Rabu, September 07, 2016

HANTU PENGHUNI KULKAS (part 1)



Menjadi pengangguran selepas lulus SMA ternyata sangat tidak nyaman dijalani. Setiap hari hanya melakukan utinitas makan, tidur, nonton tv, dan chatting di media sosial. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang mengesankan. Meski baru sebulan Niki menganggur setelah ditipu kawan jauhnya saat melamar pekerjaan di kantor Pemda palsu, ia tidak betah di rumah. Serasa tidak kapok dengan peristiwa yang melayangkan uangnya tiga juta rupiah ke tangan para penipu biadap. Niki dan seorang kawannya yang juga lulus dari SMA yang sama di tahun yang sama mencoba mencari peruntungan melamar pekerjaan di beberapa mall dan minimarket di kota. Sialnya tak satu pun dari lamaran itu mendatangkan pangilan ke nomor handphonenya.

Kali ini Niki dan Moka nekat pergi ke kota mencari peruntungan dengan menjadi pekerja di sebuah toko roti. Panas terik dan lelahnya mencari alamat toko roti di kota yag baru pertama kali mereka jamah terus dilalui demi sebuah pekerjaan. Berjam-jam kehausan juga ditepis agar jangan sampai mereka berdua tersesat. Beratus pertanyyan dilayangkan pula kepada orang-orang yang ditemui. Bagaimanapun juga alamat itu harus ketemu sebelum matahari lenyap dari pandangan. Mana mungkin ada orang yang rela menjadi gelandangan di kota besar dengan membawa kopor kemana-mana. Membayangkannya saja duah malas, apalagi mengalaminya.

Berkat kebaikan hati seorang supir angkot sampailah juga mereka ke tempat yang dituju, tapi  apa daya ketika si supir angkot meminta bayaran yang jauh di luar dugaan. Mana tahu mereka barangkali si supir angkot sengaja mengelilingi jalanan kota agar perjalanan menjadi terasa jauh. Mana tahu pula mereka barangkali supir angkot tak mendapatkan penumpang yag memadai sejak pagi lantas mau mengantarkan mereka berdua ke tempat yang amat jauh. Setidaknya tujuan awal mereka untuk sampai di tempat kerja sudah terlaksana. Dengan berat hati pula keduanya mengikhlaskan setengah dari isi dompet mereka berpindah lokasi ke saku celana si supir angkot.

Kedatangan mereka disambut sang pemilik toko. Cik Ndut orang-orang biasa memanggilnya. Wanita paruh baya keturunan Tionghoa ini memiliki suami yang tak kalah gendut. Bang Kumis sapaannya dari Medan asalnya. Untuk ukuran bos, pasangan suami istri ini terlihat cocok. Bukan hanya dilihat dari ukuran tubuh, tapi sifat dan perangainya menjadikan mereka pasangan serasi. Cik Ndut sangat penyayang dengan karyawan laki-laki sedangkan Bang Kumis sebaliknya. Tak heran saat pertama kali mereka tiba, Cik Ndut memilih memberikan perhatian lebih kepada Moka, sedangkan suaminya terlihat sangat ramah kepada Niki. Keduanya lantas mendapatkan kamar di lantai nomor lima karena lantai 3 dan 4 sudah penuh diisi karyawan yang lebih dulu bekerja di sana.

Seorang karyawan kepercayaan mengantar mereka ke kamar masing-masing. Karyawan di lanti 3 dan 4 menempati kamar tidur berdua sedangkan mereka harus dipisah karena berbeda jenis. Keduanya pun menempati kamar ukuran 3 x 4 meter seorang diri. Suasana nampak sepi sepanjang mereka menuju lantai lima, mungkin karena semua karyawan turun mengerjakan aktivitas produksi dan distribusi termasuk pemasaran yang semuanya dilakukan di lantai 1 dan lantai 2. 

Moka menyetel musik metal dari handphonenya guna mengusir sepi, sebab luasnya lantai paling atas dari bangunan ini nampak kosong dan gelap karena sebelumnya tak ada yang menempati. Moka dan Niki akan mulai kerja esok  pagi. Menurut karyawan kepercayaan yang tadii mengantarkan mereka, jam kerja di toko roti yang sekaligus membuat poduknya sendiri ini dimulai dari jam 5 pagi sampai jam 5 sore. “Busyet 12 jam,” pikir Niki dalam hati. Temtu saja hanya dalam hati. Bagaimana mungkin seorang karyawan baru akan menolak jam kerja yang telah diterapkan padahal mereka datang jauh-jauh ke tempat ini dengan penuh pengorbanan.

“Nik, gue pinjem hape lo dong buat internetan. Kuota gue abis,” pinta Moka saat Niki sedang sibuk memasukkan pakaian ke dalam lemari.

Niki berujar  ketika menyerahkan smartphonenya, “Kalau ada sms dari mall tempat kita melamar kemaren, cepet kabarin ya,”

“Sip,” jawab Moka singkat. Meskipun mereka sudah mendapat pekerjaan tapi tetap saja tidak berhenti berharap mendapat panggilan dari mall setelah lamaran di minimarket tidak ditanggapi karena belum membutuhkan karyawan baru. Bagi lulusan SMA jaman sekarang, bekerja di pusat perbelanjaan atau pasar-pasar modern tentu dianggap lebih keren daripada kerja di perumahan atau di toko-toko yang biasa saja. Alasannya sederhana. Dengan menjadi karyawan swasta para pemuda bangga menyebutkan nama perusahaan tempat merekka bekerja meski kurang bangga menyebutkan posisinya di perusahaan tersebut. Jadi karyawan swasta juga punya seragam kerja, beda dengan pekerja di tempat yang biasa saja.

Baru saja Moka melangkah beberapa saja, Niki seakan ikut melangkah di belakangnya. “Nik, bukannya lo belom beresan mindahin baju?” tanya Moka dengan tetap berjalan.
Yang ditanya tidak menyahut tetapi masih mengikuti langkah Moka yang membuatnya terpaksa menoleh. Nihil. Niki sedang tidak berjalan di belakangnya. “Ah, mungkin kucing,” Pikir Moka mengabaikan, lalu berjalan lagi menuju ujung lantai diantara deretan kamar yang berhadap-hadapan. Sesaat kemudian terasa ada lagi yang berjalan di belakangnya. Saat ditengok pun sama saja. Tak ada siapa-siapa. “Nik, gue mau nyantai dulu. Ngapain lo ngajak maen petak umpet sih,” ucap Moka yang mulai sebal.

Tidak ada sahutan. Untuk menepis rasa penasaran itu, Moka berjalan ke kamar Niki. “Nik, lo masih di sini?” tanya Moka yang mendapati temannya masih merapikan pakaian sementara pintu kamarnya terbuka.

“Gue nggak kemana-mana, kok,” jawabnya singkat.

“Lah yang jalan di belakang gue siapa?” tanya Moka dengan tingkat keherana lebih.

“Mana gue tahu,” jawab Niki cuek. “Mba Mona kali. Yang nganter kita tadi. Mungkin dia masih di sini,” lanjutnya mencoba menerka.

“Ya udahlah, gue mandi aja. Nih hape lo. Nggak jadi pakek gue,”ujarnya saat mengembalikan benda itu.

Keran kamar mandi berbahan stainless itu terlihat aneh di mata Moka pasalnya di dinding kamar mandi tidak ada gantungan apapun. Hanya ada satu gantungan dan letaknya di belakang pintu, bukan di dinding. Tapi keran yang bisa memantulkan bayangan itu menujukkan ada baju tergantung di dinding yang ia belakangi. Sejenak ia menoleh ke belakang. Memang tak ada. Tapi lagi-lagi saat ia hendak memutar keran pantulan baju putih itu semakin jelas bahkan bukan hanya baju, tangan si pemilik baju juga terlihat menjulur keluar dari lengan baju yang kedodoran.

Perasaan ganjil mulai melanda. “Bagaimana ini?” pikirnya. Akhirnya dengan mengumpulkan seluruh keberanian, Moka menyelesaikan mandinya dan segera naik dari lantai 3 menuju kamarnya dengan hanya berbalut handuk dan meninggalkan pakaian gantinya tetap di sana. Bahkan mengosok gigipun tak sempat terpikirkan lagi.

“Nik, kayaknya lo harus ambilin pakaian gue di kamar mandi cowok deh,” pinta Moka sehabis mandi kepada teman perempuannya itu setelah berpakaian.

“Kenapa nggak lo bawa sekalian sih tadi. Dan kenapa mesti gue coba? Ntar yang ada gue dikira cewek mesum pula.”

Lantas Moka menceritakan apa yang baru saja dialaminya kepada Niki, barangkali ia ada solusi untuk itu. Dengan  terpaksa akhirnya Niki bersedia mengambilkan pakaian Moka. Kejadian ganjil tak ia dapati tatkala masuk kamar mandi karyawan pria di lantai tiga itu. “Cuma kamar mandi biasa. Dasar penakut,” gumamnya.


bersambung. . .