MENDUNG
Bagaimana kabar jiwa?
Masihkah ia setegar karang
yang diterpa derasnya gelombang ujian? Masihkah ia selembut sutera yang
mengalirkan kekaguman saat menyentuh perasaan orang lain? Apakah ia sebening
embun di pucuk dedaunan yang meneteskan kesejukan bagi yang sedang dipeluk
amarah? Mugkinkah ia masih terus besyahadat memuji keagungan Sang Kuasa? Adakah
ia seindah bintang-bintang penghias alam semesta? Ataukah seluas langit yang
tiada terhingga kasihnya? Jawabnya mendung.
Bagaimana mungkin?
Aku tak setegar karang, tak
selembut sutera, tak sebening embun, juga tak seindah bintang, apalagi seluas
langit. Aku hanyalah sehelai benangrapuh yang tak berdaya dan akan segera
musnah ditelan air. Aku hanyalah setitik noda diatas kehidupan yang akan segera
jauh-jauh disingkiran. Mungkin akupun sebentuk bulan yang tertutup awan tebal,
tak sempat menjadi ratu malam. Akupun setangkai maawar layu, hilang segala
warna dan wangiku, dan bila orang melihatnya akan menyiakanku.
Benarkah?
Aku diberi sebuah buku, namun
kubiarkan halaman-halaman kosong itu hingga binatang kecil terkutuk merusaknya.
Aku diberi seekor angsa putih, namun kucabuti bulu-bulunya yang lembut dan
halus itu. Aku diberi sebuah penghapus, namun kuhapus nama-nama orang terkasih
dalam hidupku. Dan ketika aku diberi sepotong luka, baru aku menyesalinya.
Sendu.
Akhir-akhir ini tak kulihat
langit senja menguning dipadu warna keemasan. Mataku tak lagi menangkap
sekawanan burung beterbangan di angkasa yang sesekali bertengger di rerantingan
barisan pohon di tepi jalan. Burung-burung itu mungkin sedang mencari tempat
untuk merebahkan diri menuju alam mimpi. Matahari jingga yang memasuki garis
batas bumi-matahari kini pun terhalang awan hitam yang saling berlomba
merengkuh kilaunya. Matahari tak lagi hangatkan senja, apalagi melihatnya
tersenyum ketika berdiri diatas cakrawala. Mengucap “sampai jumpa” saat menuju
alam istirahatnya. Hanya langit kelabu yang sanggup disaksikan setiap saat oleh
ribuan mata. Betapapun mata bosan memandangnya.
Malam sedih.
Purnama yang seharusnya
mendampingi anak-anak kecil bermain tak terlihat lagi keidahannya. Sekeluarga
maupun bersama tetangga yang biasa bercengkerama di beranda rumah sudah lama
tak melakukan kebisaan itu lagi. Sebab purnama hanya brjalan termenung di garis
edarnya dibalik sekumpulan awan jahat yang menghalangi sinarnya menjelajah bumi
malam.
Mendung itu terus berlanjut
hingga malam makin larut.
Terdiam sesosok tubuh yang
sedari tadi termenung di beranda rumah menatap langit kelam tanpa satu pun
berada di sampingnya, kecuali pepohonan dan kursi tua menjadi saksi bisu
kesepiannya. Entah apa yang menjelajah pikirannya hingga tak satu pun terdengar
suara dari mulutnya ataupun ekspresi berbeda dari wajahnya. Hanya seperti
boneka low batt. Udara digin di sekitarnya mecoba menerka apa dibalik
lamunannya. Apakah ia memikirkan masa depan atau masa lalunya? Meratapi cinta
yang hilang atau mengkhayal? Mungkinkah ia rindu kampung halaman atau sedang
berdzikir? Bagaimana jika ia sedang memecahkan sebuah teka-teki atau melah
menyesali perbuatannya di masa lalu?
Murung.
Udara malam itu tetap tak
mampu menerka jawaban atas apa yang digalinya dari jiwa misteri itu. Dan udara
mulai bosan menemani sesosok muda yang terbuai makin jauh dalam diamnya. Masih
meninggalkan sebutir pertanyaan mengambang. Akhirnya setelah udara malam
berseteru, bergantilah udara pagi. Matahari temukan jawaban dari setitik air
mata. Sepertinya pintu misteri itu sudah mulai terbuka. Diketuknya pintu itu
oleh tetesan embun. Alam di sekitarnya mencoba bertanya. Dan jawabnya taklain
hanyalah mendung.
Mendung nasib sesosok muda
itu.
Ia bersenandung, berharap
akan ada suatu zat yang mendengarnya.
“wahai sang pemeluk teguh, hidupku tak berguna, sia-sia. Apakah masih berkenan
Engkau memberiku kesempatan untuk memperbaiki diri yang telah rusak ini? bila
semua telah membiarkanku sendiri, makatiada lain aku ‘kan kecewa. Apalagi bila
Kau yang biarkan aku. Memang ini semua karena kelalaianku.”
Angin terhenyak. Embun berhenti menetes.
“Kutak berharap apapun kecuali keridhoan-Mu.
Tak kuinginkan sejengkal tanah, hanya kuingin sejengkal langkah ‘tuk
menjumpai-Mu. Tak kuinginkan sebutir mutiara, hanya kuingin sebutir pahal bila
Engkau menghendaki, tak pula kuinginkan sebongkah emas, hanya kuingin sebongkah
hidayah ‘tuk membuka pintu taubatku. Bukan ku haus setumpuk uang, tapi ku hau
setumpuk ampunan atas dosa yang lumuri kalbu. Wahai Sang Kuasa, maka bencilah
jika kuhanya inginkan surgamu. Dan jauhkan aku dari surgamu jika kuenggan
menerima azab-Mu.”
Hening makin tercipta. Mendung
kembali melambung.