin sore yang suka megajakku keluar malam mencurahkan kegundahan pada lampu-lampu kota.  Seringkali kami bedua pergi melanglang buana tanpa alasan yang jelas dan kembali sejam sebelum tanggal berganti.
Ia kembali mengirimiku pesan lewat BBM. “Aku sudah di depan kost-an.”
Aih. Aku kan sudah bersikeras tak mau ikut. Kenapa dia keras kepala sekali? Dengan menyeret langkah, kubuka pintu dan menghampirinya. Melihat wajahku malam ini membuatnya langsung mengerti suasana hatiku. Ia menggerakkan kepalanya ke belakang, mengisyaratkanku agar naik ke  motor. Aku yang sudah tak berniat memendam lagi kekesalanku sendiri memilih naik dan mengikut kemana ia akan membawaku, meski ke tempat yang sama dengan sebelumnya lagi.
“Kita akan ke mana?” tanyaku di tengah-tengah perjalanan  entah ke mana.
Ia tak menyahut. Aku bertanya lagi, namun ia tak juga menyahut. Seperti ada yang ingin ia katakan namun terlebih dahulu menimbang-nimbang. Akhirnya ia bersuara setelah lengannya kucubit. “Aaaaw!” teriaknya kaget.
“Kau pasti tidak akan menyesal malam ini,” ujarnya masih membuatku kesal.
“Sudahlah turunkan aku saja kalau kau cuma ingin berhenti di tempat biasa,” ancamku. Tapi Canopi tetaplah Canopi. Ia paling suka membuatku penasaran meski suasana hatiku sedang tak baik.
“Kau ini kenapa?” tanya Canopi setelah berhenti di salah satu kedai di arena rest area. Rupanya itu tujuannya. Ya, rest area kini menjadi pilihannya untuk meninmati malam. Agak jauh memang. Tetapi sensasinya lumayan. Cahaya yang berpendar bukan hanya dari lampu-lampu jalanan raya, tetapi juga lampu hias yng berkelap-kelip layaknya diskotik atau bar.
Aku tak lantas menjawab pertanyaannya, malah menyeret langkah ke pinggir jalan yang terparkir banyak sepeda motor, termasuk motor Canopi. “Aku sedang tak ingin bicara,” jawabku beberapa saat kemudian.
“Hey hey hey. Mana bisa ?” sergah Canopi. “Wajahmu mengatakan kau ini benar-benar butuh tempat untuk bercerita.  Sudahlah. Ayo ke atas,” ajaknya sembari menarik tanganku yang kupagutkan diantara kedua lutut. Aku tak juga beranjak. “Apa mau kugendong?” tanyanya meledek.
“Tidak perlu,” akupun berdiri mengekor Canopi menaiki jembatan fly over dengan memacu langkah malas. Perasaan kalutku seharian benar-benar mempengaruhi segala aktivitas. Tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang memperolokku dengan muka masam begini.
Canopi tak kunjung bicara meski kini ia dan aku sudah berada di tempat yang nyaman untuk saling bercerita. Ia tampak sangat menikmati ukiran awan di langit yang terlihat memutih terpapar cahaya rembulan. Kopi panasnya diteguknya pelan sembari meresapi aroma wangi kopi khas Lampung. Sepertinya ia sengaja membiarkanku memulai bercerita. Biasanya ia yang selalu mengawali pembicaraan dengan topik tidak penting, namun kali ini ia benar-benar memahami keadaanku.“Pinjam ponsel,” pintaku sembari mengulurkan tangan kepadanya.
“Mau menelpon siapa?” Canopi sudah paham jika aku meminjam ponselnya pasti hanya ada dua maksud, SMS atau menelpon. Ya, hanya itu. berbeda dengan Canopi yang suka mengotak-atik isi ponselku setelah mendapat izin dariku.
Kuketikkan nomor telepon seseorang. Berniat menghubunginya kembali setelah 2 tahun tak saling berkomunikasi lewat apapun adalah hal yang terasa sangat canggung. Bahkan menekan tombol panggil pun kuurungkan berkali-kali sebelum akhirnya Canopi menegurku, “Jadi menelpon atau tidak?”
“Tunggu sebentar,” kilahku. Tombol panggil kutekan juga akhirnya dan suara nada sambung menyeruak dari balik posel. Tak berapa lama kemudian telepon diangkat. Mendengar suara seseoraang dari balik ponsel membuatku seperti mengalami “deja vu”. Entah perasaan seperti apa itu karena cuma sesaat dan seketika hilang kembali. Kudapati seseorang menyapa berkali-kali. Suara itu kukenali.
“Halo.”
“Halo. Dengan siapa ini?” tanya seseorang dari balik telepon.
Tiba-tiba buyar segala apa yang ingin kukatakan pada sosok perempuan berusia setahun lebih muda dariku itu. dengan gagap kujawab, “Ha. Hal. Halo. Ini adek, Kak,”
Perempuan itu belum menyahut. “Kakak bagaimana kabarnya?” lanjutku.
“Baik, Dek.” Tak butuh waktu lama bagi pemilik nomor telepon yang sedang kupanggil ini untuk mengenali suaraku. Sepintas ia terlihat sudah paham kalau aku yang meneleponnya. Seorang teman yang mengangapnya kakak terbaik karena ia mampu memahami semua permasalahanku.
“Siapa Al-Nilam?” tanyaku secara tiba-tiba. Tentu saja ia tak langsung menjawab pertanyaanku yang lancang ini. Aku juga tak sadar saat menanyakan ini padanya. Yang ada di pikiranku hanya perkataan dua sahabatku, Monny dan Lissy. Beberapa waktu lalu mereka menceritakan bahwa Carina memiliki pacar baru. Aku yang merasa sudah sangat lama tak bersua menjadi ingin tahu seperti apa sosok pengganti Kak orion, mantan pacar Carina yang sangat cocok dengannya waktu itu. aku, Monny, dan Lissy sangat menukai hubungan mereka berdua, tapi entah karena alasan apa, keduanya tak lagi menjalin asmara.
Tanpa menunggu jawaban Carina, aku melanjutkan, “Monny dan Lissy yang memberiitahuku. Tapi mereka bilang bahwa mereka tahu kau punya pacar baru dari aku. Anehnya mereka juga bilang bahwa aku tak menyukai Al-Nilam bahkan dengan tegas menyuruhu putus darinya. Mereka mau memfitnahku atau bagaimana?” tanyaku heran.
“Lyra, aku tidak tahu kamu bicara apa. Sungguh.”
“Kakak. . .” Ucapku lembut memohon penjelasan darinya. “Kita kan sudah lama sekali tidak bicara, tidak bertemu, bahkan memberi kabarpun tidak. Aku Cuma ingin memastikan siapa Al-Nilam yang mereka maksud mengapa tega sekali mereka menuduhku demikian. Padahal aku tak tahu menahu siapa Al-Nilam itu.”
“Lyra. Dengar. . .”
“Lyra?” tanyaku penuh keheranan. “Lyra siapa? Namaku Bella. Bellatrix Saiph. Bukan Lyra. Siapa Lyra itu? sejak kapan aku berganti nama? Kalian semua membingungkan!” teriakku kepada Carina yang terlihat  sangat aneh malam ini. Meski aku tak melihat wajahnya tapi dapat kurasakan  antara kebingungan dan menyembunyikan sesuatu dibalik wajahnya.
“Lyra dengar!” Carina membentak tak kalah  keras dari teriakan protesku barusan. “Monny dan Lissy benar jika mereka tahu itu dari kamu. Sebab beberapa bulan lalu kau mengunjungiku. Kau kuperkenalkan dengan Nilam. Dan kau sendiri yang biang tak mau dipanggil Bella karena namamu adalah Lyra. Kau masih adikku. Aku masih mengenalimu. Yang tak kukenali hanya satu. Sorot matamu. Sorot matamu terasa sangat beku dan penuh kebencian. Hingga esok harinya saat kau datang lagi, kau bilang padaku bahwa kau tak merestui hubunganku dengan Nilam. Kau bilang bahwa aku bodoh telah meninggalkan Orion. Jadi apa maksudmu bertanya demikian?”
Aku tertegun. Ketidakmungkinan yang kudengar barusan adalah ulahku sendiri beberapa bulan lalu? Lalu apa tentang seminngu lalu saat Monny dan Lissy membahas Nilam dalam percakapan lewat telepon. Perbincangan di telepon itu tak kuingkari. Memang benar adanya aku memperoleh pengaduan demikian dari kedua sahabatku yang merantau ke Jakarta. Akan tetapi pengakuan Carina barusan sama sekali tak dapat kuterima sebab aku ingat betul terakhir kali bertemu dengannya setahun lalu ketika ia memintaku menemaninya mendaftar perguruan tinggi. Hanya itu. Ya, hanya itu.
Lalu siapa sosok mirip diriku dengan nama Bella yang melakukan kekacauan ini? Mengapa pula ia memiliki semua memoriku. Mengapa pula ia kenal dengan Carina, Monny, Lissy, dan Orion mantan Carina yang sejatinya hanya kami berempat saja yang tahu tentang hubungan Carina dengannya? Semuanya menjadi ambigu. Tak kuat aku memikirkannya hingga telpon yang sedang kugenggam kulepas begitu saja.
Seorang lelaki jangkung seumuranku seketika menyadari bunyi ponsel terhempas ke jembatan. Ia menghampiriku dan langsung saja menanyaiku, “ Kau baik-baik saja?” “Wajahmu pucat sekali. Apa yang kau rasakan?” lanjutnya.
Kupikir lelaki ini sok kenal. Aku takut dia berniat jahat padaku sebab wajahnya sama sekali ttak kukenali. Ditengah kebingunganku yang disertai sakit kepala hebat, kuhempaskan tubuh lelaki yang setengah menopang tubuh lemahku. “Siapa kau? Pergi sana!”
“Bella. Kau kenapa?” tanyanya sembari berusaha mendekatiku kembali. “Aku Canopi,” lanjutnya sembari melambai-lambaikan tangan di depan mataku. Enak saja. Dia pikir aku habis operasi mata? Dan Bella lagi ia memanggilku. Membuatku semakin jengkel.
“Berhenti memanggilku Bella! Dan aku tidak kenal siapa kamu.” Setelah memaki dengan sisa tenaga, aku tak tahu apa yang terjadi kemudian. Hanya ingatan yang membayangi sesaaat sebelum tubuhku benar-benar terhempas ke tanah. Lagi-lagi lelaki itu berteriak, “Bella!”
Tersadar dari pingsan, aku mendapati seseorang yang tak asing lagi di mataku. Carina. Ya, benar. Dia Carina. Dia bertutur, “Canopi memanggilku ke sini sebab ia takut terjadi apa-apa denganmu. Sukurlah kau sudah kembali. Aku sangat mengkhawatirkanmu saat menelponku tadi. Kupikir Bella sedang memakai tubuh dan waktumu untuk mengadu domba kau dan aku.”
“Kak, aku tidak mengerti maksudmu. Kalian semua membingungkan,” ujarku dengan mata menyelidik.
“Kau tidak sadar, Sayang. Ada kepribadian lain dalam dirimu yang berontak. Ia mengaku bernama Bella dan kamu telah mengambil haknya untuk berkembang mejadi seorang seniman. Sepertinya Bella telah lama mengambil alih tubuhmu. Cerita Canopi tentangmu sudah cukup memperkuat dugaanku bahwa kau baruu terlahir kembali setelah satu tahun tidur digantikan Bella.”
Aku melongo mendengar penuturan Carina. Kupikir cerita seperti ini hanya rekayasa dalam cerpen yang kubuat tetapi ternyata aku sendiri mengalaminya. Bukan. Ini bukan fantasi semata. Pikiranku makin kacau dengan Bella yang katanya mengambil alih waktu dan tubuhku. Oh. Apa-apaan ini? Jadi ini yang membuatku merasa sudah lama sekali tak bersua dengan orang-orang terdekatku.
Argh. Aku mau berhenti memikirkan hal konyol ini. Lagipula harusnya kau bersyukur karena sudah terlahir kembali setelah setahun tidur dibuat tidur oleh diriku sendiri dengan identitas yang lain.
Selesai