Rabu, September 21, 2016

HANTU PENGHUNI KULKAS (PART 3)



Niki berjalan menyusuri belakang sekolah yang gelap. Hanya bermodalkan senter redup dan nyali yang ia kuat-kuatkan, Niki berniat ingin mengungkap isi kulkas yang sama sekali tak boleh disentuh itu. Dalam sekali dua langkah semuanya terlihat nampak aman meski di pikirannya timbul bermacam-macam sugesti buruk. 

Aku sendiri tak dapat membayangkan bila berada di posisinya kali itu. barangkali lari terbirit-birit sudah kulakukan dari awal. Namun dengan langkah yang selalu ia jaga, koridor belakang sekolah yang tak terawat itu berhasil dilaluinya. Hanya tersisa jajaran toilet barang 5 meter Niki akan sampai di tempat kulkas itu berada. Dari luar pintu toilet yang terbuka, ia dapat melihat samar-samar baju menggantung menjuntai hingga menyentuh lantai. Semakin ia amati, semakin jelas terlihat tangan sang pemilik baju mengayun lemah mengisyaratkan minta tolong. Namun Niki harus memastian sekali lagi bahwa yang ia lihat adalah benar adanya. Ia pun mulai yakin atas penglihatannya dan berpikir seorang pengantin baru saja melakukan percobaan bunuh diri. Dari pakaian yang menjuntai ke bawah menunjukkan bahwa orang itu memakai gaun pengantin yang memiliki mengekor di bagian kaki sehingga pantas saja kakinya yang harusnya mengambang tak terlihat.

Lambaian tangan dari dalam toilet benar-benar menggerakkan hati Niki untuk menolongnya sebelum terlambat. Ia pun menuju pintu toilet yang terbuka dengan langkah perlahan. Hanya saja ketika kakinya sampai di depan toilet itu, ia tak menyadari kapan pemilik gaun pernikahan itu menghilang. Sama sekaali tak berbekas jejak langkah maupun petunjuk kemana menghilangnya sosok itu. Memorinya berputar ke arah Moka saat dibayang-bayangi gantungan baju di kamar mandi lantai 3. Mungkin sosok itu pula yang membuat sahabatnya lari ketakutan sampai-sampai tak menyelesaikan mandinya.

Kembali ke pada Niki yang sebenarnya ingin membuka kulkas besar di gudang sekolah, ia tak menghiraukan lagi sosok dibalik toilet yang menghilang secara misterius. Ia hanya ingin mencari tahu kebenaran. Berharap apa yang majikannya tuturkan memang benar adanya. Jika keju-keju itu sedang difermentasi di dalam kulkas, maka ia akan segera mencari cara untuk membawa kabur keju beserta kulkasnya itu. Tap. Tap. Tap. Langkahnya semakin tertata dengan baik setelah hampir 3 meter kulkas itu dari jangkauannya.

Sebelum menemukan besi bekas bangunan dari mengacak-acakk isi gudang, Niki sudah mencoba berbagai cara untuk mencoba membuka gembok kulkas tersebut. Tidak terlalu besar memang. Tapi sungguh sangat sulit menghancurkannya. Bahkan berjam-jam Niki berkutat pada pintu kulkas itu, peluhnya juga terkuras, tak jua gemboknya terbuka. Menghancurkan pintu dengan paksa pun sama saja menguras tenaganya. Terbuat dari bahan apa sehingga sesulit ini dihancurkan? Pertanyaan itu tentulah tak pentingg lagi baginya mengingat hasratnya untuk membuka rahasia sang majikan tak main-main. 

Fajar mulai menyingsing. Suara hewan-hewan malam mulai berhenti, digantikan suara hewan menyambut pagi selain ayam. Akhirnya dengan sisa tenaga yang tak seberapa, hancurlah gembok itu. Ia tak sabar lagi melihat isi di dalamnya. Terbukalah pintunya dengan sekali tarik. Namun nahas. Bukan keju. Bukan. Jelas sekali bukan keju Italia mahal yang menempati kulkas raksasa itu. sebuah bungkusan plastik besar. Berwarna merah keungu-unguan, kecoklat-coklatan, kehitam-hitaman. 

Dengan bau yang tak sedap pula Niki masih saja berkutat pada benda satu itu. Perlahan disobeknya plastik pembungkus dengan potongan-potongan pintu kulkas tersebut. Terkejutlah Niki ketika ia dapat melihat keseluruhan apa yang ada dalam bungkusan plastik tebal transparan itu. 

Daging? Mengapa Niki terkejut melihat daging. Sejatinya bukan daging biasa yang ia lihat sebab potongan jari juga menyembul setelah ia korek ke dalam. Semakin ke dalam lagi, semakin memperkuat dugaannya bahwa seorang manusia telah dimutilasi dan disimpan dalam kulkas ini. Belum lagi potongan jari kaki dan daun telinga. Astaga! Daun telinga? Berarti kepala seorang malang ini  juga telah dimutilasi? Dan benar saja, sekejap setelah daun telinga itu tak sengaja tertarik tangan Niki, sebongkah kepala seorang anak kecil menggelinding dari tumpukannya. Baru satu bungkusan plastik saja sudah menguak semuanya, belum lagi bungkusan serupa yang tak kurang 6 di tempat yang sama. Ia tak kuat lagi menghadapi apa yang tengah ia lihat. Rasa mual, muntah, dan mata berkunang-kunang menegangkan seluruh saraf otaknya, bahkan tubuhnya. Kaku. Sungguh kaku dan gemetar badannya. Sebisanya ia lari tunggang-langgang membiarkan kulkas itu terbuka, mengabaikan isinya yang telah ia berantakkan.

Tanpa menunggu lagi, ia tinggalkan tempat terkutuk itu meski menyeret kaki pun tak mempercepat gerakannya. Keju Italia yang sudah membayang-bayanginya sejak awal sudah tak terpikirkan lagi olehnya. Luruh seluruh-luruhnya oleh sekawanan bangkai manusia penghuni kulkas misterius. Banyak yang ingin ia ungkap sebenarnya, namun sudah terlanjur penemuannya tadi memperburuk kondisinya. Buruk seburuk-buruknya. Kini tinggal bagaimana cara pergi secepat-cepatnya dari guang kumuh itu.

Bersamaan dengan Niki mengangkat tubuhnya, seorang anak kecil berdiri di hadapannya. Ia pikir seoraang anak dengan kisaran umur 7 tahun itu mengerti rencananya untuk memburu keju. Kemudian menunggunya di luar gudang untuk meminta jatahnya. Anak dengan penampilan kumal dan bau itu menatap Niki dengan tatapan kosong sekaligus memelas namun tidak menegadahkan tangan. Meminta secara langsung pun tidak. Akan tetapi Niki merasa iba pada keadaan si anak.
“Terima kasih telah membuka pintu penjara kami. Sekarang kami bisa pulang,” ujar si anak kecil mengawali pembicaraan dengan Niki.

Sedikitpun gadis berambut pirang itu tak mengerti apa yang dimaksud si anak dengan penjara. Tak sadar pula bulu kuduknya merinding tiba-tiba. Kemudian perlahan datang pula anak-anak seumurannya yang juga sama kondisinya dengan anak laki-laki yang pertama mendatanginya. Mereka secara bersama-sama mengucap kata terima kasih pada Niki. Suara mereka sangat lemah, mungkin hanya ia sendiri yang dapat mendengarnya.

Tak ada kalimat lain yang diucapkan mereka selain “terima kasih” sebelum anak lelaki di depannya memintanya menutup mata sebentar. Dalam sekejap saja pemandangan menyedihkan dari hadapannya telah hilang semuanya. Dari yang paling terdekat, rombongan anak kumuh hingga yang masih dapat dijangkau dari ekor matanya, gudang tempat kulkas berada. Yang ada di depannya hanya dinding kamar tempat biasa ia tidur di lantai 5. Mimpi buruknya usai sudah. Keringat dingin menmbanjiri tubuhnya. Hawa panas di dada dan kepala masih bersarang hingga kurang-lebih setengah jam setelah mimpi itu berlalu.

Niki tak pernah menyangka sebelumnya bahwa kejadian-kejadian aneh yang terjadi di gedung 5 lantai ini ternyata adalah ulah para arwah penasaran yang menuntut ingin dipulangkan. Mereka yang seharusnya berada diantara langit dan bumi tidak betah mendiami ialam yang bukan lagi miliknya. Ya. mungkin saja begitu, buktinya jiwa sekumpulan anak yang tubuhnya dicincang dalam lalu diawetkan di dalam kulkas mengucapkan “terima kasih” padanya. Pasti mereka sudah tenang sekarang. Lalu yang menjadi masalahnya sekarang adalah untuk apa potongan tubuh mereka disimpan? Terkait dengan pernyataan yang majikannya pernah lontarkan, ia pikir daging mereka akan dijadikan bahan tambahan membuat roti. Kebetulan ia juga pernah membaca kisah pengusaha jaman dulu yang menggunakan daging manusia untuk membuat bubur, tentunya tanpa sepengetahuan orang lain maupun karyawannya. Diceritakan pula bahwa bubur yang dijualnya lebih enak sehingga semakin banyak yang berlanganan padanya.

Sungguh Niki benar-benar takut hal itu juga terjadi di tempatnya bekerja ini. setelah mimpi itu sama sekali matanya tak bisa terpejam dan pikirannya tak henti menerka. Lalu bergegas ia pindah ke kamar Moka, menceritakan padanya tanpa terlewat satupun.

Setelah malam itu, Niki tak berani tidur sendiri lagi, meminta tidur dengan karyawan perempuan lainnya pun ia segan sebab mereka tak seperti kebanyakan orang. Aura mereka aneh, sepertinya tanda-tanda kehidupan sedikit sekali terpancar dari wajah mereka. Ya, sangat sedikit. Malam selanjutnya Niki tidur di kamar Moka. Namun sesungguhnya malam itu mereka tak tidur sama sekali. Justru merencanakan kabur dari rumah produksi roti itu. 

Setelah mempertimbangkan beberapa kemungkinan terbaik untuk kabur, Moka memutuskan untuk mejebol atap lalu tutun melalui ke gedung sebelah agar jikalau ada suara-suara yang mereka timbulkan tak mengganggu penghuni rumah produksi. Lalu tak ada kecurigaan. Tak ada kata menunda lagi bagi mereka untuk melancarkan aksinya. Dengan sigap moka mengaitkan kain-kain yang dapat disambung dan dihubungkannya dengan gedung sebelahnya. Dan benar saja, mereka dengan sigap suda sampai di atap gedung sebelahnya.

“Gedung ini lebih banyak jemdelanya, jadi kita bisa lebih gampang turunnya. Nah sekarang gue duluan yang turun, lo nyusul jangan lama-lama,” perintah Moka kepada sahabatnya.
Kembali Moka memberikan perintah setelah ia turun namun Niki tak segera menyusulnya. “Ayo, Nik. Nggak usah takut. Gue di bawah lo. Jadi kaaloo lo kenapa-kenapa gue bakalan siap bantu,” ucapnya yakin.

“Iya, Ka. Gue nggak bakalan takut. Justru akan lebih takut kalo kita nggak  pergi-pergi dari tempat kerja kita,” sambung Niki semakin meyakinkan.

“Oke, Nik. Ayo turun.”

Satu demi satu kusen jendela mereka pijaki. Juga dengan penuh kehati-hatian agar tak menimbulkan suara gaduh. Siedikit saja mereka ceroboh, nyawa jadi taruhannya. Keduanya tentu tak ingin terjadi karena tujuan kabur tengah malam itu yang utama adalah untuk selamat.
“Sip. Kita sekarang udah di bawah, Nik,” ujar Moka setelah keduanya berhasil menuruni gedung dengan susah payah.

“Moka. Kita harus cepet pergi dari sini. Soal kendaraan gue tahu kita masih harus menunggu 4 jam lagi baru nemu angkot beroperasi,” sergah Niki.

“Iya. Soal itu gue tahu. Sekarang kita musti jalan, Nik, ke arah jalan gede. Terus kita nunggu angkot di sana,”


SELESAI
“Gercep, Ka,” tambah Niki sambil menepuk pundak Moka.