Niki berjalan menyusuri belakang sekolah yang gelap. Hanya
bermodalkan senter redup dan nyali yang ia kuat-kuatkan, Niki berniat ingin
mengungkap isi kulkas yang sama sekali tak boleh disentuh itu. Dalam sekali dua
langkah semuanya terlihat nampak aman meski di pikirannya timbul bermacam-macam
sugesti buruk.
Aku sendiri tak dapat membayangkan bila berada di posisinya
kali itu. barangkali lari terbirit-birit sudah kulakukan dari awal. Namun
dengan langkah yang selalu ia jaga, koridor belakang sekolah yang tak terawat
itu berhasil dilaluinya. Hanya tersisa jajaran toilet barang 5 meter Niki akan
sampai di tempat kulkas itu berada. Dari luar pintu toilet yang terbuka, ia
dapat melihat samar-samar baju menggantung menjuntai hingga menyentuh lantai.
Semakin ia amati, semakin jelas terlihat tangan sang pemilik baju mengayun
lemah mengisyaratkan minta tolong. Namun Niki harus memastian sekali lagi bahwa
yang ia lihat adalah benar adanya. Ia pun mulai yakin atas penglihatannya dan
berpikir seorang pengantin baru saja melakukan percobaan bunuh diri. Dari
pakaian yang menjuntai ke bawah menunjukkan bahwa orang itu memakai gaun
pengantin yang memiliki mengekor di bagian kaki sehingga pantas saja kakinya
yang harusnya mengambang tak terlihat.
Lambaian tangan dari dalam toilet benar-benar menggerakkan
hati Niki untuk menolongnya sebelum terlambat. Ia pun menuju pintu toilet yang
terbuka dengan langkah perlahan. Hanya saja ketika kakinya sampai di depan
toilet itu, ia tak menyadari kapan pemilik gaun pernikahan itu menghilang. Sama
sekaali tak berbekas jejak langkah maupun petunjuk kemana menghilangnya sosok
itu. Memorinya berputar ke arah Moka saat dibayang-bayangi gantungan baju di
kamar mandi lantai 3. Mungkin sosok itu pula yang membuat sahabatnya lari
ketakutan sampai-sampai tak menyelesaikan mandinya.
Kembali ke pada Niki yang sebenarnya ingin membuka kulkas
besar di gudang sekolah, ia tak menghiraukan lagi sosok dibalik toilet yang
menghilang secara misterius. Ia hanya ingin mencari tahu kebenaran. Berharap
apa yang majikannya tuturkan memang benar adanya. Jika keju-keju itu sedang
difermentasi di dalam kulkas, maka ia akan segera mencari cara untuk membawa
kabur keju beserta kulkasnya itu. Tap. Tap. Tap. Langkahnya semakin tertata
dengan baik setelah hampir 3 meter kulkas itu dari jangkauannya.
Sebelum menemukan besi bekas bangunan dari mengacak-acakk
isi gudang, Niki sudah mencoba berbagai cara untuk mencoba membuka gembok
kulkas tersebut. Tidak terlalu besar memang. Tapi sungguh sangat sulit
menghancurkannya. Bahkan berjam-jam Niki berkutat pada pintu kulkas itu,
peluhnya juga terkuras, tak jua gemboknya terbuka. Menghancurkan pintu dengan
paksa pun sama saja menguras tenaganya. Terbuat dari bahan apa sehingga sesulit
ini dihancurkan? Pertanyaan itu tentulah tak pentingg lagi baginya mengingat
hasratnya untuk membuka rahasia sang majikan tak main-main.
Fajar mulai menyingsing. Suara hewan-hewan malam mulai
berhenti, digantikan suara hewan menyambut pagi selain ayam. Akhirnya dengan
sisa tenaga yang tak seberapa, hancurlah gembok itu. Ia tak sabar lagi melihat
isi di dalamnya. Terbukalah pintunya dengan sekali tarik. Namun nahas. Bukan
keju. Bukan. Jelas sekali bukan keju Italia mahal yang menempati kulkas raksasa
itu. sebuah bungkusan plastik besar. Berwarna merah keungu-unguan,
kecoklat-coklatan, kehitam-hitaman.
Dengan bau yang tak sedap pula Niki masih
saja berkutat pada benda satu itu. Perlahan disobeknya plastik pembungkus
dengan potongan-potongan pintu kulkas tersebut. Terkejutlah Niki ketika ia
dapat melihat keseluruhan apa yang ada dalam bungkusan plastik tebal transparan
itu.
Daging? Mengapa Niki terkejut melihat daging. Sejatinya bukan
daging biasa yang ia lihat sebab potongan jari juga menyembul setelah ia korek
ke dalam. Semakin ke dalam lagi, semakin memperkuat dugaannya bahwa seorang
manusia telah dimutilasi dan disimpan dalam kulkas ini. Belum lagi potongan
jari kaki dan daun telinga. Astaga! Daun telinga? Berarti kepala seorang malang
ini juga telah dimutilasi? Dan benar
saja, sekejap setelah daun telinga itu tak sengaja tertarik tangan Niki,
sebongkah kepala seorang anak kecil menggelinding dari tumpukannya. Baru satu
bungkusan plastik saja sudah menguak semuanya, belum lagi bungkusan serupa yang
tak kurang 6 di tempat yang sama. Ia tak kuat lagi menghadapi apa yang tengah
ia lihat. Rasa mual, muntah, dan mata berkunang-kunang menegangkan seluruh
saraf otaknya, bahkan tubuhnya. Kaku. Sungguh kaku dan gemetar badannya.
Sebisanya ia lari tunggang-langgang membiarkan kulkas itu terbuka, mengabaikan
isinya yang telah ia berantakkan.
Tanpa menunggu lagi, ia tinggalkan tempat terkutuk itu meski
menyeret kaki pun tak mempercepat gerakannya. Keju Italia yang sudah
membayang-bayanginya sejak awal sudah tak terpikirkan lagi olehnya. Luruh
seluruh-luruhnya oleh sekawanan bangkai manusia penghuni kulkas misterius.
Banyak yang ingin ia ungkap sebenarnya, namun sudah terlanjur penemuannya tadi
memperburuk kondisinya. Buruk seburuk-buruknya. Kini tinggal bagaimana cara
pergi secepat-cepatnya dari guang kumuh itu.
Bersamaan dengan Niki mengangkat tubuhnya, seorang anak
kecil berdiri di hadapannya. Ia pikir seoraang anak dengan kisaran umur 7 tahun
itu mengerti rencananya untuk memburu keju. Kemudian menunggunya di luar gudang
untuk meminta jatahnya. Anak dengan penampilan kumal dan bau itu menatap Niki
dengan tatapan kosong sekaligus memelas namun tidak menegadahkan tangan.
Meminta secara langsung pun tidak. Akan tetapi Niki merasa iba pada keadaan si
anak.
“Terima kasih telah membuka pintu penjara kami. Sekarang
kami bisa pulang,” ujar si anak kecil mengawali pembicaraan dengan Niki.
Sedikitpun gadis berambut pirang itu tak mengerti apa yang
dimaksud si anak dengan penjara. Tak sadar pula bulu kuduknya merinding
tiba-tiba. Kemudian perlahan datang pula anak-anak seumurannya yang juga sama
kondisinya dengan anak laki-laki yang pertama mendatanginya. Mereka secara
bersama-sama mengucap kata terima kasih pada Niki. Suara mereka sangat lemah,
mungkin hanya ia sendiri yang dapat mendengarnya.
Tak ada kalimat lain yang diucapkan mereka selain “terima
kasih” sebelum anak lelaki di depannya memintanya menutup mata sebentar. Dalam
sekejap saja pemandangan menyedihkan dari hadapannya telah hilang semuanya.
Dari yang paling terdekat, rombongan anak kumuh hingga yang masih dapat
dijangkau dari ekor matanya, gudang tempat kulkas berada. Yang ada di depannya
hanya dinding kamar tempat biasa ia tidur di lantai 5. Mimpi buruknya usai
sudah. Keringat dingin menmbanjiri tubuhnya. Hawa panas di dada dan kepala
masih bersarang hingga kurang-lebih setengah jam setelah mimpi itu berlalu.
Niki tak pernah menyangka sebelumnya bahwa kejadian-kejadian
aneh yang terjadi di gedung 5 lantai ini ternyata adalah ulah para arwah
penasaran yang menuntut ingin dipulangkan. Mereka yang seharusnya berada
diantara langit dan bumi tidak betah mendiami ialam yang bukan lagi miliknya.
Ya. mungkin saja begitu, buktinya jiwa sekumpulan anak yang tubuhnya dicincang
dalam lalu diawetkan di dalam kulkas mengucapkan “terima kasih” padanya. Pasti
mereka sudah tenang sekarang. Lalu yang menjadi masalahnya sekarang adalah
untuk apa potongan tubuh mereka disimpan? Terkait dengan pernyataan yang
majikannya pernah lontarkan, ia pikir daging mereka akan dijadikan bahan
tambahan membuat roti. Kebetulan ia juga pernah membaca kisah pengusaha jaman
dulu yang menggunakan daging manusia untuk membuat bubur, tentunya tanpa
sepengetahuan orang lain maupun karyawannya. Diceritakan pula bahwa bubur yang
dijualnya lebih enak sehingga semakin banyak yang berlanganan padanya.
Sungguh Niki benar-benar takut hal itu juga terjadi di
tempatnya bekerja ini. setelah mimpi itu sama sekali matanya tak bisa terpejam
dan pikirannya tak henti menerka. Lalu bergegas ia pindah ke kamar Moka,
menceritakan padanya tanpa terlewat satupun.
Setelah malam itu, Niki tak berani tidur sendiri lagi,
meminta tidur dengan karyawan perempuan lainnya pun ia segan sebab mereka tak
seperti kebanyakan orang. Aura mereka aneh, sepertinya tanda-tanda kehidupan
sedikit sekali terpancar dari wajah mereka. Ya, sangat sedikit. Malam
selanjutnya Niki tidur di kamar Moka. Namun sesungguhnya malam itu mereka tak
tidur sama sekali. Justru merencanakan kabur dari rumah produksi roti itu.
Setelah mempertimbangkan beberapa kemungkinan terbaik untuk
kabur, Moka memutuskan untuk mejebol atap lalu tutun melalui ke gedung sebelah
agar jikalau ada suara-suara yang mereka timbulkan tak mengganggu penghuni
rumah produksi. Lalu tak ada kecurigaan. Tak ada kata menunda lagi bagi mereka
untuk melancarkan aksinya. Dengan sigap moka mengaitkan kain-kain yang dapat
disambung dan dihubungkannya dengan gedung sebelahnya. Dan benar saja, mereka
dengan sigap suda sampai di atap gedung sebelahnya.
“Gedung ini lebih banyak jemdelanya, jadi kita bisa lebih
gampang turunnya. Nah sekarang gue duluan yang turun, lo nyusul jangan
lama-lama,” perintah Moka kepada sahabatnya.
Kembali Moka memberikan perintah setelah ia turun namun Niki
tak segera menyusulnya. “Ayo, Nik. Nggak usah takut. Gue di bawah lo. Jadi
kaaloo lo kenapa-kenapa gue bakalan siap bantu,” ucapnya yakin.
“Iya, Ka. Gue nggak bakalan takut. Justru akan lebih takut
kalo kita nggak pergi-pergi dari tempat
kerja kita,” sambung Niki semakin meyakinkan.
“Oke, Nik. Ayo turun.”
Satu demi satu kusen jendela mereka pijaki. Juga dengan
penuh kehati-hatian agar tak menimbulkan suara gaduh. Siedikit saja mereka
ceroboh, nyawa jadi taruhannya. Keduanya tentu tak ingin terjadi karena tujuan
kabur tengah malam itu yang utama adalah untuk selamat.
“Sip. Kita sekarang udah di bawah, Nik,” ujar Moka setelah
keduanya berhasil menuruni gedung dengan susah payah.
“Moka. Kita harus cepet pergi dari sini. Soal kendaraan gue
tahu kita masih harus menunggu 4 jam lagi baru nemu angkot beroperasi,” sergah
Niki.
“Iya. Soal itu gue tahu. Sekarang kita musti jalan, Nik, ke
arah jalan gede. Terus kita nunggu angkot di sana,”
SELESAI
“Gercep, Ka,” tambah Niki sambil menepuk pundak Moka.