IKATAN
HIDROGEN YANG MULAI TERPUTUS
SELAMAT
DATANG DI KAMPUS MADRASAH ALIAH NEGERI (MAN) PRINGSEWU. Itulah kalimat pertama
yang kudapati saat menapakkan kaki di sekolah baruku ini. Tulisan yang terpampang begitu jelas
tepat setelah melewati pintu gerbang. Rasa heran, canggung dan bingung
melandaku saat itu. Mungkin wajar, ini kali pertamanya kedatanganku di gedung
maadrasah ini. Tak satupun kukenali dari kerumunan orang yang berlalu lalang di
depan mataku, mengingat segala sesuatunya kupersiapkan sendiri sejak mulai
pendaftaran.
Singkat cerita, berakhirlah kegiatan masa
orientasi siswa yang sudah berjalan mulus selama tiga hari. Tak ada yang
istimewa memang. Itu bagiku. tapi hari ini hari keempat, mungkin sudah agak
berkurang rasa canggungku karena
beberapa teman baru sudah kukenali dengan baik. Dan berharap ada yang istimewa
hari ini, entah apapun itu.
Bel panjang
dari arah meja piket kini bersiul. Saatnya memasuki ruang kelas untuk memulai
menjadi tholabul ilmi. Pak Ian, begitulah sapaannya. Lengkapnya Sebastian Maulana.
Aku menatapnya dengan pandangan yang pernah dilepaskan Ali Bin Abi Thalib
ketika melihat wanita cantik melintasi pelupuk matanya. Sesaat kemudian aku
teringat hadisnya, “ Wahai Ali, janganlah kau ikuti pandangan pertama dengan
pandangan kedua. Karena pandangan pertama adalah bagimu, dan pandangan yang
kemudian bukan bagimu.” Mungkin itulah dosa pertamaku di sekolah yang baru ini.
Wajahnya sungguh mrembahana, senyumnya begitu manis, dan namanya pun keren.
Tetapi ketika ia mulai menari-narikan spidol di atas white board, aku
terpana. Aku tak yakin Pak Ian benar
seorang guru, karena tulisannya justru lebih mirip tulisan anak SD yang baru
bisa memegang pulpen.
Aku sedikit
terkejut ketika Pak Ian bertanya, “Apa definisi dari Biologi?” Sekatika muncul
di benakku LKS Biologi SMP yang pernah kubaca. Kemudian kujawab pertanyaan itu
dengan rincinya, berharap Pak Ian akan sudi menanyakan siapa namaku. Tapi
kenyataan tak mengharuskanku berharap banyak darinya karena hanya ucapan,
“Terima kasih, sudah disimpulkan.” Yang dilontarkan saat kuakhiri kalimatku.
Tanpa sadar,
ternyata sedari tadi mataku selalu menangkap setiap gerakannya. Hal itu
berlangsung tak hanya sekali.
Dari aktivitas
dan perilakunya memberitahuku bahwa Pak Ian adalah pemuda alim lagi berakhlak
mulia. Aku makin kagum dan terpesona ketika sesosok bayangan itu berada dalam
genggaman kedua bola mataku atau justru berkelebat di benakku. “Pak Ian,
seandainya aku bukan muridmu, aku mau jadi.. . . . ah, jangankan jadi pacarmu.
Jadi selingkuhanmu pun aku rela.”
Astaghfirullahaladzim. Aku nyaris melontarkan kalimat itu ketika Pak Ian
sedang asyik menerangkan pelajaran. Kini cukup mata dan hatiku saja yang
berdosa, tak perlu lisanku pun ikut terlibat di dalamnya.
Menjalani semaaster
satu sebagai anak kelas sepuluh terasa sangat lama. Semuanya yang serba baru
membuatku harus membiasakan diri dengan hal-hal baru yang ada di sini. Mulai
dari masuk super pagi, tadarus sebelum memulai pelajaran, pulang sore, dan
masih banyak lagi. Namun seorang Pak Ian berhasil menyita waktuku. Semua yang
tadinya berjalan lambat kini terasa begitu cepat. Setiap jamnya terasa satu menit. Dan menit-menit berlalu bak angin
menyentuh dedaunan. Kini semester satu telah berlalu meninggalkan stasiun
dengan pemandangan seperti di dalam kereta api.
Pagi itu aku
bangun tidur sedikit lebih siang daripada biasanya. Segera kuraih handuk dan
sikat gigi, lalu bergegas mandi tanpa membantu orang tua sebelumnya. Sebenarnya
ini belum terlalu kesiangan. Tapi ini hari kamis. Adalah hari yang paling
kuhindari untuk berangkat terlambat meskipun di hari-hari lain aku sering
datang terlambat. Kau tahu mengapa? Karena jam pertama dihari kamis adalah
milik Pak Ian. Aku ingin selalu mengikuti pelajarannya dari awal hingga selesai,
sehingga segala sesuatunya secara tergesa-gesa. Ternyata eh ternyata gerbang
sekolah belum ditutup ketika kusampai di sekolah.
“Aneh memang.
Tak biasanya Pak Ian bersikap seperti ini.” Gumamku ketika ia berkata, “Saya
butuh seorang cewek buat bantuin saya. Ada yang mau maju?”
Sembari
menjawab rasa penasaran, aku yang sudah lama menunggu tapi tak ada yang rela
menuruti permintaan Pak Ian akhirnya memberanikan diri menyeret kaki melangkah
ke depan kelas. Sampai di sini justru aku merasa bingung plus canggung karena
Pak Ian menatapku dengan senyuman manja. Oh my God! Hal yang tak pernah
terbayangkan olehku sebelumnya. Ia malah
menggombaliku dengan kata-kata romantis seperti hendak melamar wanita
pujaannya. Ubun-ubunku terasa bagaikan tertetesi embun sejuk di bawah pohon yang
gersang. Desah suara angin merdu menggoda telimgaku. Oh, jantungku seolah ikut
bernyanyi dengan genre hip hop. Dan sentuhan hormon di sekitar wajahku tak
dapat kumenafikkan. sesekali kusembunyikan wajahku di balik telapak tangan
karena bahagia dan malu bercampur menjadi suatu larutan yang dibumbui serbuk
cinta.
Setelahnya aku
masih tak habis pikir dengan tingkah Pak Ian. Ternyata di balik penampilannya
yang pendiam tersimpan berjuta kemunafikkan yang disukai para kaum hawa.
Film romantis
yang baru saja kuperankan bersama kawan mainku itu menjadikan kenangan terindah
selama masa sekolahku. Aku makin betah saja menimba ilmu di sini.
Dering telepon
terdengar sayup-sayup dari dalam tas, memaksaku untuk menghentikan lamunan
indah di sudut ruangan kamar ini. “Halo, Kara. Ada apa?” sapaku.
“Hai, Moli.
Gimana kabarnya?”
“Amazink, Kara.”
Jawabku.
“Wow. Kenapa?
Pasti lagi seneng tuh.” Pertanyaan dari balik telepon itu kedengarannya begitu
penasaran.
“Emm, mau tahu
aja.” Jawabku singkat.
“Moli, keluar
dong. Aku di depan rumahmu nih.” Pintanya.
“Really?” Aku
terkejut. Tak pernah sebelumnya Kara datang ke rumah tiba-tiba mengingat rumah
kami terpisahkan beberapa kabupaten. Segera kututup telepon dan bergegas
menemuinya.
Untuk melepas
rindu selama dua bulan tanpa pertemuan, ia mengajakku ke sebuah tempat. Di
sanalah terjadi percakapan asyik dan perdebatan seru antara kami berdua.
Kara memulainya
dengan kalimat pertanyaan, “kayaknya seneng banget sih. Ada apa nih? Hayo...”
“Nothing.”
Jawabku. “Seneng aja tiba-tiba kamu dateng terus ngajak aku ke sini.”
“Nggak, ah, pasti
ada yang lain.”
“Serius, Kara.”
Sahutku dengan pandangan mencoba meyakinkan.
Tetapi Kara. Kara
terus memaksaku untuk bercerita. Akhirnya tak kuasa ku menyingkap film romantis
hasil karyaku dengan Pak Ian pagi tadi.. Kara mulai cemburu. Kini ekspresinya
kesal.
“Jadi kamu suka
sama guru kamu, Moli?” tanyanya dengan mata menyelidik.
Aku enggan
mengakuinya. Sebisa mungkin kucoba elakkan pertanyaan itu. “Dengar dulu Kara
sayang. Aku nggak...”
Sepertinya
ceritaku tadi benar-benar membuat Kara habis kesabarannya. Lantas ia memotong
kalimatku, “Apa Sayang? Nggak bisa dipungkiri kalo kamu memang beneran suka,
kan? Kamu bikin penantianku sia-sia. Aku jauh-jauh dateng ke sini Cuma buat
nemuin kamu, karena aku... I’m still loving you, but...”
“Oke, oke. Fine,
Kara. Tapi kamu yang memintaku untuk cerita, kan?” ujarku mencoba membela diri.
“Tentu kalo kejadiannya kaya gini, aku
nggak bakal maksa kamu buat cerita. Moli, aku kecewa. Aku pikir kamu akan
setia.” Tuturnya dengan nada lirih.
Demi mendengar Kara tadi aku sangat
merasa bersalah. “Kara, please. Kamu jangan salah paham gitu dong. Dia kan cuma
guru aku. Tapi kamulah orang yang berhak aku cintai. I’m sorry if I can’t be
the best like you want.” Itulah kalimat terakhir yang kuucapkan sambil
menggenggam tangan Kara. Lalu kuberlalu dengan meninggalkan sepenggal
kepedihan, sedangkan Kara masih menatap ke arah punggungku yang belum terlalu
jauh.
Ia berucap lirih tetapi masih terdengar di
telingaku. “I’m sorry to, baby, karena aku nggak sanggup ngelanjutin hubungan
kita.” Setelah itu barulah ia beranjak, meninggalkan sepotong roti dengan
olesan selai kekecewaan.
Sejak hari itu tak lagi kupermasalahkan
Kara dengan duri yang pernah kutancapkan dalam-dalam daripada menuai
penyesalan. Sekarang saatnya melanjutkan petualangan sebagai Moli yang sedang menggumi
sosok guru idolanya.
Lagipula akhir-akhir ini aku dituntut
untuk mempersiapkan diri demi menghadapi OSN yang tinggal menghitung hari. Pak
Ian dengan sabarnya membimbungku dan kawan-kawan yang akan mengikuti event
bergengsi ini. Aku makin semangat menjadi bagian dari tim olompiade ini karena
kesempatan untuk dekat dengan guru idolaku makin terbuka lebar.
Siang itu sepulang sekolah kuhubungi
kawan-kawanku yang akan menjadi peserta OSN juga. Tapi semuanya sudah pulang.
Kini tinggal aku sendirian yang mondar-mandir tak tahu harus berbuat apa.
Sesosok tubuh di meja piket yang
sepertinya sudah tak asing lagi berada dalam genggaman kedua bola mataku.
Perlahan kaki ini menyeret tubuhku mendekatinya dan memaksaku berhenti di salah
satu kursi di meja piket itu. Ya. Tepat di sebelahnya. Di sebelah Pak Ian yang
sedang asyik memainkan laptopnya.
Seluruh jaringan dalam tubuhku sepertinya
sudah bersiap melaksanakan tugas dari niat di batinku. Katup bibir ini mulai
terbuka untuk sekedar menyapanya. Lalu kujadikan rekan-rekanku yang sudah
pulang sebagai alasan untuk sekedar berbincang-bincang sejenak. Hanya ada sosok
kami kami berdua disitu. Kursi dan meja sederhana, lantai dan atap yang menjadi
saksi bisu bunga yang bermekaran dalam setiap sel-sel darahku.
Kembali bibirku menerima perintah dari
otak kecil ini untuk mulai bertanya macam-macam mengenai pelajaran yang belum
kumengerti, tentang soal-soal OSN, dan hal-hal lain yang wajar dibicarakan.
Walaupun hanya percakapan seperti itu tetapi hatiku berkata lain. Rasanya
seperti berendam di air es saat suhu disekitarnya 100®C.
Tak terasa 30 sudah kutemani Pak Ian di meja piket sembari mengerjakan
tugasnya. Aku belum ingin berlalu. Tubuhku malas beranjak dari kursi ini.
Seperti ikatan hidrogen yang terbentuk begitu sulit untuk dilepas dan butuh
suhu ekstra untuk melepaskannya.
“Ehm.” Terdengar suara dari balik pintu lab komputer yang terletak di
sebelah tempat ini. Kuelakkan sendi di leherku untuk memastikan siapa pemilik
suara itu.
Kudapatinya tengah menonton adegan yang sedang kulakuni dan lagi-lagi
bersama Pak Ian. Ia menggodaku lirih dengan senyuman diakhir kalimatnya.
“Ciee... belum pulang?”
“Masih betah.” Jawabku singkat dan lirih juga.
Aku kepergok oleh teman sekelasku, Aquilla yang barusan menyadarkanku
untuk segera berlalu dari mimpi indah ini.
Begitu kuatnya ikatan hidrogen dengan Pak Ian membuatku selalu
mengingat setiap detiknya mimpi indah
tadi, hingga sampai di rumah molekul-molekul di dalam otakku masih tertinggal
disana.
Beberapa pekan sudah lewat. Hari-hari yang selalu kuhabiskan bersam
rekan-rekanku sesama tim olimpiade untuk mematangkan diri menuju kompetisi yang
sebenarnya. Tak bosan-bosannya kupanjatkan doa kepada Yang Maha Memiliki Ilmu
agar memudahkanku mengerjakan soal-soal di OSN nanti. Hingga tiba saatnyalah
pertempuran melawan soal berlevel tinggi dimulai.
Aku sudah bertekad untuk merebut gelar juara dalam event bergengsi ini.
Berharap dapat membawa nama baik sekolah dan membuat Pak Ian banggaa sebagai
pembimbingku.
Lembaran soal di atas meja terlihat menantangku dengan muka mengejek.
Memang begini rasanya duduk di kursi panas. Soal-soal itu tak terasa sulit
lagi, namun jauh diatas segala kesulitan.
Waktu telah usai. Tak ada lagi yang bisa kuulangi. Hanya tawakal dan
sikap optimis yang kupunya saat itu untuk mengiringi kepergian lembar jawabanku
dengan harap-harap cemas.
Singkat cerita, dua hari setelahnya adalah saat-saat menegangkan bagi
para peserta OSN termasuk aku di dalamnya. Harus menyiapkan mata untuk melihat
serentetan nama berdasarkan urutan hasil perjuangannya. Aku tak melihat
pengumuman itu secara langsung, hanya saja ketika salah seorang temanku
menyebutkan namaku berada di urutan bawah, aku langsung patah semangat. Segera
kuambil tas dan meninggalkan jam sekolah. Sebelum aku benar-benar pergi, aku
sempat berpesan kepada teman sebangkuku, “Jangan tanyakan aku kalau besok aku
nggaak masuk sekolah.” Lantas kuberlalu.
Semenjak peristiwa pengumuman itu, semangatku mulai pudar. Namun
sebisanya kucoba untuk bangkit kembali. Banyak teman yang men-supportku untuk
tetap bersinar. Tapi yang kurasa justru ada sesuatu yang mulai menjauh dariku.
Pak Ian kini seperti mencoba menghindari pertemuan denganku. Ia juga tak banyak
respon saat kusapa. Dari wajahnya terlihat kalau ia kecewa dengan kerja kerasku
dan kawan-kawan yang belum sempat membawa nama sekolah. Namun diantara kami
semua, akulah yang paling merasa sakit jauh-jauh darinya, karena sebelumnya
antara aku dan Pak Ian telah terjalin ikatan yang begitu kuat. Dan dengan
datangnya kekecewaan ini, ikatan hidrogen itu mulai terputus dengan sendirinya.